Konten dari Pengguna

Napak Tilas Puncak Merbabu (yang Kelabu)

Jofie Yordan
Gamer, Concertgoer, and Manchester United fan ⚡
15 Januari 2017 19:45 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
comment
32
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jofie Yordan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Napak Tilas Puncak Merbabu (yang Kelabu)
zoom-in-whitePerbesar
19 Maret 2016, saya bersama kelima teman saya bersiap berangkat untuk melakukan sebuah pendakian di salah satu gunung paling populer di Jawa Tengah, Gunung Merbabu.
ADVERTISEMENT
Gunung yang memiliki ketinggian 3.142 meter di atas permukaan laut ini memang menjadi primadona bagi pendaki karena menawarkan pemandangan-pemandangan yang menakjubkan.
Saya sebenarnya bukan anak gunung, tapi akhirnya luluh juga ketika menerima ajakan dari teman-teman satu kost dan juga kedatangan teman dari Jakarta yang ingin naik Gunung Merbabu.
Saya pikir ini akan menjadi penyegaran sebelum bertarung kembali dengan skripsi yang sudah menanti di depan mata dan juga menyegarkan pikiran yang kala itu sedang bergelut dengan berbagai hal.
Kami berangkat bersama-sama dari kota Solo sekitar pukul 2 siang. Pendakian malam adalah rencana kami pada hari itu, untuk mengejar puncak Merbabu pada siang esok hari.
Karena hujan di tengah perjalanan, alhasil kami harus berteduh dan baru tiba di Base Camp Gunung Merbabu via Selo sekitar pukul 7 malam.
ADVERTISEMENT
Semua peralatan disiapkan, udara dingin mulai terasa dan saya segera mengenakan sarung tangan tebal serta masker. Maklum, hal yang paling saya takutkan dari naik gunung adalah udara dingin. Untungnya, udara dingin sepanjang perjalanan masih mampu saya tangani.
Masuk ke pintu gerbang pendakian, kami berdoa terlebih dahulu, agar diberi keselamatan dan kelancaran dalam perjalanan kali ini, sekaligus izin mendaki.
Napak Tilas Puncak Merbabu (yang Kelabu) (1)
zoom-in-whitePerbesar
Perjalanan dimulai sekitar pukul 9 malam, suasananya benar-benar sunyi dan tenang, apalagi di malam hari seperti ini, ketika kami bisa menyaksikan kelap kelip lampu kota di kejauhan. Kadang ada suara-suara burung yang bersembunyi mengiringi pendakian kami, atau suara gemuruh yang berasal dari Gunung Merapi di seberang sana.
Kami pun bertemu beberapa pendaki lain yang baru turun dari puncak dalam perjalanan dari pos 1 menuju pos 2. "Awas licin di atas. Ada pohon tumbang juga," ujar salah satu pendaki yang kami jumpai.
ADVERTISEMENT
Sempat membuat waswas, namun tekad kami tak goyah. Kami terus melanjutkan perjalanan yang cukup panjang malam itu. Benar yang dikatakan pendaki tadi, kami menemui jalan yang tertutup akibat pohon tumbang.
Untuk terus maju, kami harus bahu membahu menyelinap lewat sedikit celah di antara pohon yang tumbang. Masuk secara bergantian lewat celah itu, akhirnya kami mampu terus naik dan naik.
Tujuan kami dalam pendakian malam itu adalah mencapai pos 3, yang merupakan tempat kami berkemah dan istirahat sebelum melanjutkan kembali perjalanan menuju puncak keesokan harinya.
Kami sesekali istirahat di tengah perjalanan untuk ngemil atau minum dan bercengkerama sejenak mengusir rasa lelah. Untuk membunuh kesunyian, kadang kami menyetel lagu secara pelan sembari duduk-duduk di antara kegelapan.
ADVERTISEMENT
Beberapa lagu yang mengisi playlist kami malam itu tak jauh dari diskografinya Sore, Payung Teduh, Pandai Besi, atau The SIGIT untuk memompa kembali semangat.
