Konten dari Pengguna

Goncangan Energi Dalam Perekonomian

Joko Parwata
Make it simple
5 Maret 2017 17:40 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Joko Parwata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kaitan Energi Dan Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya menelaah faktor-faktor penentu dari pertumbuhan output pembangunan dalam jangka menengah dan jangka panjang. Faktor-faktor tersebut antara lain tenaga kerja penuh, sumber daya alam, teknologi, dan akumulasi modal yang cepat, serta tabungan sebagai investasi yang tergantung pada besarnya pendapatan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pertumbuhan ekonomi juga biasanya digunakan sebagai ungkapan umum yang menggambarkan tingkat perkembangan suatu negara atau regional tertentu, yang diukur melalui pertumbuhan, yaitu (% pertambahan agregat output, seperti PDB) dari pendapatan nasional rill. Nilai tersebut dapat dikonstankan berdasarkan tahun dasar tertentu, terutama untuk melihat faktor kenaikan harga-harga atau inflasi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan prosesnya yang berkelanjutan merupakan kondisi ideal dan utama bagi perkembangan perekonomian yang diharapkan.
Menurut pandangan ahli-ahli ekonomi klasik ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu: jumlah penduduk, jumlah stok barang-barang modal, luas tanah dan kekayaan sumber daya alam, serta tingkat teknologi yang digunakan. Menurut Bapak Ekonomi Klasik, Adam Smith, pertumbuhan bersifat kumulatif, artinya jika ada pasar yang cukup dan ada akumulasi kapital, akan ada pembagian kerja dengan produktivitas tenaga kerja yang menaik. Kenaikan ini menyebabkan pendapatan nasional naik, untuk kemudian memperbesar jumlah penduduk dan mekanisme pasar. Perkembangan ekonomi akan berhenti disebabkan oleh terbatasnya sumber daya alam disamping karena diminishing return. Ahli-ahli ekonomi klasik menganut law of diminishing return, ini berarti pertumbuhan ekonomi tidak akan berlangsung secara terus-menerus karena keterbatasan sumber daya. Hal ini menunjukkan sumber daya alam dapat menjadi kendala dalam pertumbuhan ekonomi.
Perkembangan selanjutnya, model pertumbuhan ekonomi neoklasik mendasarkan analisisnya pada peralatan fungsi produksi; Q = f (K, L; t). Solow (1956), menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi sebagai suatu proses yang berlangsung dengan kombinasi yang bervariasi antar faktor-faktor produksi. Model pertumbuhan ekonomi Solow mengasumsikan bahwa fungsi produksi memiliki pengembalian skala konstan (constan returns to scale), berlakunya tambahan hasil yang semakin menurun pada setiap input (the law of diminishing returns to factor) dan elastisitas positif penggantian diantara setiap input. Pendapat ini sepenuhnya berpangkal pada pemikiran aliran klasik yang menyatakan bahwa perekonomian akan tetap mengalami tingkat kesempatan kerja penuh dan kapasitas alat-alat modal akan tetap sepenuhnya digunakan dari masa ke masa.
ADVERTISEMENT
Dalam teori neoklasik, teknologi dianggap sebagai faktor eksogen yang tersedia untuk dimanfaatkan oleh semua negara di dunia. Dalam perekonomian yang terbuka, semua faktor produksi dapat bertambah secara leluasa dan teknologi dapat dimanfaatkan oleh setiap negara, maka “Pertumbuhan ekonomi di semua negara di dunia akan konvergen, yang berarti kesenjangan semakin lama akan semakin berkurang”.
Paul Romer dan Robert Lucas, dua orang ahli ekonomi yang mengembangkan mekanisme pertumbuhan ekonomi yang bersifat endogen. Hasil pengamatan empirik kedua ahli tersebut menunjukkan bahwa determinan pertumbuhan ekonomi jangka panjang memiliki banyak variabel yang sifatnya endogen. Pandangan atas variabel-variabel yang turut menentukan pertumbuhan ekonomi jangka panjang kemudian dimasukkan dalam model yang dibangun sehingga tidak lagi merupakan variabel yang eksogen.
