Milenial dan Buku

Johan Hariyanto
Sarjana Psikologi. Bekerja di bagian HRD.
Konten dari Pengguna
7 Mei 2021 12:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Johan Hariyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Buku Sapiens, Homo Deus, dan Guns, Germs & Steel. Foto: Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Buku Sapiens, Homo Deus, dan Guns, Germs & Steel. Foto: Pribadi
ADVERTISEMENT
Saya baru saja beli 3 (tiga) buku ini: Sapiens, Homo Deus, dan Guns, Germs & Steel. Di hari buku sedunia, 23 April 2021 lalu. Saya jajan buku sebagai cara memperingatinya.
ADVERTISEMENT
Ketiga buku itu, saya beli di marketplace. Di dua penjual yang berbeda. Bukan penjual besar, hanya penjual perorangan. Tapi keduanya sama-sama dari Jogja.
Saya lebih sering memilih beli buku di toko online dari penjual buku di Jogja. Karena di sana penjual bukunya banyak. Ongkirnya murah untuk dikirimkan ke Sragen. Dan pengirimannya cepat. Cukup 1-2 hari sudah sampai.
Marketplace-nya yaitu yang punya ciri warna oranye. Salah satu yang terbesar di Indonesia. Yang paling sering booking acara di TV. Yang paling banyak pakai artis korea untuk iklannya. Yang terkenal dengan free ongkirnya itu.
Belakangan saya memang lebih sering belanja buku via online. Sudah sangat jarang sekali ke toko buku 'beneran'. Belanja online ini memang memanjakan sekali. Tinggal pencat-pencet dari smartphone. Satu sampai tiga hari sudah sampai di rumah.
ADVERTISEMENT
Soal harga, beli di olshop justru jauh lebih murah dibandingkan dengan beli di toko. Pun, saya jadi merasa ikut memberi sumbangsih perekonomian pedagang UMKM. Beli buku tidak hanya di pemain besar saja. Tapi bisa beli dari pedagang kecil. Yang membuka toko di marketplace atau media sosial.
Adanya bisnis online juga membuat saya lebih mudah mengakses buku-buku. Terutama bagi orang seperti saya yang tinggal di daerah (saya tinggal di Sragen). Di daerah tempat saya tinggal tidak ada toko buku yang menjual buku-buku seperti di Gramedia, Togamas, atau Periplus. Jadilah, setiap ingin jajan buku, saya harus pergi ke Solo.
Bukan berarti saya anti toko buku. Karena bagaimanapun bagi penikmat buku, berada di antara buku-buku adalah surga tersendiri.
ADVERTISEMENT
Dan itu hanya ada di toko buku, pameran buku dan perpustakaan.
Buku-buku yang saya beli itu cukup tebal. Dan sepertinya cukup berisi. Saya tahu dari sinopsis yang orang-orang buat di internet.
Ketiganya juga satu tema, mungkin saling berkaitan. Yakni, tentang sejarah riwayat manusia. Bagaimana manusia hari ini terbentuk dan kenapa kemajuan peradaban memiliki perbedaan di setiap wilayah.
Ini sangat menarik bagi saya. Saya membayangkan akan muncul banyak perspektif yang tidak kita sadari selama ini. Misal, kenapa orang di suatu wilayah memiliki perilaku tertentu. Kenapa suatu bangsa menjajah bangsa lain. Atau kenapa di suatu wilayah lebih maju daripada di wilayah lain.
Saya tidak sabar ingin cepat-cepat baca ketiganya sampai selesai. Untuk sebanyak-banyaknya kulakan ide. Sepertinya saya akan mendapat banyak insight untuk bahan menulis.
ADVERTISEMENT
Godaan ingin baca semuanya dengan cepat terkadang malah membuat saya tidak fokus. Apalagi belinya langsung banyak. Ingin rasanya baca semuanya sekaligus. Saking penasarannya. Tapi itu tidak mungkin. Sehingga saya membuat aturan sendiri, harus selesai baca satu buku dulu baru boleh ganti ke buku berikutnya.
Suatu hari seorang teman bertanya keheranan. Di zaman yang serba internet ini, kok saya masih baca buku 'beneran'.
Saya tidak terkejut dengan pertanyaan teman saya itu. Karena zaman sekarang kita memang dimudahkan dalam akses informasi. Mau cari info apa saja tinggal buka internet dari smartphone. Mau cari bahan bacaan apa saja tinggal googling saja.
Buku-buku banyak yang berbentuk e-book. Koran-koran menuju senjakalanya. Ada yang beralih ke media online. Ada juga yang membuka bisnis lain. Agar perusahaannya tidak mati.
ADVERTISEMENT
Kembali ke pertanyaan tadi. Kenapa saya masih baca buku? Kenapa saya masih beli buku? Padahal saya termasuk generasi Milenial. Generasi yang lebih akrab dengan gadget dibanding hal apapun di kehidupan sehari-harinya.