Napak Tilas Puncak Merbabu (yang Kelabu) (2)
zoom-in-whitePerbesar
Selesai beristirahat, lagu kami matikan dan pendakian pun berlanjut. Butuh waktu sekitar 5 jam untuk sampai di pos 3, kami berhasil tiba di sana pukul 2 dini hari. Segera saja, tenda kami bangun dan tidur, mengisi ulang energi untuk esok hari.
Karena terlalu lelah dan tidur terlalu larut, kami melewatkan momen Matahari terbit. Memang saya terbangun sekitar pukul 5 pagi dan mendengar di luar tenda sudah ramai orang-orang menyaksikan sunrise. Tapi, saya malah melanjutkan tidur lagi karena angin yang cukup kencang dan dingin sekali rasanya. Sleeping bag yang saya gunakan seperti tak terlalu berfungsi pagi itu.
ADVERTISEMENT
20 Maret 2016
Bangun tidur sekitar 7 pagi, teman-teman terlihat masih terlelap di alam mimpinya. Saya berjalan-jalan sendirian di sekitar pos 3 dan melihat pemandangan yang indah. Langit tampak biru jernih, Gunung Merapi mengintip di balik awan, hamparan rumput hijau begitu luas, dan puluhan tenda warna-warni menghiasi area pos 3.
Napak Tilas Puncak Merbabu (yang Kelabu) (3)
zoom-in-whitePerbesar
Napak Tilas Puncak Merbabu (yang Kelabu) (4)
zoom-in-whitePerbesar
Napak Tilas Puncak Merbabu (yang Kelabu) (5)
zoom-in-whitePerbesar
Dari sana, saya tak lagi bisa melihat kota di bawah karena terhalang lautan awan. Momen yang hebat, dan saya belum merasakan ada tanda-tanda bakal turun hujan hari itu.
Sebelum berangkat menuju puncak, kami memasak mie dan kornet untuk mengisi perut yang sudah kelaparan sejak malam. Salah satu teman saya, Yusa, menjadi koki dan memasak semua makanan pagi itu. Yusa inilah yang mempengaruhi saya untuk naik gunung, apalagi dia sudah seperti 'kuncen' Merbabu karena sudah pernah naik gunung ini sebanyak tujuh kali.
ADVERTISEMENT
Napak Tilas Puncak Merbabu (yang Kelabu) (6)
zoom-in-whitePerbesar
Perut sudah lumayan kenyang, kami bersiap kembali mendaki menuju puncak! Setelah dilihat-lihat, ternyata perjalanan mulai dari pos 3 akan lebih berat. Trek-trek curam sudah terlihat dari kejauhan dan ada beberapa bukit yang harus dilalui. Kami berangkat tanpa membawa tas dan memilih untuk meninggalkannya di dalam tenda.
Tetap semangat! Saya sendiri mendaki dengan riang, tak mau memikirkan apapun dan hanya puncaklah tujuan pada hari itu. Kaki memang sangat pegal, tapi saya merasa tidak boleh setengah-setengah jika sudah memutuskan untuk naik gunung.
Napak Tilas Puncak Merbabu (yang Kelabu) (7)
zoom-in-whitePerbesar
Napak Tilas Puncak Merbabu (yang Kelabu) (8)
zoom-in-whitePerbesar
Kabut tiba-tiba saja menyeruak di sepanjang jalan, awan gelap semakin menggumpal di atas dan sekeliling kami. "Gawat ini gawat!" pikir kami saat itu. Apalagi beberapa teman merasa sudah terlalu lelah untuk terus mendaki.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, dua teman saya menyerah ketika kami tiba di area Sabana 2. Mereka tak bisa melanjutkan dan akan kembali ke tenda yang kami pasang di pos 3. Dua teman saya yang lain, namanya Adwin dan Geri, sempat mempertimbangkan untuk ikut berhenti, namun akhirnya berhasil diyakinkan untuk terus naik ke puncak.
Kabut semakin tebal, saya merasa seperti sedang berada dalam film Game of Thrones dan bisa saja tiba-tiba muncul pasukan white walker yang dipimpin The Night King di hadapan saya. Berkhayal dikit.
Napak Tilas Puncak Merbabu (yang Kelabu) (9)
zoom-in-whitePerbesar
Setelah melalui tebalnya kabut dan langit yang sangat mendung, kami sudah semakin dekat dengan puncak Merbabu setinggi 3.142 mdpl!