ADVERTISEMENT
Model baru ini menganggap pertumbuhan ekonomi berlangsung terus menerus dan tidak terbatas sebagai hasil dari investasi kapital termasuk human capital, sehingga hasil investasi ini tidak dengan sendirinya menurun ketika perekonomian berkembang. Adanya spillovers of knowledge diantara produsen dan manfaat eksternal kapital dalam bentuk sumber daya manusia merupakan bagian dari proses pertumbuhan. Kedua faktor tersebut dapat mengurangi kecenderungan diminishing returns, sehingga akan terjadi akumulasi kapital. Hal yang penting lain adalah masuknya faktor perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berperan secara signifikan dalam pertumbuhan jangka panjang. Kemajuan teknologi merupakan hasil dari penelitian dan inovasi. “Bila dalam suatu perekonomian tidak terjadi kecenderungan penurunan ide, maka tingkat pertumbuhan jangka panjang akan tetap positif”.
ADVERTISEMENT
Solow (1974), menunjukkan bahwa kesinambungan dapat dicapai dalam sebuah model yang terbatas pada pemakaian non-renewable resouces saat elastisitas substitusi antara dua input terjadi dan kondisi teknis tertentu lainnya dipenuhi. Model yang sama dalam sistem ekonomi yang kompetitif, menunjukkan pemanfaatan sumber daya, konsumsi dan kesejahteraan sosial akhirnya jatuh menuju nol (Stiglitz, 1974). Kesinambungan terjadi ketika masyarakat berinvestasi kembali untuk menggantikan sumber daya alam yang menipis.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Energi dalam Pertumbuhan Ekonomi
Banyak ahli ekonomi ekologi mengkritik berbagai pandangan teori pertumbuhan (terutama aliran klasik dan neoklasik) yang hanya memfokuskan pada batasan institusional dalam pertumbuhan (Stern dan Cleveland, 2004). Mereka menekankan perlunya memahami lebih mikro pada batasan susbtitusi antar input dan perkembangan teknologi sebagai faktor penting dalam mengatasi kendala keterbatasan sumber daya alam.
ADVERTISEMENT
Sumber daya energi yang langka diharapkan dapat diganti oleh lebih banyak substitusi, atau “setara” dalam bentuk manusia atau kapital (orang, mesin, pabrik, dll). Kedua ahli di atas menekankan pentingnya substitusi terhadap pemakaian sumber daya energy dan material. Namun kenyataanya, perekonomian yang kompetitif itu sendiri sulit terjadi, karena masyarakat cenderung meningkatkan terus konsumsi, kendala harga (bahan baku dan biaya produksi) dan timbulnya market failure. Pemahaman ini menjadi terbatas, karena belum memasukkan adanya substitusi antar sumber daya itu sendiri, misalkan penemuan-penemuan baru serta pengembangan sumber daya terbarukan.
Tren Konsumsi Energi Dunia (Gambar: Energy Information Administration)
Menurut Stern dan Cleveland (2004), dengan melihat hubungan antara energi dan output agregat dalam fungsi produksi Q = f (K, L, E; t), maka beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keterkaitan tersebut antara lain:
ADVERTISEMENT
Dalam batasan substitusi misalnya, sumber daya energi itu sendiri terdiri dari berbagai jenis dan karakteristik serta nilai efisiensinya. Masing-masing mempunyai karakter yang dapat membantu meningkatkan efisiensi aktivitas ekonomi. Keterbatasan substitusi juga diharapkan dapat dipecahkan dengan meningkatnya peranan human capital serta kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ahli ekonomi John Stuart Mill berpendapat, terbatasnya sumber daya tidak membuat pembangunan stagnan atau mundur. Hal ini karena ekspektasi pengetahuan dan teknologi dalam pengelolaan sumber daya dan pertumbuhan ekonomi terus berkembang (Tahvonen, 2000).
