Konten dari Pengguna

SEBUAH RUMAH KATA

21 Maret 2017 21:31 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Joenoes Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
'
Suatu ketika, kita pernah berada di stasiun kereta. Stasiun bukan tempat tinggal. Orang tak tinggal di sana. Tapi, betapa banyak kisah darinya, perihal perjalanan, peristirahatan serta ruang tunggu selanjutnya. Stasiun, metafora perjalanan yang karib bagi kebanyakan orang. Kereta panjang yang ditarik lokomotif tua. Rel yang tak berujung itu dibuat manusia bukan hanya dengan niat, tapi juga dengan tenaga, harta, dan nyawa, seperti membangun sebuah gerbong biografi kehidupan yang melaju di atas harapan yang tak pernah diketahui ujungnya.
ADVERTISEMENT
Kereta api, alat transportasi tua yang masih dipakai orang hari ini. Seperti komodo, binatang purba yang bertahan dari kepunahan di tempat terasingan.
Di stasiun, perjalanan, suara kereta, kopor, dan tas yang berat. Karcis, jam dinding , asap rokok lelaki tua, bau keringat yg mencekat. Benda-benda di stasiun terdengar puitis sunyi dan sepi. Konon, di stasiun, banyak orang menyimpan kenangan suatu perjalanan. Juga percintaan yang tak terlupakan, barangkali perihal perpisahan, pergumulan, ataupun entah apa lagi.
Di stasiun, semua peristiwa berjalan lamban. Apalagi kereta yang ditunggu belum datang. Ada repetisi. Kebosanan dalam penungguan, kelelahan yang tak terjelaskan. Orang mengingat rumah, anak, istri, orang tua, sahabat, dan orang-orang dekat tatkala ia duduk di bangku kereta malam yang tengah merayap. Tapi kenapa pula perjalanan dalam kereta dengan lampu-lampunya itu selalu membawakan beberapa ingatan-ingatan? Mungkin saja stasiun ialah metafora biografi, masing-masing pribadi meninggalkan kenangan dari satu tempat ke tempat lain, dari satu kenangan kepada kenangan yang lain, dari keadaan ke keadaan lain, suatu pertemuan ke pertemuan-pertemuan lain, dan perpisahan yang terjadi nyaris setiap saat, setiap persekian detik.
ADVERTISEMENT
Pada bangku-bangku ruang tunggu stasiun, manusia menunggu pemberangkatan, sesuai jadwalnya. Waktu bagai dihentikan dalam kebekuan. Beku yang menggigil. Sepi. Sunyi. Tak ada yang menegur diam kala malam, dalam waktu yang berjalan lemah, yang malas dan lelah, bagai menyayangkan kenangan yang sangat mustahil diutuhkan.
Sebuah harapan sejati, kata Budha, ialah yang membebaskan. Harapan yang tanpa harapan. Kehidupan berjalan terus. Ada saat-saat mudah, ada saat-saat sulit. Tak ada yang berdiri dengan sendirinya. Tak ada keadaan yang ada dengan mandiri. Ada sebab ada akibat. Aksi dan reaksi pada gerak benda-benda, ujar Newton.
Kenapa waktu tak dapat dihentikan? Perjalanan waktu tak dapat diajak berhenti sejenak untuk memikirkan, memusyawarahkan dan merumuskan persoalan. Kehendak-kehendak memang tak pernah dapat menghentikan waktu. Betapa tangkasnya ia.
ADVERTISEMENT
Bagi yang menunggu, waktu terasa berhenti. Beku. Sunyi. Sepi. Segalanya bagai diam membeku. Waktu tak cepat beranjak dalam penderitaan. Tapi di dalam kebahagiaan, waktu alangkah tergesa gesanya. Inilah hebatnya waktu bukan ?
Dunia memang membutuhkan orang-orang cerdik-pandai yang jujur dan bermoral baik. Orang-orang kokoh, sabar serta tawakkal yang tak pernah menyerah pada keadaan sesulit dan semustahil apa pun. Sehingga hidup diolah dengan riang, gembira, canda tawa yang membebaskan, dan tak berkeluh-kesah dalam kesukaran-kesukaran.
"Lantaran hidup itu adalah anugerah yang menakjubkan," ujar Abu Nawas, "maka, gelitiklah dirimu sendiri agar engkau tahu rasanya geli!" sambungnya lagi dalam sebuah kalimat pada salah satu kitabnya.
Tentu saja di stasiun tak ada pohonan, sungai-sungai yang mengalir, burung-burung terbang. Di stasiun kereta, manusia menjalani dunia yang singkat.
ADVERTISEMENT
Ada anak-anak sekolah, orang tua, pasangan kekasih, pencopet, bahkan siapa saja. Di sana ada ketergesa-gesaan, bau mulut, dan bau keringat.
Sadarul kalam, pada zaman dahulu, tatkala kota belum dipenuhi motor dan mobil-mobil pribadi yang kini murah dan rawan itu, kereta telah menjadi alat transportasi yang cukup vital. Hingga hari ini, orang masih mengenakannya.
Di masa sulit, kala orang-orang antri minyak tanah dan beras. Di zaman orang-o