Penguatan Budaya dan Pengaruh Fanatisme Beragama

joko dwiatmoko
Guru di Sekolah Penabur Jakarta, Penulis buku Bukan Sekadar Menulis, penulis Novel di Wattpad dan Kwikku.com, Lulusan Sarjana Pendidikan Seni Rupa IKIP Yogyakarta (UNY Sekarang)
Konten dari Pengguna
19 April 2023 21:05 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari joko dwiatmoko tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Peserta melakukan atraksi api saat Karnaval Etnis dan Pawai Budaya Festival Kemilau Meratus di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Rabu (21/12/2022). Foto: Bayu Pratama S/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Peserta melakukan atraksi api saat Karnaval Etnis dan Pawai Budaya Festival Kemilau Meratus di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Rabu (21/12/2022). Foto: Bayu Pratama S/Antara Foto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Budaya menjadi cerminan kemajuan bangsa.
Itu yang sering didengar beberapa tahun lalu. Namun sejak era digital saat ini, gaung budaya dan produk turunannya seakan terdegradasi. Banyak anak muda yang lebih menyenangi budaya asing, lebih asing terhadap budayanya sendiri dan menjadi manusia yang lebih suka menyendiri dan jarang menikmati produk budaya.
ADVERTISEMENT
Benarkah pendapat penulis ini? Atau hanya ungkapan pesimis terhadap masa depan Indonesia? Kurang turun ke sentra budaya yang sebenarnya mengindikasikan bahwa masih ada denyut budaya yang bisa dibanggakan terutama di daerah?
Saya melihatnya di kota besar seperti Jakarta dan kota-kota besar pada umumnya. Kegiatan yang berhubungan dengan budaya semakin redup, berbagai pertunjukan seni hanya muncul di lembaga pendidikan, itupun bisa dihitung dengan jari, pertunjukan-pertunjukan di TIM, Gedung Kesenian Jakarta dan Taman Mini tidak sesemarak beberapa tahun lalu. Apalagi ketika Indonesia dilanda oleh pandemi covid-19.
Padahal produk budaya Indonesia sangat dikagumi di manca negara. Saya sendiri sebetulnya juga sedang mengkritik diri sendiri sebab beberapa tahun belakangan ini jarang sekali melihat dan mendatangi langsung sentra-sentra budaya yang memberi spirit kekayaan rasa dan estetika. Masih banyak tokoh yang terus bergerak untuk melestarikan budaya dengan spirit luar biasa, meskipun tidak didukung oleh ketertarikan secara masih oleh generasi muda.
ADVERTISEMENT
Kekaguman pada produk luar, terutama yang mendominasi jagat maya, seperti halnya film-film Korea, Penyanyi yang berasal dari Korea menjadi magnet tersendiri bagai anak muda Indonesia. Apakah produk Indonesia jelek? Sama sekali tidak malah sebetulnya tidak kalah bagus dengan produk luar, sayangnya mindset orang-orang Indonesia yang lebih bangga jika mengenakan barang dengan jenama yang terkenal yang hanya bisa didapat dari produk luar.
Seharusnya muncul perubahan pola pikir agar orang-orang lebih bangga dengan kekhasan bangsanya sendiri daripada barang yang dihasilkan dari luar negeri. Batik misalnya sebuah produk budaya yang luar biasa indah dan khas. Tiap daerah bisa mempunyai varian sendiri dan ciri khas sendiri dalam hal pola ragam hiasnya yang membuat desain yang dihasilkan dan produk yang dipasarkan semakin luas. Sayangnya pemakaian batik lebih didorong oleh sebuah produk kebijakan yang sedikit memaksa, yaitu dengan mewajibkan pegawai, ASN, siswa, pegawai swasta dan perusahaan untuk mengenakan batik, itupun sebetulnya bukan batik melainkan baju dengan motif batik, karena yang disebut batik asli itu yang ditulis dengan canting atau dengan teknik cetak.
ADVERTISEMENT
Untuk batik printing lebih layak disebut produk tekstil. Batik asli sendiri yang dibuat dengan proses yang cukup rumit harganya cukup mahal dan susah terjangkau pada orang-orang yang mempunyai penghasilan di bawah UMR.
Pertunjukan seni budaya terutama tradisi, mulai ditinggalkan dan hanya beberapa daerah yang masih mempertahankannya. Sedangkan di kota besar seperti Jakarta hampir mustahil ditemukan pertunjukan budaya yang bisa dilihat di tempat umum, atau sentra-sentra fasilitas umum yang bisa disaksikan secara gratis.
Yang ada saat ini banyak anak muda, dan juga orang tua lebih sibuk dengan gadgetnya jarang mengikuti perkembangan kebudayaan terutama seni tradisi yang turun temurun menjadi kekayaan budaya bangsa dari nenek moyang masyarakat Indonesia.
