Jika Tak Diatur, Taksi Online Bisa Bikin Situasi Tak Kondusif

21 Maret 2017 21:16 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Budi Karya Sumadi (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Budi Karya Sumadi (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Langkah Kementerian Perhubungan melakukan revisi Peraturan Menteri Perhubungan No. 32 Tahun 2016 telah mengundang protes dari perusahaan penyedia layanan mobil panggilan berbasis aplikasi dan bagi para mitra pengemudi. Tetapi menurut Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, langkah ini dilakukan untuk menciptakan kondisi yang kondusif dan menciptakan persaingan sehat dengan operator taksi.
ADVERTISEMENT
Pemerintah mengklaim berupaya menyetarakan antara taksi konvensional dan online, dengan beberapa poin utama, yaitu penetapan tarif atas-bawah oleh Pemerintah Daerah, pembatasan kuota, balik nama juga kewajiban uji kir dan membayar pajak bagi perusahaan transportasi online.
"Selama ini mereka (operator taksi) terdesak karena apa? Kuotanya enggak ada. Mereka (taksi online) banyak sekali dan tarifnya murah. Tarif murah ini kan menjadi bertanya-tanya apakah ini jangka panjang, apakah sesaat. Apakah mereka hanya ingin menarik jumlah audience atau taksi yang banyak? Setelah itu dia naikkan lagi," tegas Budi Karya di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (21/3).
Menurutnya, hal semacam ini bisa membuat situasi transportasi yang tidak kondusif. Salah satu upaya penyetaraan dan keseimbangan yang dilakukan Kemenhub terhadap dua moda transportasi itu adalah dengan merevisi Permenhub No. 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
ADVERTISEMENT
"Kesetaraan ini membuat adanya kompetisi. Adanya kompetisi ini memberikan juga manfaat bagi masyarakat. Harganya lebih bagus, pelayanannya lebih bagus," lanjut Budi.
Ketiga penyedia layanan mobil panggilan berbasis aplikasi, UberX, Go-Car, dan GrabCar, sudah menyatakan keberatannya terhadap revisi aturan tersebut dan meminta penangguhan waktu sembilan bulan untuk pelaksanaannya, namun ditolak oleh Budi.
Kendati perusahaan pengelola aplikasi jaringan transportasi tak sepakat, sejumlah mitra pengemudi mobil online yang diwawancarai kumparan (kumparan.com), mengaku setuju dengan rencana revisi aturan ini.
Salah satu yang setuju adalah Irvan (38), yang enggan disebut kemitraannya dengan salah satu layanan mobil panggilan. Dia berkata setuju dengan rencana ini untuk menyetarakan tarif taksi online dan konvensional.
ADVERTISEMENT
"Supaya kita tidak mematikan angkutan umum. Biar win-win solution, kita enggak ganggu pangsa pasar dia," ujar Irvan kepada kumparan, Selasa (21/3).
Meski mengemudikan taksi online yang notabene lebih murah ketimbang taksi konvensional, ternyata Irvan mengaku pendapatan bersihnya hanya sekitar Rp 50 ribu per hari karena saat ini persaingan di antara layanan aplikasi semakin ketat dan target untuk dapat bonus juga ditingkatkan.
"Sekarang agak berat, mungkin karena persaingannya banyak," terangnya.
Ilustrasi demo taksi online (Foto: Darren Whitesite/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi demo taksi online (Foto: Darren Whitesite/Reuters)
Meski setuju dengan penetapan tarif, Irvan tidak setuju dengan aturan balik nama STNK, yang mengharuskan kepemilikan kendaraannya diubah ke nama badan hukum atau koperasi. Menurutnya, yang terpenting adalah pencatat identitas yang jelas si pengemudi dan memastikan tidak ada catatan buruk terhadap pengemudi mobil panggilan.
ADVERTISEMENT
Saat ini, tarif yang berlaku untuk layanan mobil panggilan online memang lebih murah ketimbang taksi konvensional. Hal ini dikarenakan perusahaan transportasi online tidak terbebani biaya-biaya seperti pajak penghasilan pegawai, perizinan, administrasi, biaya perawatan kendaraan, dan pajak kendaraan bermotor.
Lebih banyaknya beban usaha yang dialami taksi konvensional membuat mereka sulit menyaingi tarif yang diberlakukan layanan mobil panggilan berbasis aplikasi, yang notabene terlepas dari beberapa beban usaha yang harus dikeluarkan perusahaan taksi konvensional. Apalagi, orientasi Uber, Grab, dan Go-Jek, saat ini fokus untuk meraih pelanggan sebanyak mungkin dan gencar memberi potongan harga.
Hal inilah yang menimbulkan protes keras dari pengemudi taksi konvensional dan membuat Kemenhub membuat revisi Permenhub Nomor 32. Eksistensi layanan transportasi online di jalanan dianggap telah menggerus bisnis taksi konvensional.
ADVERTISEMENT