Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.1
Konten dari Pengguna
Balada Perlindungan ABK Indonesia di Ujung Benua Afrika
6 Maret 2020 9:56 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari John Romi Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dunia bahari memang tak pernah jauh dari benak masyarakat Nusantara. DNA sebagai orang pelaut mendorong tak sedikit pemuda kita merantau dan bekerja sebagai anak buah kapal (ABK). Indonesia sendiri dikenal sebagai salah satu kontributor terbesar ABK di kapal asing.
ADVERTISEMENT
ABK Indonesia ini umumnya terbagi dua jenis. Pertama adalah mereka yang bekerja sebagai pegawai pada kapal-kapal pesiar. ABK jenis ini telah mendapatkan pendidikan formal yang memadai dan mampu berkomunikasi dengan baik dalam bahasa asing. Penghasilan yang mereka dapatkan pun terbilang layak.
ABK jenis kedua bekerja di sektor informal sebagai buruh kasar di kapal penangkap ikan, umumnya yang berbendera Tiongkok, Taiwan, Jepang, atau Korea Selatan. Terbatasnya pendidikan, ketidakmampuan berkomunikasi dalam bahasa asing, ditambah luar biasa beratnya tuntutan tugas untuk upah yang kelewat kecil, membuat mereka sangat rentan mengalami rupa-rupa masalah. Belum lagi kondisi kerja yang sering kali jauh dari layak. Karenanya, perlindungan para ABK ini selalu menjadi prioritas Pemerintah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kali ini saya ingin berbagi empat pengalaman dalam perlindungan ABK kita semasa bertugas di KJRI Cape Town, Afrika Selatan tahun 2014-2018. Cape Town sendiri adalah salah satu tempat transit kapal ikan di wilayah Samudera Hindia dan Atlantik Selatan. Sekitar 3.000 ABK Indonesia dari kapal-kapal ini turut singgah di Cape Town setiap tahunnya.
Bagi saya, masalah ini memiliki kedekatan emosional tersendiri, karena salah satu sepupu saya bekerja sebagai ABK di kapal penangkap ikan asing yang juga pernah singgah di Cape Town.
1. Kelas Life Skills untuk ABK Indonesia
Sejak tahun 2011, setiap Rabu malam, para ABK Indonesia yang sedang transit mendapatkan pelatihan bahasa Inggris praktis dan pemahaman lintas budaya. Mereka juga diberikan panduan dan tips tinggal di Cape Town selama masa transit. Menariknya, kelas dipandu oleh Nadeem Samuels, WN Afsel yang pernah belajar selama tujuh tahun di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kelas yang dibuka di rumah singgah Indonesian Seafarer’s Corner (ISC) ini juga memberikan ABK kesempatan untuk konsultasi seputar dunia kerja. Dalam sesi ini, tak jarang ditemui masalah. Mulai dari baku hantam akibat miskom dengan rekan ABK dari negara lain, hingga gaji yang tidak dibayar. Sering kali KJRI Cape Town harus melakukan mediasi ataupun bernegosiasi dengan agensi yang menangani kapal tempat ABK bekerja.
2. Kasus ABK Indonesia dan Sirip Hiu
Suatu kali saya mendampingi ABK Indonesia yang ditahan karena kedapatan membawa kardus berisi potongan sirip hiu tanpa dilengkapi dokumen kepemilikan resmi. Menurutnya, sirip hiu dibawa dari kapal untuk dimasak dan dikonsumsi dengan teman-teman dalam pesta perpisahan, berhubung kontraknya segera selesai dan akan pulang ke Indonesia tiga hari kemudian.
ADVERTISEMENT
Sang ABK tidak paham bahwa di Afsel, membawa bagian tubuh hiu melanggar Undang-undang Perlindungan Satwa Liar. Afsel sendiri adalah negara yang sangat serius dalam memberantas perdagangan ilegal satwa liar.
Dalam persidangan, tim berhasil memperjuangkan pengurangan hukuman. Tuntutan yang semula 18 bulan penjara subsider denda setara 50 juta rupiah, menjadi enam bulan kurungan atau denda ekuivalen dengan 20 juta rupiah. Setelah mengurus pelunasan denda dengan perwakilan pihak agensinya, sang ABK pun dibebaskan dan telah kembali ke kampung halamannya di Jawa Tengah.
3. Penahanan ABK Indonesia di East London
Pada kesempatan lain, saya pernah mendampingi tujuh orang ABK Indonesia yang ditahan di kapal mereka yang dipaksa merapat di East London, sekitar 1.000 kilometer dari Cape Town. Mereka ditahan karena tiga tuduhan. Pertama, kapal dianggap tidak layak berlayar menurut standard Afsel. Kedua, mencuri kekayaan laut Afsel dengan menangkap cumi-cumi di luar musim yang ditentukan. Ketiga, kapal memasuki perairan Afsel tanpa izin.
ADVERTISEMENT
Setelah tiga minggu ditahan, kapal berikut awak dibebaskan karena tidak terbukti bersalah. Kapten kapal dapat menunjukkan sertifikat bahwa kapal layak berlayar, dan tanpa disengaja masuk ke perairan Afsel karena terbawa arus deras saat badai. Sedangkan soal cumi-cumi dalam muatan kapal, terbukti bukan merupakan spesies dari Afsel.
4. Keseruan 17 Agustusan dengan ABK Indonesia
Urusan dengan para ABK kita tidak melulu gloomy. Sisi cerianya ada, kok. Setahun sekali para ABK Indonesia diundang untuk melepas penat dalam perayaan 17 Agustusan di KJRI Cape Town. Mendengar tawa riuh mereka dalam setiap cabang pertandingan dan sesi karaoke yang meriah membawa suasana serasa di kampung halaman sendiri.
Bagi saya, menyaksikan kegembiraan lepas para ABK membuat semua rasa lelah dalam melayani dan melindungi mereka sebagai pahlawan devisa kita langsung lunas terbayar.
ADVERTISEMENT