Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Antisipasi Titik Nadir Ketahanan Pangan
18 September 2023 11:52 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Joko Ade Nursiyono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan perubahan iklim, ketahanan pangan Indonesia kian mengkhawatirkan. Beragam kebijakan yang selama ini menjadi senjata untuk meraih ketahanan pangan sepertinya perlu dikaji ulang. Pasalnya, stok pangan nasional yang ada belum mampu mencukupi kebutuhan.
ADVERTISEMENT
Beras merupakan salah satu komoditas pangan utama masyarakat Indonesia. Bahkan, sejarah telah mencatat bahwa Indonesia pernah mencapai swasembada beras di tahun 1984. Waktu itu, produksi beras mencapai 27.000 ribu ton. Atas capaian itu, Food and Agriculture Organization (FAO) memberikan penghargaan medali “Indonesia: From Rice Importer to Self Sufficiency”.
Meski demikian, ketahanan pangan nasional kini menghadapi tantangan serius. Belakangan beras kembali menjadi sorotan lantaran harganya yang kian naik. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kenaikan harga beras eceran per Agustus 2023 mencapai 1,43 persen (month to month) atau 13,76 persen (year on year). Pada bulan yang sama, BPS juga mengungkap bahwa kenaikan harga beras menjadi pemicu utama inflasi dengan kontribusi sebesar 0,05 persen.
ADVERTISEMENT
Situasi ini kemudian menuai polemik di tengah tinggi ketergantungan masyarakat terhadap beras. Bila ditelusuri, sebenarnya pangkal masalah yang menjadi pemicu polemik beras masih klasik, yakni adanya ketidakseimbangan antara persoalan stok (supply) dan permintaan (demand).
Berdasarkan data United States Department of Agriculture (USDA), produksi beras nasional selama 2022 tercatat sebesar 34.400 ribu ton. Angka ini jauh di atas produksi tahun 1984, namun rasio produksi beras terhadap penduduk justru berkebalikan di mana rasio produksi beras per kapita 2022 sebesar 0,12, atau lebih rendah daripada tahun 1984 yang mencapai 0,17.
Demikian halnya bila dibanding dua negara tujuan impor beras, yakni Thailand dan Vietnam, rasio produksi beras per kapitanya masing-masing sebesar 0,28 dan 0,27 selama 2022. Ini jelas menunjukkan tingkat kecukupan produksi beras Indonesia dua kali lebih rendah dari dua negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Alih-alih mencukupi kebutuhan nasional, impor sejauh ini masih menjadi pamungkas. Menurut BPS, Indonesia merealisasikan impor beras sekitar 500 ribu ton selama 2022. Dengan menambahkan impor itu dengan stok awal tahun sebesar 3.060 ribu ton, diperoleh total stok sebesar 37.960 ribu ton.
Diketahui, total konsumsi beras selama 2022 mencapai 35.000 ribu ton. Selain itu, pemerintah juga telah membuka keran ekspor 2 ribu ton. Penghitungan risiko stok akhir beras 2022 adalah 2.958 ribu ton.
Dengan mengaitkan stok akhir dan konsumsi per bulan sebesar 2.917 ribu ton, agaknya impor beras masih belum efektif untuk meraih ketahanan pangan. Pasalnya, kalkulasi pemanfaatan stok akhir untuk memenuhi permintaan dalam negeri pada tahun 2023 hanya mencapai 1,01. Artinya, cadangan beras Indonesia hanya mencukupi kebutuhan 1,01 bulan seandainya tidak ada produksi atau impor beras. Sementara Thailand dan Vietnam masing-masing 3,48 bulan dan 1,69 bulan.
ADVERTISEMENT
Bila disandingkan dengan China, tingkat pemanfaatan stok akhir beras Indonesia lebih jauh lagi. Dari sumber data yang sama, China mampu memanfaatkan cadangan berasnya mencapai 8,70 bulan. Capaian itu tidak terlepas dari strategi China dalam mengatur keseimbangan komposisi perdagangan.