Benar. Saya membenarkan itu. Kemudahan-kemudahan mengakses informasi dan bahan bacaan itu. Juga bahwa minat baca kita terhadap buku juga menurun. Apalagi terhadap buku-buku yang tebal dan tulisannya panjang-panjang. Yang bacanya harus diulang-ulang agar bisa dipahami maknanya.
Tapi saya pun pernah mengalaminya. Yakni, pernah dalam rentan waktu tertentu, saya tidak berminat sama sekali membaca buku. Dan akhirnya berhenti beli buku. Sampai pada suatu hari, hati saya rasanya kosong. Seperti tidak mendapat siraman rohani. Tidak ada hal baru yang masuk ke pikiran saya. Membuat saya jadi muram.
ADVERTISEMENT
Saya pun mencari-cari. Ada apa dibalik itu. Yang membuat ada lubang di hati saya itu.
Ternyata setelah saya renungkan dan cari-cari. Saya ini hanya butuh bacaan. Baca buku yang biasa saya lakukan sejak lama. Sejak SD saat saya menemukan perpustakaan di samping UKS sekolah secara tidak sengaja.
Dan saat saya lama tidak membaca itu. Waktu luang saya teralihkan untuk banyak menonton youtube, serial tv dan scrolling media sosial. Yang seperti teman-teman saya pada umumnya. Yang sebentar-sebentar buka HP.
Tapi pada saat itu, saat kesadaran saya akan baca buku kembali. Saya tidak langsung pergi ke toko buku. Saya coba dulu baca-baca e-book menggunakan smartphone dan laptop. Cari-cari bahan bacaan di internet yang cukup mendalam.
ADVERTISEMENT
Tapi nyatanya saya tidak mampu. Daya serap saya untuk baca 'buku beneran' yang digitalkan (ebook) itu buruk sekali. Mata saya tidak kuat untuk baca e-Book lama-lama. Pun sebentar-sebentar saya beralih dari layar gawai saya. Saya selingi buka medsos. Yang seringnya kebablasan lupa melanjutkan baca e-Book-nya.
Akhirnya saya kembali ke buku lagi. Ke jati diri saya sebagai penikmat buku. Saya pun memutuskan untuk konsisten membeli buku minimal 1 (satu) buku setiap bulan. Kecuali pada momen tertentu, seperti hari buku sedunia itu. Syahwat beli buku saya tak terbendung.
Baca bukunya pun saya membuat komitmen sendiri. Tidak baca buku lain sebelum satu buku selesai dibaca. Agar kedalaman makna dari buku yang saya baca dapat terserap dengan baik. Juga agar kekosongan dalam hati saya itu terobati.
ADVERTISEMENT
Dari pengalaman itu, menurut saya, saat ini walaupun zaman sudah serba digital. Tapi membaca buku masih relevan sebagai sumber informasi, sumber pengetahuan, maupun sebagai bentuk hobi yang positif.
Saya tidak sendiri. Banyak teman-teman saya yang masih hobi mengoleksi dan membaca buku. Terutama teman-teman saya dari generasi milenial.
Contohnya, komunitas blogger saya dengan teman-teman sewaktu kuliah yang masih aktif hingga hari ini. Kami saling merekomendasikan buku-buku yang bagus untuk dibaca. Terutama saat kehabisan bacaan. Biasanya salah satu dari kami meminta rekomendasi judul buku yang menarik. Atau sedang hits. Sehingga kami kepincut untuk membelinya.
Teman saya yang lain dari SMA dulu. Orang yang paling maniak beli buku. Orang yang pasti datang apabila ada pameran buku. Dan orang yang paling sering pergi ke perpustakaan daerah. Sekarang dia aktif di komunitas buku Sragen. Menularkan minat baca kepada anak-anak muda.
ADVERTISEMENT
Cerita lain lagi, dari seorang teman di tempat saya kerja. Dia mengatakan investasi terbesarnya adalah beli buku. Katanya, buku-bukunya apabila dijual semuanya bisa untuk beli tanah dan mobil. Padahal kehidupan sehari-harinya sering kekurangan. Tapi saat tertarik pada suatu judul buku, selalu saja tanpa pikir panjang, dia langsung membelinya.
Mungkin kita perlu menanyakan kepada perusahaan penerbitan. Apakah buku-buku dengan target anak muda mengalami penurunan penjualan ataukah justru sebaliknya? Apakah benar bahwa milenial yang dikenal suka rebahan dan mudah bosan itu benar-benar tidak suka baca buku?
Saya rasa, sebagai milenial walaupun kita menyukai hal-hal yang berbau digital, tapi kita juga generasi yang selalu haus akan informasi baru. Dan buku masih menjadi penebus dahaga informasi paling utama. Karena bagaimanapun, buku masih berada di level yang lebih tinggi dibanding sumber bacaan lain. Secara validitas informasi, secara keseriusan kepenulisan, maupun secara kedalaman makna.
ADVERTISEMENT
Maka, jangan heran, apabila saya masih sering pamer foto buku-buku baru di akun Instagram saya.
Siswa SD mengisi waktu dengan membaca buku di perpustakaan desa. Foto: Nyoman Hendra Wibowo/ANTARA FOTO