ADVERTISEMENT
Tahvonen dan Salo (2001) mempelajari transisi antara energi terbarukan dan energi tidak terbarukan pada berbagai level pembangunan. Mereka menemukan, pada awalnya ekonomi bekerja menggunakan energi terbarukan kemudian berevolusi ke energi tak terbarukan dan kembali lagi ke pemakaian energi terbarukan. Secara teknis hal ini sangat mendukung, apalagi jika harga energi tak terbarukan semakin meningkat terus. Diversifikasi ke arah energi terbarukan akan terus menjadi tantangan ekonomi saat ini dan ke depan.
Perbedaan Tingkat Konsumsi Energi Negara Maju dan Negara Berkembang (Gambar: Energy Information Administration)
Pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang saat ini masih mengalami kendala dalam meniru perubahan-perubahan struktural perekonomian di negara-negara maju. Hal ini diperkirakan juga berkaitan erat dengan mekanisme berjalannya faktor-faktor tersebut di atas (Stern dan Cleveland 2004). Berdasarkan faktor-faktor tersebut di atas, terlihat “Pentingnya mekanisme substitusi sumber daya yang harus ditempuh bagi Negara-negara berkembang”.
ADVERTISEMENT
Konsep Peran Energi dalam Pembangunan Ekonomi dan Perekonomian Makro
Pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi memiliki arti yang sedikit berbeda, meski keduanya sering dianalogikan sama. Keduanya menerangkan mengenai perkembangan perekonomian yang berlaku atau secara aktual terjadi.
Pembangunan ekonomi umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Jelas dapat dilihat dari definisi ini bahwa pembangunan ekonomi memiliki tiga karakteristik penting, yaitu: (1) Suatu proses, yang berarti perubahan yang terjadi secara terus menerus (sustainable), (2) Usaha untuk menaikkan tingkat pendapatan perkapita, dan (3) Kenaikan pendapatan perkapita itu harus berlangsung dalam jangka panjang. Di dalam analisis, pembangunan ekonomi perlu dipandang sebagai suatu proses saling berkaitan dan hubungan saling mempengaruhi antar faktor yang menghasilkan pembangunan nyata. Sehingga, dapat diketahui deretan peristiwa yang mewujudkan peningkatan dalam kegiatan ekonomi dan taraf kesejahteraan masyarakat. Dalam prakteknya, laju pembangunan ekonomi sering dilihat dari pertambahan pendapatan domestik bruto riilnya.
ADVERTISEMENT
Salah satu komponen yang mempengaruhi pembangunan ekonomi adalah jumlah pemakaian energi secara nasional. Meningkatnya pemakaian energi mendorong proses industrialisasi. Permintaan energi pada industri manufaktur untuk menjalankan mesin-mesin memang sangat tinggi. Di sisi lain, dukungan kontribusi energi, terutama dalam penerimaan ekspor dan penerimaan pemerintah, menjadi sarana akumulasi modal pembangunan. Dengan menyadari bahwa pemakaian energi sangat erat berhubungan dengan PDB, maka dapat diperkirakan berapa kenaikan yang diperlukan untuk mendapatkan tingkat output tertentu. Besarnya kenaikan pemakaian energi yang dibutuhkan untuk menaikkan satu unit output dapat diketahui dengan meng­hitung elastisitas energi terhadap output nasional. Elastisitas tersebut diformulasikan sebagai berikut:
EE = (DEC/EC)/(DPDB/PDB); EE = Elastisitas energi; EC = Pemakaian energi nasional pada waktu tertentu; PDB = Produk domestik bruto waktu tertentu; DEC = Incremental pemakaian energi selang waktu tertentu (EC2-EC1); DPDB = Incremental PDB selang waktu tertentu (PDB2-PDB1)
ADVERTISEMENT
