Kolaborasi Ilmu

Joko Priyono
Fisikawan Partikelir. Mengelola Penerbitan di Buku Revolusi. Menulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan.
Konten dari Pengguna
3 Mei 2022 10:48 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Joko Priyono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perkembangan ilmu pengetahuan harus kita pahami melahirkan tantangan dalam dimensi perkembangan cabang keilmuan. Derap wacana akan kemajuan yang menyeruak dalam kalangan publik menyiratkan satu hal: makin membesarnya perhatian kepada teknologi maupun sains kealaman. Di sisi lain, ilmu-ilmu humaniora terlihat dikesampingkan dan terpinggirkan dengan dalih peranan terhadirkan tak langsung berimplikasi pada kehidupan nyata.
ADVERTISEMENT
Dari situasi tersebut ada upaya yang mesti dilakukan dalam mengurai antara kemajuan dan permasalahan kesenjangan yang muncul. Itu tak terlepas bagaimana aspek aksiologi maupuan kegunaan ilmu pengetahuan tak menjadikan kesenjangan yang meluas. Peran maupun tanggung jawab tersebut diemban oleh berbagai pihak. Baik itu sektor pemerintah, komunitas ilmuwan, hingga struktur pendidikan.
Di Indonesia telah terbaca sebenarnya akan proyeksi jangka panjang terhadap sains dan teknologi. Misalkan geliat istilah pemangku kebijakan, katakanlah Revolusi Industri 4.0, Society 5.0, hingga Metaverse. Belum lagi kita telah mendengar proyek besar mengenai Bukit Algoritma. Pengarusutamaan itu memang melibatkan kelompok ilmuwan. Pada 2016, di bawah instruksi Kemenristekdikti, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) menyusun buku putih Sains, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Menuju Indonesia 2045.
ADVERTISEMENT
Laju Peradaban
Analisis penting yang perlu disimak terkait situasi itu salah satunya apa yang diutarakan oleh fisikawan dan peneliti pembelajaran mesin, Max Erix Tegmark lewat buku Life 3.0: Menjadi Manusia di Era Kecerdasan Buatan (Elex Media Komputindo, 2021). Satu hal yang tak dapat disingkirkan dalam laju percepatan kecerdasan buatan yang berdampak pada banyak bidang adalah masalah etika maupun penyelarasan tujuan. Tak lain berkaitan dengan prinsip dalam mengambil sebuah keputusan.
Hal itu ditekankan oleh Tegmark tak terlepas pada pelibatan akan keindahan, kebaikan, dan kebenaran. Dengan fondasi itu, manusia kemudian memiliki titik refleksi terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi beserta dampaknya. Mikhael Dua (2011) menegaskan bahwa tugas etika bukan untuk menafikkan manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi melainkan mengajak setiap orang untuk bertanggung jawab terhadap ekses teknologi baik terhadap manusia maupun terhadap alam.
ADVERTISEMENT
Dalam fisika misalnya, setidaknya mulai abad ke-XX, keberadaan mekanika kuantum sebagai bagian di dalamnya menjadi sebuah keilmuan yang menjanjikan dalam melahirkan progresivitas teknologi terbarukan. Apalagi beriringan pula dengan terminologi baru sebagai penggambaran dunia, Revolusi Industri Keempat dengan berbagai perangkat di dalamnya, baik itu Artificial Intelligence, Blockchain, Internet of Things, nanoteknologi, dan lain sebagainya. Mekanika kuantum tak dapat dipisahkan dalam proses di dalamnya.
Fisikawan kelahiran Irak pengajar di Universitas Surrey, Inggris, Jim Al-Khalili mengutarakan akan pentingnya kolaborasi fisika dengan cabang ilmu lain. Di bukunya, Dunia Menurut Fisika (Kepustakaan Populer Gramedia, 2021) mencatat akan fisika perlu melandasi dan berperan dalam antar disiplin dengan keterampilan logis, hitungan, dan pemecahan masalah. Fisika tak melulu berkutat pada bidang sains, namun berguna juga bagi politik dan keuangan.
ADVERTISEMENT
Kesadaran Bernalar
Laju kemajuan tak dapat dipisahkan akan hadirnya kesadaran kolektif dalam membangun tradisi bernalar. Komunitas masyarakat tak bisa berdiri hanya dengan kemampuan dalam melakukan akses dan pemfungsian produk teknologi semata. Namun, melainkan dari itu perlu melandasi dirinya dengan sikap bijak akan perlakuan teknologi. Teknologi sendiri harus diakui berorientasi pada manusia, artinya seluruh kendali berada pada kesadaran manusia.
Walakin, kompleksitas teknologi yang hadir menyebabkan dua wajah berseberangan. Teknologi membuka peluang dalam mengontrol hidup manusia. Sebab itu lah, perlunya kemampuan secara kolektif dalam memahami akar keberadaan teknologi yang tak lain adalah ilmu pengetahuan. Kesadaran bernalar itu membutuhkan proses dan pelibatan banyak pihak, baik institusi pendidikan, komunitas ilmiah, dan masyarakat secara umum.
ADVERTISEMENT
Dari sana kemudian bermuara pada sikap dan prinsip dalam menjalankan kehidupan. Mengenai itu, Harari (2015) menjelaskan terkait humanisme sebagai proses bertahap perubahan dari dalam diri, pergerakan dari kebodohan menuju sarana pencerahan dengan pengalaman. Dimana tujuan tertinggi kehidupan humanisme tersebut mengembangkan sepenuhnya pengetahuan melalui keragaman luas pengalaman baik intelektual, emosional, dan spiritual.
Humanisme juga mewujudkan keseimbangan. Sebagai analoginya, sains akan berjalan beriringan dengan nilai humanis. Pada kehidupan praksis, produk ilmu pengetahuan berupa teknologi didasarkan pada kebutuhan. Artinya, seseorang mengerti dan memahami bahwa yang dilakukan tidak boleh berlebihan. Dalam cakupan lebih luas lagi tentu saja membendung akan penyalahgunaan ilmu pengetahuan sebagai hal yang merusak sesama dan lingkungan hidup.[]