Terkadang kami merasa ditipu oleh papan penunjuk jalan bertuliskan "PUNCAK", karena ketika kami tiba di atas selalu masih ada tanjakan lain dan lainnya sehingga kami merasa di-php-in.
ADVERTISEMENT
Adwin sampai kesal sendiri di perjalanan karena selalu saya semangati jika puncaknya sudah semakin dekat, "Jof, berhenti bilang puncak sebentar lagi. PHP!" katanya, ketus.
Napak Tilas Puncak Merbabu (yang Kelabu) (10)
zoom-in-whitePerbesar
Napak Tilas Puncak Merbabu (yang Kelabu) (11)
zoom-in-whitePerbesar
Kaki yang sudah lelah terus kami paksa untuk berjuang naik sedikit demi sedikit, hingga akhirnya kami pun sampai di puncak! "Alhamdulillah!" seru saya setiba di puncak dan melihat papan bertuliskan "PUNCAK KENTENG SONGO 3.142 mdpl". Kami tiba di puncak sekitar pukul 2 siang menjelang sore, namun cuaca sudah sangat gelap.
Memang kami berempat gagal mendapatkan pemandangan yang diharapkan, akibat awan gelap yang tidak memberi kesempatan untuk menampilkan visual terindah yang dimiliki Merbabu. Tapi, patut disyukuri ternyata saya mampu mendaki Gunung Merbabu hingga ke puncaknya.
ADVERTISEMENT
Ironi puncak Merbabu
Cerita tak berhenti sampai di sini, hanya sekitar 5 menit merasa lega tiba di puncak dan ingin mengabadikan momen tersebut, hujan deras langsung menghantam tubuh kami yang tanpa persiapan. Kami tak membawa jas hujan yang ditinggal di dalam tas, sehingga kondisi saat itu sudah tak tertolong, kami basah kuyup.
Napak Tilas Puncak Merbabu (yang Kelabu) (12)
zoom-in-whitePerbesar
Setelah sempat mengabadikan momen berada di puncak dalam keadaan hujan, kami segera turun menuju pos 3. Trek ketika turun benar-benar mengerikan, air mengalir deras ke bawah dan sudah bisa dipastikan tanah-tanah akan sangat licin untuk dijadikan pijakan.
Tapi, mau tak mau kami harus turun saat itu juga. Kami tidak boleh terus berada di sana karena waktu sudah semakin sore dan tidak terbayang jika kami masih berada di atas dengan kondisi basah kuyup pada malam hari. Hipotermia mungkin akan menyerang kami.
ADVERTISEMENT
Kami beranikan diri untuk turun bersama derasnya air yang mengalir ke bawah. Saya dan Yusa bergerak cepat, meski terpeleset berkali-kali (untungnya selalu dapat menggenggam batang kayu di pinggir jadi tidak terpeleset jauh ke bawah).
Sepanjang perjalanan turun saya tak berhenti berdoa. Dan syukurlah kami berhasil tiba di tenda pos 3 dengan selamat.
Istirahat sejenak dan kembali mengisi perut, kami kemudian langsung pulang saat itu juga setelah mengganti pakaian yang basah. Perjalanan pulang memang sudah sangat melelahkan, kaki terus kami paksa dan salah satu teman saya merasa kesakitan kakinya, berkali-kali harus berhenti di tengah jalan yang sudah masuk malam hari.
Namun, petualangan akhirnya selesai dan kami tiba di Base Camp Merbabu sekitar pukul 11 malam. Tak ada istirahat, kami langsung menggeber motor kami dan kembali ke kost di Solo pada pukul 2 dini hari.
ADVERTISEMENT
Perjalanan yang luar biasa. Memang tidak mendapatkan pemandangan terbaik yang biasa disajikan Merbabu, tapi tetap dijadikan pelajaran juga untuk ke depannya tentang persiapan dan peralatan apa saja yang wajib dibawa untuk naik gunung. Lelah memang, tapi super seru!
Begitulah kira-kira pengalaman saya ketika naik gunung untuk pertama kalinya pada tahun lalu. Biarpun badan kurus, tapi semangatnya gemuk! Hahaha