Rolling Stone Indonesia, Terekam dan Tak Pernah Mati

Jofie Yordan
Gamer, Concertgoer, and Manchester United fan ⚡
Konten dari Pengguna
3 Januari 2018 9:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jofie Yordan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rolling Stone Indonesia, Terekam dan Tak Pernah Mati
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Sedih mendengar kabar majalah Rolling Stone Indonesia berhenti terbit mulai 2018 ini. Mungkin saya mau bercerita sedikit tentang pengaruh majalah musik terbaik sedunia ini buat saya, dan bagaimana saya pernah 'sedikit' terlibat di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Masuk masa PKL (Praktek Kerja Lapangan) alias magang adalah masa yang cukup bikin galau. Mahasiswa Komunikasi Diploma IPB, termasuk saya, diharuskan mencari tempat magang sendiri demi mengerjakan Tugas Akhir yang merupakan syarat kelulusan.
Tanpa pikir panjang. Saya mengajukan lamaran magang ke majalah musik Rolling Stone yang berkantor di kawasan Ampera Raya Jakarta Selatan, tepatnya untuk bulan Juli sampai Agustus 2013.
Tidak terpikirkan sebenarnya bisa diterima untuk magang di RSI (Rolling Stone Indonesia), mengingat saat itu saya masih jadi mahasiswa Diploma bukannya S1. Senang sekali ketika Mas Wendi Putranto, selaku Executive Editor RSI dan kemudian jadi pembimbing magang saya, menyatakan saya diterima untuk magang di RSI selama dua bulan.
Rasa senang ini bukannya hanya karena akhirnya saya mendapatkan tempat magang. Tapi, karena RSI sudah seperti tempat yang diidam-idamkan untuk menulis sejak dulu. Rolling Stone sudah menjadi bacaan saya sejak kelas 1 SMA, dan majalah ini juga yang membuat saya gemar menulis hal-hal seputar musik, film, atau budaya pop lain.
ADVERTISEMENT
Bagi para penggemar musik, Rolling Stone memang jadi referensi ampuh untuk menemukan musik-musik lokal bagus yang sebelumnya 'tidak didengar' orang-orang. Apalagi, majalah ini tidak membatasi genre sehingga mencakup semuanya secara luas, hingga metal sekalipun. Semua soal kualitas.
Masih teringat dengan jelas ketika saya pertama kali datang ke kantor RSI, saya melakukan wawancara terlebih dahulu dengan Mas Wendi. Dari beberapa pertanyaan itu sempat ditanyakan band apa saja atau musisi siapa saja yang saya sukai dan dengar.
"Metallica, Seringai, The SIGIT, Muse, The Strokes, Bring Me The Horizon, Pure Saturday, Weezer,.." saya sempat bingung karena agak sulit memilih satu-satu dari sekian banyak yang didengar. Sempat ditanyakan juga apakah mengikuti musik folk atau tidak, karena di tahun itu musik folk sedang naik di dunia musik indie Indonesia.
ADVERTISEMENT
Setelahnya, saya diperkenalkan dengan semua tim di kantor dan memulai hari pertama saya sebagai anak magang Rolling Stone Indonesia!
"Lo beruntung Jof bisa diterima di sini. Ada banyak orang di luar sana yang pengen magang di sini," kata Mas Wendi. Ya, saya sangat beruntung, bisa menimba ilmu dan pengalaman dalam menulis di RSI. Tanpa pengalaman di RSI, sepertinya saya tidak bisa bekerja di kumparan seperti sekarang.
Dua bulan saya menjalani magang di RSI. Ingin ditambah sebenarnya, tapi karena ketentuan dari kampus hanya dua bulan demi lulus tepat waktu, akhirnya saya urungkan niat saya itu. Untungnya, saat saya menyelesaikan masa magang, Mas Wendi berpesan kepada saya, "Jof, kalau mau jadi kontributor, kabari aja nanti kirim-kirim berita setiap hari atau ada liputan konser."
ADVERTISEMENT
Saya pun mengambil kesempatan itu, karena selain untuk memenuhi keinginan menulis untuk RSI tapi juga bisa mendapatkan uang jajan tambahan. Selama hampir 2 tahun saya jadi kontributor RSI, mulai dari ketika masih proses menyelesaikan Tugas Akhir di Diploma IPB, hingga melanjutkan kuliah di Universitas Sebelas Maret, Solo.
Merantau ke Solo, saya tetap melanjutkan kebiasaan mengirim berita setiap Senin-Jumat dari kamar kost. Malah sesekali mengirim berita dari kampus ketika menunggu dosen yang tak kunjung datang. Ada rasa bangga ketika melihat di situs RSI tulisan saya naik dan ada nama saya di sana.
Begitu pula kalau tulisan saya masuk versi majalahnya RSI. Masih saya simpan dengan baik majalah RSI yang ada tulisan saya di dalamnya. Format fisik inilah yang bakal menjadi rekaman abadi kontribusi saya di RSI. Takkan pernah mati.
