Konten dari Pengguna

Internet Lambat, Menghujat Cepat

Joko Yuliyanto
Penggagas Komunitas Seniman NU. Penulis Buku dan Naskah Drama. Aktif menulis opini di media daring dan luring.
20 April 2021 11:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Joko Yuliyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: https://pixabay.com/geralt
zoom-in-whitePerbesar
sumber: https://pixabay.com/geralt
ADVERTISEMENT
Dari data Ookla akhir tahun 2019, rata-rata kecepatan internet di Indonesia menduduki peringkat 42 dari total 46 negara lain. Rata-rata kecepatan internet kabel dunia sebesar 54,3 Mbps, sedangkan rata-rata kecepatan internet kabel di Indonesia hanya 15,5 Mbps. Kecepatan internet dunia rata-rata meningkat 33 persen setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Menurut data laporan Speedtest pada kuartal IV tahun 2020, kecepatan internet mobile di Indonesia berada di urutan ke-121 di dunia, turun sebanyak empat peringkat dari periode sebelumnya. Indonesia tercatat memiliki kecepatan mengunduh rata-rata mencapai 17,26 Mbps dengan kecepatan mengunggah mencapai 11,44 Mbps, dan latensi 37 ms.
Sedangkan untuk internet kabel, Indonesia berada di urutan ke-115 dengan kecepatan unduhan mencapai 23,32 Mbps, kecepatan unggahan mencapai 13,14 Mbps, dan latensi 18 ms. Berdasarkan data dari CupoNation, koneksi internet Indonesia adalah yang paling lamban di antara negara-negara Asean lainnya.
Di Indonesia, Tangerang menjadi kota dengan kecepatan internet tertinggi setelah Makassar. Tangerang memiliki kecepatan mengunduh rata-rata 18,97 Mbps, kecepatan mengunggah mencapai 12,28 Mbps, dan latensi 26 ms. Sedangkan Telkomsel menjadi provider dengan koneksi internet tercepat di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Untuk menunjang kelancaran proses pembelajaran jarak jauh, khususnya di kawasan terluar, terdepan dan tertinggal (3T), yang masih terkendala akses internet, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menargetkan perluasan akses internet ke seluruh desa dan kelurahan di Indonesia akan selesai pada akhir tahun 2022.
Pemerataan penetrasi internet dapat mengembangkan ekonomi digital yang sedang digalakkan pemerintah. Gagasan penerapan 5G untuk meningkatkan konektivitas internet di dunia diperkirakan bisa menghasilkan pendapatan hingga US$ 3,5 triliun (Rp46,7 quadriliun) dan membuka 22 juta lapangan pekerjaan pada 2035. Menurut Menteri Kominfo, saat ini digitalisasi dan konektivitas sudah memiliki pengaruh besar dalam meningkatkan kesetaraan peluang, akses, dan inklusi masyarakat Indonesia.
Hingga kini pemerintah Indonesia sudah membangun lebih dari 348.000 kilometer kabel serat optik darat dan bawah laut. Termasuk lebih dari 12.000 kilometer Jaringan Tulang Punggung Serat Optik Nasional Palapa Ring BAKTI Kominfo. Namun pemerintah masih khawatir penerapan 5G akan efektif di Indonesia, mengingat masyarakat memperlakukan internet lebih kepada perilaku konsumtif daripada produktif.
ADVERTISEMENT

Budaya Menghujat

Lambatnya sinyal internet tidak sebanding dengan kecepatan menghujat pelaku internet di Indonesia. Sektor informasi teknologi telah mengubah tatanan sosial dan politik suatu bangsa. Polarisasi dan politik identitas hingga saat ini juga sedikit banyak dipengaruhi oleh media sosial.
Beberapa kasus belakangan, membuat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang “kejam”. Konflik Fiki Naki dan Dayana (dari Kazakhstan), kasus penghapusan akun Dewa Kipas ketika mengalahkan Gothamchess, hingga diskriminasi timnas badminton di kejuaraan All England.
Satu kasus viral bisa menggerakkan jutaan masa untuk turut menghujat dengan dasar persatuan dan nasionalisme. Patut dimaklumi berdasarkan survei Digital Civility Index (DCI) untuk mengukur tingkat kesopanan digital global, Indonesia menduduki peringkat paling bawah di kawasan Asia Tenggara. Dari total 32 negara yang disurvei, Indonesia menduduki urutan ke-29 (terbawah keempat).
ADVERTISEMENT
Menurut survei Microsoft, hoaks dan penipuan menjadi faktor tertinggi yang memengaruhi tingkat kesopanan orang Indonesia, yakni dengan persentase 47 persen. Ujaran kebencian ada di urutan kedua dengan persentase 27 persen, lalu diskriminasi sebesar 13 persen.
Kalau dianalisa dari internal negara, ketidaksopanan dengan budaya menghujat sudah akrab bagi buzzer-buzzer politik. Umpatan, caci-maki, hingga sumpah serapah memenuhi beranda media sosial. Patut dimaklumi, karena berdasarkan data We Are Social dan HootSuite menyatakan bahwa pengguna media sosial di Indonesia didominasi remaja dengan usia 18-34 tahun.
Generasi milenial sering berinteraksi dengan pengguna media sosial dalam lingkup internasional, seperti bersosialisasi di fandom atau saat bermain game. Remaja dianggap masih kurang stabil secara emosi, sehingga meluapkan kemarahan di media sosial dengan berbagai umpatan dan hujatan.
ADVERTISEMENT
Penilaian tentang keramahtamahan atau kesopansantunan orang Indonesia tidak korelatif dengan perilaku di media sosial. Budaya menghujat sudah menjadi kebiasaan tanpa disadari telah menghilangkan nilai-nilai keluhuran bangsa. Meskipun karakter masyarakat Indonesia di dunia maya, kadang berbanding terbalik ketika bertemu di dunia nyata.
Keterbatasan sinyal internet bukan dijadikan introspeksi untuk tidak terlalu menggantungkan segala hal kepada media digital, namun malah dijadikan pelegalan perilaku diskriminatif. Menjadi manusia-manusia asosial. Internet di Indonesia boleh lambat, tapi intensitas masyarakat dalam menghujat harus tetap cepat.
Joko Yuliyanto
Penggagas Komunitas Seniman NU. Penulis buku dan naskah drama. Aktif menulis opini di media daring dan luring.