Selain sebagai indikator yang dapat dijadikan pijakan dalam proses pengambilan keputusan strategi pembangunan, elastisitas energi juga dapat digunakan untuk mengukur sampai dimana efisiensi dan tahap industrialisasi suatu negara. Elastisitas energi yang semakin kecil menggambarkan struktur produksi semakin efisien dan energi memiliki nilai tambah yang besar terhadap produksi nasional. Namun elastisitas yang kecil ini kadang-kadang juga dapat menggambarkan informasi yang menyesatkan.­ Angka elastisitas seperti itu biasanya ditemui di negara-negara yang masih berbasis pertanian. Sedangkan elastisitas yang besar juga tidak berarti jelek. Elastisitas yang besar biasanya dijumpai di negara-negara industri maju. Elastisitas yang besar juga tidak selalu menunjukkan industri negara itu sudah maju, tetapi boleh jadi karena negara ini terlalu boros memakai energi yang ada. Pihak pengambil keputusan harus sangat berhati-hati dalam menafsirkan informasi elastisitas yang ada. Indikator-indikator lainnya harus turut diperhatikan.
ADVERTISEMENT
Selain elastisitas, beberapa negara menggunakan konsep penghitungan intensitas energi yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
IE = EC/PDB; IE = Intensitas energi; EC = Pemakaian energi nasional pada waktu tertentu; PDB = Produk domestik bruto pada waktu tertentu
Intensitas energi yang cenderung mengalami penurunan biasanya merupakan salah satu penyebabnya pertumbuhan ekonomi yang tidak lagi didorong industri manufaktur. Pertumbuhan ekonomi lebih didorong sektor industri jasa. Karena merupakan konsep rata-rata (average), bukan konsep marjinal seperti elastisitas, maka intensitas tidak dapat menggambarkan efisiensi pemakaian energi. Penjelasan intensitas pemakaian energi terbatas pada besaran pemakaian energi dalam pembangunan suatu negara. Dengan membandingkan keduanya dapat diketahui keunggulan konsep elastisitas dibandingkan intensitas pemakaian energi.
ADVERTISEMENT
Ekonomi makro sebagai suatu kerangka analisis berkaitan de­ngan pembahasan ekonomi secara keseluruhan. Topik yang dibahas ekonomi makro berhubungan dengan hal seperti pertumbuhan ekonomi, aras (level) output nasional, neraca pembayaran, anggaran, belanja, inflasi, dan sebagainya. Kerangka pembahasan ekonomi makro menggunakan pendekatan analisis permintaan dan penawar­an agregat (Purnomo Yusgiantoro, 2000).
Penawaran agregat merupakan jumlah barang yang ditawarkan dalam suatu perekonomian. Penawaran agregat dapat dipengaruhi oleh variabel tenaga kerja (L), stok kapital (K) dan sumber daya alam (R). Permintaan agregat didefinisikan sebagai jumlah barang yang diminta dalam suatu perekonomian. Besarnya barang yang diminta tersebut dapat dipengaruhi variabel konsumsi (C), investasi (I), sektor pemerintah (G) serta neraca pembayaran (X-M).
Energi dalam penawaran agregat merupakan bagian dari input produksi yang dampak substitusinya satu sama lain menarik untuk dibahas. Penawaran agregat dalam sisi persediaan dari keseimbangan harga nasional dengan output, dalam hal ini digunakan Produk Domestik Bruto/Gross Domestic Product (GDP). Masalah substitusi, baik energi mensubstitusi non­-energi ataupun sebaliknya, menjadi penting dalam menghasilkan PDB. Elastisitas substitusi adalah seberapa besar input non-energi mensubstitusi energi dalam menghasilkan PDB yang akan mempengaruhi bentuk isoquant dan tingkat kenaikan PDB.
