Konten dari Pengguna

Senioritas dan Kemalasan Berpikir di Era Digital

Johan Hariyanto
Sarjana Psikologi. Bekerja di bagian HRD.
23 Oktober 2021 21:31 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Johan Hariyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pekerja yang berkaitan di sektor ekonomi digital. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pekerja yang berkaitan di sektor ekonomi digital. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
Perusahaan yang sudah lama, yang berdiri lebih dari 20 tahun atau lebih, memiliki karyawan yang sudah lama-lama juga. Yakni, mereka yang bekerja dari awal perusahaan berdiri. Atau yang kita sering sebut sebagai para senior. Kalau tidak mau disebut sebagai karyawan tua.
ADVERTISEMENT
Saya mengalami itu. Ketika awal-awal mulai masuk bekerja. Melihat rekan-rekan kerja yang mayoritas sudah ‘berumur’. Seumuran ayah saya bahkan banyak yang lebih tua.
Usia saya masih 20 tahunan. Kebanyakan di departemen saya usianya sudah di atas 45 tahun. Banyak rekan kerja saya dari generasi baby boomers dan generasi X. Generasi yang mampu bertahan begitu lama bekerja pada satu perusahaan yang sama. Memang, baby boomers dikenal sebagai pekerja keras dan loyal. Tahan tekanan dan pergolakan.
Di era digital mereka menggunakan gawai seperlunya saja. Yang penting bisa membantu pekerjaan dan urusan sehari-hari. Seperti telepon, kirim pesan dan foto-foto saja.
Jarang kita temui ada baby boomers yang sampai kecanduan online seperti anak-anak dari generasi milenial.
ADVERTISEMENT
Bekerja di perusahaan seperti itu tentu ada enaknya, begitu juga ada tidak enaknya. Enaknya, karyawan di sana sudah memiliki kematangan emosi. Sudah tidak lagi saling mengedepankan ego. Sehingga tidak banyak konflik antar bagian dan karyawan. Dengan kata lain, budaya perusahaan sudah matang. Kita karyawan baru tinggal beradaptasi dan mengikuti saja.
Nah, tidak enaknya, harus beradaptasi dengan orang yang jauh lebih tua. Baik tema obrolan, cara bergaul maupun sudut pandang dalam berpikir. Tidak enaknya lagi, yang akan kita bahas lebih dalam, kita harus siap dalam mengajari mereka hal-hal yang berbau digital. Kita semua mengiyakan, bahwa era digital tidak terhindarkan. Dan perusahaan juga harus mengikuti perkembangan zaman. Maka, digitalisasi di segala bidang harus dilakukan.
ADVERTISEMENT
Segalanya berubah menjadi serba online. Rapat sudah sering dilakukan secara daring. Seminar banyak dilaksanakan dengan webinar. Mau tidak mau orang harus nyemplung ke dunia digital.
Untuk itu semua karyawan harus tahu cara menggunakan aplikasi online untuk pertemuan daring itu.
Mungkin kalau bekerja di kantor bisa dibantu oleh bagian IT. Atau rekan kerja yang masih muda. Tapi jika harus bekerja dari rumah, lain soal lagi. Seperti saat karyawan harus bekerja dari rumah sewaktu persebaran angka COVID-19 sedang tinggi itu.
Sering terjadi, rapat tertunda karena menunggu persiapan mereka yang senior bergabung di aplikasi rapat daring. Begitu pun, dewasa ini, program demi program, aplikasi demi aplikasi berbasis online salip-menyalip diimplementasikan.
Mau tidak mau karyawan yang muda yang selalu diandalkan untuk belajar lebih dulu. Untuk diikutkan training sebelum implementasi dilakukan.
ADVERTISEMENT
“Yang muda saja. Kami sudah tua. Sudah susah nangkepnya. Dulu kami sudah semua. Sekarang gantian yang muda-muda.” ujar para senior.