ADVERTISEMENT
Di Solo, saya berkontribusi selama setahun saja, karena di tahun kedua sudah harus fokus mengerjakan skripsi yang telah menanti di depan mata.
Bertemu Avenged Sevenfold
Pengalaman yang tak terlupakan saat berkontribusi untuk RSI adalah ketika saya mendapatkan kepercayaan untuk mewawancarai salah satu gitaris favorit dari band Avenged Sevenfold, Synyster Gates, juga meliput konser unit metal asal AS tersebut di Jakarta.
Suatu malam, saya sedang menemani ibu saya belanja di Giant Botani Square. Tiba-tiba ada telepon masuk dari Mas Wendi, yang benar-benar membuat terkejut.
"Jof, nanti wawancara eksklusif ya sama Synyster Gates habis konferensi pers. Satu lawan satu. Siapin aja pertanyaannya," kata Mas Wendi lewat telepon. Meski senang, tapi tidak dipungkiri saya gugup dan deg-degan menanti hari wawancara tiba.
ADVERTISEMENT
Sebelum hari H, Mas Wendi sempat memberikan saran, "Tenang, Jof, rockstar juga manusia."
Ini jadi pengalaman pertama saya mewawancarai secara eksklusif satu lawan satu seorang musisi internasional. Tapi, alhamdulillah semuanya lancar dan saya sempatkan berfoto dengan Synyster selepas wawancara. Kenang-kenangan seumur hidup!
Rolling Stone Indonesia, Terekam dan Tak Pernah Mati (1)
zoom-in-whitePerbesar
Ada maksud lain kenapa saya mengenakan kaos Metallica saat mewawancarai Synyster. Itu dikarenakan saya sudah tahu jika A7X (sebutan Avenged Sevenfold) adalah penggemar berat Metallica. Sesuai harapan saya, ketika pertama bertemu Synyster, ia menyambut saya dengan, "I love your shirt." Misi sukses.
Di ruangan saya mewawancarai Synyster, terlihat ada media-media lain yang juga melakukan wawancara eksklusif dengan personel yang berbeda.
Luar biasa memang saat itu. Saya berada di ruangan yang sama dengan M. Shadows, Zacky Vengeance, Johnny Christ, Arin Ilejay, dan Synyster. Sayangnya saya tidak bisa ikut mewawancarai personel lain karena sudah jadi jatah media lain.
ADVERTISEMENT
Bagi yang ingin membaca hasil wawancara saya kala itu, bisa dibaca di link berikut ini.
Setelah Avenged Sevenfold, ada sejumlah liputan lain yang menyenangkan bagi saya. Misalnya konser Killswitch Engage di Ancol, Jakarta, dan Rock In Solo pada tahun 2015. Ada juga konser band post hardcore elektronik asal Inggris, Enter Shikari, yang tampil liar di Rolling Stone Cafe, Jakarta, pada akhir 2013.
Rolling Stone Indonesia, Terekam dan Tak Pernah Mati (2)
zoom-in-whitePerbesar
Rolling Stone Indonesia, Terekam dan Tak Pernah Mati (3)
zoom-in-whitePerbesar
Kebanyakan memang saya kebagian liputan konser dari band yang alirannya agak keras hehehe... Tapi pernah juga liputan Kla Project, Samsons, dan Lala Karmela kok..
The end is here
Kini, perjalanan Rolling Stone Indonesia memperkenalkan musik terbaik Tanah Air telah berakhir. Mulai 2018, media musik ini pun tutup dan lisensinya dikembalikan ke Rolling Stone pusat di AS. RSI tak lagi terbit dan versi digitalnya pun berhenti. Sedih mendengar kabar ini, apalagi sampai sekarang saya selalu membaca RSI untuk mencari referensi musik lokal terbaru.
ADVERTISEMENT
Ada banyak ilmu dan pelajaran yang saya dapat selama berkontribusi untuk RSI. Dan tentunya pengalaman yang menyenangkan karena bisa bekerja untuk melakukan hobi, yaitu menulis musik dan nonton konser.
RSI telah banyak membantu skena musik lokal untuk terus maju dan berlomba-lomba memamerkan kualitas masing-masing demi diliput oleh RSI. Mungkin salah satunya band saya juga dulu. Sepertinya, pencapaian terbaik nge-band itu salah satunya adalah bisa masuk majalah RSI. Maklum, orang-orang di balik ulasan-ulasan RSI sudah berpengalaman, mengingat RSI saja sudah berusia 12 tahun.
Dan nama-nama band atau musisi yang diulas oleh RSI memang patut diperhitungkan. Entah nantinya harus mencari ke mana referensi musik lokal yang bagus, selain ngulik-ngulik sendiri mungkin.
Semoga saja ke depannya ada media baru yang bisa menjadi garda terdepan baru dalam hal menyediakan referensi musik lokal menggantikan RSI.
ADVERTISEMENT
At last, terima kasih banyak Rolling Stone Indonesia dan tim redaksi untuk semua pencerahan musik bagus selama ini dan pelajarannya saat saya masih berkontribusi.
So long...