Seni tradisi patut dilestarikan sebagai sebuah langkah untuk identitas bangsa. Jika warisan budaya lenyap dikhawatirkan membuat identitas budaya juga akan punah. Akar tradisi memberi landasan agar ada kesinambungan sejarah antara masa lampau dan masa kini, tidak kehilangan warisan budaya yang luar biasa indah dan menariknya.
ADVERTISEMENT
Kehilangan intuisi budaya membuat generasi muda saat ini lebih menyukai budaya liberal, kapitalis layaknya yang diusung negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat. Sedangkan K-Pop tampaknya sangat kuat pengaruhnya pada anak muda, sehingga kiblat budaya yang berubah di semua sisi termasuk, film, musik, aliran seni rupa, ilustrasi yang cenderung mengekor ke anime, manga.
Padahal di Indonesia sendiri seni dalam hal ini seni lukis, tidak kurang talenta seniman Indonesia yang unggul dalam seni lukis. Yang terimbas sangat jauh terutama adalah dalam hal berpakaian. Keragaman pakaian yang turun temurun hadir sejak nenek moyang, mulai pudar sejak pengaruh agama menguat belakangan ini. Baju sebagai identitas dan entitas budaya mulai luntur oleh pengaruh doktrin agama yang mewajibkan pemeluknya untuk memakai baju berciri agama yang mempunyai syarat-syarat tertentu dan harus ditaati.
ADVERTISEMENT
Hal ini memicu lunturnya budaya dalam hal berpakaian. Hal yang berbau tradisi mulai mendapat framing negatif karena pemahaman yang dangkal terhadap kebudayaan lebih takut dengan ancaman ormas dan pengajar agama yang tidak mentolerir sama sekali budaya lokal dan lebih mewajibkan untuk memakai baju berciri agama.
Apakah dengan dominasi hegemoni agama lantas melupakan budaya sebagai identitas bangsa? Nah, inilah bahasan yang sensitif saat ini. Akan muncul silang pendapat jika berdiskusi tentang kepercayaan, keimanan, mayoritas dan minoritas, agama pemahaman berlebihan yang membuat banyak orang cenderung fanatik dan memframing bahwa tradisi, warisan budaya bangsa cenderung bertolakbelakang dari ajaran agama.
Jika demikian masifnya framing tentang sisi negatif tradisi, jangan-jangan anak muda nanti hanya bisa menikmati lewat tayangan YouTube dan dongeng dari orang tua saja tentang betapa kayanya seni tradisi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hal ini harus menjadi catatan kritis generasi milenial. Semoga mereka sadar untuk tetap bisa melestarikan seni budaya sebagai identitas bangsa Indonesia. Akar budaya tetap harus diperkuat, kesadaran bersama bahwa baju, ajaran agama, budaya pop yang datang dan menyerbu generasi muda harus disaring ketat agar Indonesia tidak kehilangan jatidiri bangsa.
Pemuka agama pun seharusnya bisa menyelaraskan ajaran dengan tradisi, dan warisan budaya lokal, sebab jika muncul doktrin keras untuk melenyapkan budaya lokal maka Indonesia akan sangat kehilangan ciri khasnya sebagai bangsa yang mempunyai kekayaan budaya.Lihat saja Borobudur, Wayang, ukir-ukiran, busana tradisional yang penuh warna, etnomusicalitas yang memukau dan sering menjadi bahan rujukan dan pembelajaran orang-orang manca negara seperti gamelan dan beberapa musik tradisi yang tidak kalah merdu dan menariknya dari musik modern.
ADVERTISEMENT
Demikian juga dengan seni visual, pertunjukan-pertunjukan hiburan yang berciri khas suku, latar belakang budaya daerah sangat kental dengan tradisi keunikan yang jarang ditemukan di belahan bumi lainnya.
Sekarang ini mulai muncul budaya kekerasan, hilangnya welas asih banyak anak muda yang terpengaruh budaya pop dan media sosial. Tayangan di handphone dikonsumsi sehari-hari tanpa filter dan tanpa pendampingan kuat orang tua.
Dalam lingkup pendidikan sendiri muncul kebingungan untuk merumuskan muatan budaya yang berakar pada warisan budaya bangsa, lebih memprioritaskan pada modernisasi pendidikan yang sedikit banyak mengurangi porsi untuk mengikat kuat kecintaan pada budaya bangsa.
Semoga kekhawatiran penulis tidak terjadi dan alam memberi keseimbangan dan pengingat agar generasi muda lebih sigap dan gesit dalam memanfaatkan kekayaan budaya. Seperti halnya yang dilakukan oleh wali kota muda dari Solo Gibran Rakabuming Raka yang kebetulan putra presiden Joko Widodo. Banyak anak muda potensial lainnya yang sangat diharapkan untuk bisa menjadi pioneer dalam menguatkan warisan seni budaya bangsa. Salam budaya.
ADVERTISEMENT