Lalu ketika sudah selesai mengikuti training, maka selanjutnya harus mengajari mereka. Istilah yang lebih tepat adalah mendampingi. Mereka, karyawan-karyawan senior itu agar bisa menggunakan aplikasi baru yang akan diimplementasikan.
Ketika training dilakukan, mereka menyimak. Mengatakan sudah paham.
“Ya ya ya,” sambil angguk-angguk.
Ketika go live. Yakni, aplikasi baru itu mulai dijalankan. Telepon terus berdering, sahut-menyahut sedari pagi ketika baru sampai di ruang kerja.
Tidak sempat ada jeda sudah ada yang antre untuk menelepon. Terkadang kalau lewat telepon tidak juga paham instruksi yang diberikan, saya minta mereka datang ke ruangan. Atau kalau yang telepon jauh lebih senior, saya yang mendatangi ke ruangannya. Menuntun tahap demi tahap cara penggunaannya.
ADVERTISEMENT
Ada lagi, sudah diajari. Sudah bisa. Besoknya lupa lagi. Tanya lagi. Telepon lagi. Salah lagi.
Menjengkelkan. Mengesalkan. Terkadang sampai greget sendiri.
Maka sering, kami minta waktu agar bulan pertama implementasi program baru, agar dipakai untuk uji coba. Menjalankan dua metode dulu. Baik pakai manual, juga program baru dikerjakan sekaligus. Sebagai cadangan. Tapi bagaimanapun, mau tidak mau sebagai karyawan muda kita juga harus bersabar. Tidak bisa dipaksakan juga. Memang demikian keadaannya.
Toh lama kelamaan juga akan bisa. Walau waktunya yang butuh ekstra. Tidak bisa diajarkan dengan gambar, tulisan dan lisan. Tapi harus dituntun dan didampingi. Learning by doing. Belajar dengan praktik langsung. Belajar dari kesalahan-kesalahan. Sampai akhirnya bisa dilepaskan secara mandiri. Menjadi kebiasaan baru.
ADVERTISEMENT
Dan suara telepon berdering, sahut-menyahut itu pun mulai senyap. Para ahli mengatakan bahwa generasi baby boomers memang lemah di digital. Tapi saya melihat sebenarnya tidak semua karyawan senior seperti itu.
Saya beranggapan bahwa para senior kita ini hanya malas berpikir saja. Atau memang tidak membiasakan diri untuk terus mengasah pikiran. Atau karena merasa sudah senior. Apalagi yang sudah nyaman duduk di ‘kursinya’. Sudah merasa keenakan di zona nyaman. Jadinya antipati terhadap segala hal yang berbau baru.
Menjadi stereotip bersama bahwa orang semakin tua, maka semakin lemah daya berpikirnya. Seperti menghadapi momok setiap akan ada program baru. Seperti terancam saja hidupnya.
Kenapa saya beranggapan demikian?
Saya melihat karyawan di bagian akuntansi dan finance misalnya, mereka sampai menjelang masa pensiun pun, masih akrab dengan aplikasi komputer yang terus berkembang. Mereka lebih mandiri dengan digitalisasi yang diterapkan perusahaan. Bahkan karyawan di bagian itu, banyak yang mengikuti tren gawai yang kekinian.
ADVERTISEMENT
Contoh lain, karyawan di bagian IT. Dari bawahan sampai atasan. Mereka juga bisa mengikuti perkembangan dunia digital. Tentu karena mereka terbiasa menggunakan. Juga tuntutan untuk terus mengikuti dan belajar perkembangan IT. Sehingga pada akhirnya mereka tidak jadi gaptek seperti lainnya.
Kemalasan berpikir ini telah membuat kita menggunakan dalih usia sebagai alasannya. Padahal bukan hanya karena usia, yang masih muda pun bisa saja juga malas berpikir.
Maka, pekerjaan rumah kita, mari membiasakan diri untuk tidak pernah berhenti belajar. Untuk selalu memperbarui wawasan. Selalu mendayagunakan pikiran. Tidak menutup diri di zona yang mungkin telah membuat kita merasa nyaman.