Sentuhan Teknologi
Menurut Irawan (1992), salah satu faktor pendorong fungsi produksi adalah teknologi. Entah sadar entah tidak, teknologi yang hadir di berbagai belahan dunia sepertinya belum menyita perhatian pemerintah untuk memperkuat sektor pertanian, utamanya pertanian padi. Padahal, teknologi sangat memungkinkan untuk meningkatkan produktivitas lahan dan komoditas yang ditanam.
Teknologi yang ada masih dominan digunakan pada tahap akhir, yakni pemanenan dan penggilingan. Sebaliknya, teknologi sedianya hadir di setiap tahapan bertani padi. Diawali dari bagaimana memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan varietas unggul, bagaimana teknologi digunakan untuk mempercepat proses penanaman padi, mencukupi kebutuhan air, pengendalian hama dan penyakit, hingga proses pemilahan (sorting) kualitas gabah sewaktu pemanenan.
ADVERTISEMENT
China, Thailand, dan Vietnam mampu mencapai pemanfaatan stok akhir berasnya karena teknologi benar-benar menyentuh setiap proses bertani padi. Belakangan, melesatnya teknologi pertanian China berhasil menciptakan varietas padi raksasa (Giant Rice) dengan potensi menghasilkan gabah hingga 12 ton per hektare. Kendati lahan yang dapat dipakai untuk pertanian padi hanya berkisar 7 persen, China juga telah menerapkan pertanian cerdas (smart farming) untuk menjamin produktivitas pertaniannya tetap tinggi.
Demikian halnya dengan Thailand dan Vietnam, di tengah keterbatasan luasan lahan pertanian, teknologi canggih berhasil diterapkan di seluruh tahapan pertanian padi. Didukung intensitas tanam yang bisa mencapai dua sampai empat kali setahun, kedua negara itu demikian serius menggarap sektor pertanian padi sebagai upaya menjaga ketahanan pangan negaranya.
ADVERTISEMENT
Belajar dari ketiga negara tersebut, teknologi pertanian padi mestinya menjadi perhatian Indonesia. Di samping letak geografis dan musim yang baik, teknologi pertanian diharapkan mampu menyentuh setiap proses bertani padi. Selain terbukti meningkatkan produktivitas, dukungan teknologi pertanian akan mampu menjamin stok beras, bahkan tak ayal bila beras menjadi komoditas basis dan mampu diekspor ke negara lain sepuluh tahun mendatang.
Diversifikasi Pangan
Dari data USDA, terlihat bahwa konsumsi beras per bulan Indonesia selama 2022 cukup besar. Terlebih masih banyak masyarakat yang menyakini, “belum makan, bila belum makan nasi”. Anggapan itu pastinya melanggengkan ketergantungan terhadap beras. Oleh sebab itu, sudah seyogyanyalah program diversifikasi pangan kembali digaungkan.
Selain mengurangi tingkat konsumsi beras, program ini diharapkan dapat memberi ruang lebih besar pada pemanfaatan stok akhir beras. Tak berlebihan bila dikatakan efek diversifikasi pangan dalam dua atau tiga puluh tahun ke depan mampu meredam desakan impor beras.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, diversifikasi pangan akan mengubah budaya pangan utama masyarakat dari beras ke non-beras, misalnya jagung dan sagu. Secara perlahan, ketergantungan masyarakat terhadap beras sebagai pangan pokok dapat dikurangi.
Sudah saatnya Indonesia menghadirkan teknologi pertanian padi dan diversifikasi sebagai strategi mencapai ketahanan pangan. Teknologi pertanian untuk peningkatan produktivitas. Sementara diversifikasi bermanfaat menekan ketergantungan masyarakat terhadap beras sekaligus mengurangi impor beras. Kedua instrumen ini perlu berjalan beriringan agar ketahanan pangan nasional tidak menemui titik nadir di masa depan.(*)