ADVERTISEMENT
Peran energi dalam makroekonomi dapat ditentukan dari ke­rangka tersebut, namun perlu pula diperhatikan elastisitasnya dalam jangka pendek dan jangka panjang. Ketersediaan energi dalam jang­ka pendek masih dibatasi oleh teknologi, sehingga kemampuan substitusinya juga terbatas. Bila elastisitas substitusinya kecil, maka pengurangan input energinya akan memberi dampak negatif pada sistem ekonomi dan mengakibatkan tingkat PDB mengalami penurunan. Sedangkan elastisitas substitusi dalam jangka panjang dapat diperbaiki menjadi lebih besar dengan kemungkinan perubahan teknologi dan efisiensi energi, sehingga substitusi non-energi tidak akan mempengaruhi tingkat PDB.
Peningkatan substitusi, erat terkait dengan tersedianya teknologi dan manajemen sisi permintaan, seperti program diversifikasi dan konservasi energi demi peningkatan efisiensi pemakaian energi. Elastisitas substitusi jangka panjang secara teoretis akan lebih besar dari jangka pendek, namun kenyataan ini bervariasi untuk tiap negara.Sedangkan, keterkaitan antara energi dengan permintaan agregat secara umum dapat dilihat dari beberapa komponen ekonomi makro seperti penerimaan pemerintah, neraca pembayaran, investasi, dan inflasi. Cara menelaah apakah ada keterkaitan energi dengan perekonomian adalah melihat bukti-bukti empiris yang pernah terjadi.
ADVERTISEMENT
Kita tentu masih ingat, krisis energy terparah dunia pada tahun 1970-an setidaknya menunjukkan adanya keterkaitan tersebut. Dasawarsa 1970-an merupakan masa di mana terjadi penurunan pendapatan per kapita riil Amerika Serikat yang pertama sejak dasawarsa 1930-an. Pada saat yang sama terjadi stagflasi – keadaan inflasi yang selalu stagnan dan tidak bisa berubah untuk menjadi lebih baik dan tingkat pengangguran pun terlihat sangat tinggi. Fenomena tersebut tidak hanya terjadi di Amerika Serikat, tetapi juga menyebar di hampir semua negara industri maju.
Krisis energi juga membawa dampak bagi negara-negara berkembang. Efek makro krisis energi terhadap negara maju dan berkembang sebenarnya dapat dianggap sebagai suatu siklus. Kenaikan harga minyak dunia membuat nilai ekspor negara produsen minyak (negara berkembang) terangkat naik. Karena perannya sebagai input produksi, maka kenaikan harga minyak dunia tersebut mengakibatkan bertambahnya biaya produksi negara pengimpor minyak. Harga barang yang diproduksi negara pengimpor minyak jelas menjadi lebih mahal. Ketika negara berkembang harus mengimpor barang-barang tersebut, yang sebagian besar barang modal, nilai impornya menjadi lebih besar.
ADVERTISEMENT
Windfall profit penerimaan minyak menanjak drastis dan dialami negeri produsen migas, disebabkan oleh harga minyak yang mendadak melonjak. Bila sebaliknya yang terjadi, maka jelas sistem ekonomi tidak mendapatkan windfall profit tetapi collapse (penurunan mendadak) karena harga minyak merosot tajam. Minyak bumi merupakan salah satu energi yang sering berfluktuasi. Penyebabnya bukan hanya faktor fundamental pasar yang dapat dapat berubah, tetapi juga pengaruh perkembangan Timur Tengah, politik, perang, psikologis, dan ulah spekulan. Sebagian besar negara yang pendapatan nasionalnya tergantung ekspor migas sering menghadapi kenyataan harga minyak meleset jauhi dari harga patokan yang telah ditetapkan.
Booming ekspor – terutama minyak dan gas bumi -­ dapat menjadi penyebab gagalnya pembangunan. Sindrom ini dikenal sebagai Dutch Disease. Istilah ini diambil berdasarkan pengalaman pembangunan Negeri Belanda setelah tahun 1960. Pada tahun itu ditemukan cadangan sumber gas bumi yang sangat besar. Nilai ekspor yang tiba-­tiba melonjak dan surplus neraca pembayaran menjadi sumber kemakmuran baru, tetapi hal demikian tidak berlangsung lama. Perekonomian Belanda perlahan-lahan mengalami krisis. Yang terjadi pada tahun 1970-an merupakan anti klimaks dari keadaan sebelumnya. Inflasi meningkat tajam, ekspor barang manufaktur turun, pertumbuhan pendapatan nasional turun, dan tingkat penggangguran terus meningkat. Kemudian terjadi booming minyak pada tahun 1970-an dan 1980-an yang membawa dampak serupa bagi Arab Saudi, Nigeria, dan Meksiko.
ADVERTISEMENT
Para ahli ekonomi mulai menyadari bahwa krisis ekonomi yang pernah terjadi di Negeri Belanda dapat saja menjadi fenomena umum yang disebabkan oleh “kegembiraan” berlebihan atas surplus yang diperoleh dari ekspor minyak dan gas bumi. Dutch Disease juga pernah dialami Indonesia. Tingginya harga minyak dunia pada dasawarsa 1970-an membuat penerima­an ekspor Indonesia dari minyak dan gas bumi meningkat tajam. Tetapi saat itu belum disadari dan disiapkan diver­sifikasi ekspor dari migas ke nonmigas. Yang terjadi kemudian hampir sama dengan apa yang pernah dialami Belanda.
Energi juga terkait dengan neraca modal nasional lewat kegiatan pengembangan dan pemanfaatan energi. Sesuai dengan karakteristiknya yang penuh risiko, padat modal, serta berteknologi tinggi, maka pengembangannya dilakukan oleh penanam modal asing atau perusahaan multinasional. Investasi asing langsung (foreign direct investment) di Indonesia untuk minyak, gas bumi, batubara, panas bumi dan pembangkit listrik dilakukan oleh perusahaan multinasional. Itu adalah bagian dari modal swasta yang masuk (private capital inflow), besarnya relatif kecil dibandingkan dengan modal pemerintah yang masuk (government capital inflow). Investasi pengembangan energi sekunder yang terbesar untuk sistem kelistrikan merupakan bagian dari neraca modal pemerintah yang pembiayaannya sebagian besar dari dana pinjaman dan hibah lembaga donor internasional.
ADVERTISEMENT
Tingkat harga nasional diperoleh dari keseimbangan antara permintaan dan penawaran agregat. Perubahan pada faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan maupun penawaran agregat oto­matis mengubah tingkat harga nasional. Inflasi terjadi karena tarikan permintaan (demand pull inflation) akibat kenaikan pengeluaran konsumsi (C), investasi (I), dan pemerintah (G). Inflasi dapat pula terjadi karena dorongan kenaikan biaya faktor produksi kapital (K), tenaga kerja (L) dan bahan bakar energi (E) dalam penawaran (cost push inflation). Pengaruh keduanya terhadap kegiatan perekonomian tampak berbeda. Demand pull inflation ditandai oleh meningkatnya output, sedangkan cost push inflation cenderung me­nurunkan aktivitas ekonomi yang ditandai menurunnya output.
Energi terkait langsung dengan inflasi terutama karena energi sebagai faktor produksi akan memberi dampak inflasi lewat cost push inflation. Energi sebagai faktor produksi dimanfaatkan oleh konsumen akhir (end user) dalam transportasi, pembangkit listrik, industri, rumah tangga dan bentuk kegiatan komersial lainnya. Dampak terhadap inflasi lebih banyak terlihat dalam kenaikan harga energi yang digunakan langsung oleh konsumen akhir.#
ADVERTISEMENT