Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Meningkatkan Kualitas Pendidikan Melalui Kebijakan Populasi
22 Desember 2024 16:54 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Yuda Raditya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pendidikan Indonesia yang entah–sudah meningkat atau masih jalan ditempat, atau justru menurun–akibat gonta-ganti kurikulum setiap pergantian pemerintah kerap bikin keki. Namun, sebenarnya kualitas pendidikan kita tidak hanya menjadi tanggung jawab Menteri Pendidikan pada khususnya atau pelaku pendidikan pada umumnya. Lihat saja kemajuan pendidikan Tiongkok, yang ternyata sangat dipengaruhi oleh kebijakan populasi.
Memang tak ada yang menyangka, kebijakan satu anak di Tiongkok telah merubah lanskap pendidikan negeri Tirai Bambu ini. Kebijakan satu anak yang diperkenalkan pada 1970-an hanyalah ingin mengendalikan populasi yang dianggap sudah berlebihan. Ketika Deng Xiaoping naik ke tampuk kekuasaan setelah Mao meninggal pada 1976, ia menyadari bahwa populasi yang terlalu besar hanya akan memperlambat pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita. Karenanya Deng menginginkan kualitas berada di atas kuantitas. Dalam waktu singkat dia menginstruksikan dewan kependudukan negara bagian: “turunkan populasi. Saya tidak peduli bagaimana caranya.” Instruksi inilah yang melandasi lahirnya kebijakan satu anak di Tiongkok pada tahun 1978.
ADVERTISEMENT
Capaian kebijakan satu anak tak terbantahkan telah menciptakan dinamika pendidikan yang kompetitif, dan pada akhirnya mendorong tercapainya modal manusia yang berkualitas. Bagaimana kebijakan satu anak mempengaruhi dinamika pendidikan di Tiongkok? Adakah dampak buruknya? Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Biaya Pendidikan dan Kelas Ekstra
Meski kebijakan satu anak diterapkan begitu ketat di perkotaan, pemerintah masih memberikan kelonggaran kepada etnis minoritas yang banyak tersebar di pedesaan. Selain itu, anak kembar yang tak terhindarkan juga tetap ditolerir oleh negara. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh Choukhmane et al. (2013) untuk meneliti jumlah pengeluaran untuk pendidikan pada keluarga satu anak dan dua anak. Hasilnya menunjukan ketika usia pendidikan wajib tidak terjadi kesenjangan yang signifikan. Karena di Tiongkok, pendidikan wajib di Lembaga Pemerintah digratiskan, sehingga adanya perbedaan pengeluaran ketika mengenyam pendidikan wajib pada usia awal dapat diabaikan. Akan tetapi ketika sang anak menginjak usia 20 tahun, orang tua dengan satu anak memiliki pengeluaran untuk pendidikan anak 20% lebih tinggi dibanding dengan orang tua dengan dua anak.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Jin (2023) mengungkapkan rata-rata pengeluaran keluarga untuk pendidikan satu anak sebesar 25% dari pengeluaran tahunan. Ini merupakan jumlah yang cukup besar. Sebagai perbandingan, rata-rata keluarga di Amerika Serikat mengalokasikan sebesar 5% dari pengeluaran tahunan untuk pendidikan satu anak. Bisa dipastikan, dalam pengeluaran per kapita, kebijakan satu anak di Tiongkok secara signifikan meningkatkan fokus orang tua pada pendidikan anak. Barangkali motifnya sebagian pragmatis–lantaran hanya memiliki satu anak, maka pastikanlah anak itu mendapat pendidikan tinggi supaya di kemudian hari bisa mendapat upah yang tinggi, sehingga bisa membayar kekurangan-kekurangan yang lain–atau bisa saja didorong oleh keinginan untuk memastikan sang anak bisa melangkah lebih jauh dari anak tetangga. Tidak perlu diragukan lagi, orang-orang Tiongkok terkenal kompetitif.
Kemudian pertanyaannya: apakah dengan mengeluarkan dana lebih banyak dapat menghasilkan pendidikan yang lebih baik? Jawabannya, iya. Sampel orang-orang muda yang dikumpulkan dengan rentang usia 18-20 tahun menunjukan bahwa, anak kembar 40% lebih kecil kemungkinannya dibandingkan anak tunggal untuk memilih melanjutkan studi ke Sekolah Menengah Atas yang memungkinkan mereka melanjutkan ke jenjang Universitas. Anak kembar juga 30% lebih mungkin masuk ke Sekolah Menengah Kejuruan yang menyediakan pelatihan kerja. Dalam lanskap Tiongkok saat ini, Jin menyebut mengurus jadwal pendidikan anak dan khawatir tentang prestasi mereka adalah hobi nasional para orang tua Tionghoa. Orang tua pada sibuk merencanakan secara detail kehidupan anak, menyertakan anak mereka pada berbagai ekstrakurikuler, sampai tiba-tiba membina hubungan baik dengan para guru (para orang tua tak peduli seberapa tinggi kekayaan atau pangkat yang mereka miliki).
ADVERTISEMENT
Pertumbuhan Ekosistem Pendidikan
Lambat-laun, biaya pendidikan di Tiongkok menjadi melambung tinggi. Ini dikarenakan generasi kebijakan satu anak memicu perlombaan pendidikan secara ketat (atau lebih tepatnya, karena orang tua mereka yang melakukannya). Saat ini biaya untuk membayar tutor dan kelas tambahan begitu mahal, belum lagi sang anak mengikuti kursus olimpiade, bahasa inggris yang intensif, hingga program studi ke luar negeri. Sebenarnya untuk apa semua ini? Tentunya untuk memastikan bahwa anak mereka dapat bersaing. Seperti kata pepatah yang populer di Tiongkok, "Jangan biarkan anakmu tertinggal sejak garis start."
Meningkatnya biaya pendidikan berbanding lurus dengan peningkatan jumlah sekolah dan guru, layanan pendidikan, seragam sekolah, buku pelajaran, sampai berbagai pengalaman pendidikan. Sebuah pasar baru telah diciptakan oleh obsesi nasional ini, dan dalam waktu singkat sekolah dan program pendidikan asing mendekat berduyun-duyun. Sekolah internasional membuka cabang di seantero Tiongkok. Bahkan, Kepala Sekolah terbaik di Inggris dan AS pindah ke Tiongkok sebelum pandemi.
ADVERTISEMENT
Iklim kompetitif yang terdapat pada tingkat sekolah masih berlanjut ke tingkat perguruan tinggi, sehingga mendorong terbentuknya seleksi masuk universitas yang begitu ketat. Universitas-universitas di Tiongkok mendapat bibit-bibit unggulan yang siap bersaing dalam dunia perguruan tinggi dunia. Alhasil, beberapa universitas di Tiongkok kini mendominasi ranking teratas dalam bidang akademik teknik tambang dan mineral, serta teknik metalurgi. Shanghai Ranking–organisasi yang menerbitkan peringkat universitas dunia secara tahunan, yang dikenal dengan nama Academic Ranking of World Universities (ARWU)–menyatakan dalam laman resminya pada November 2024 menyatakan, 5 universitas terbaik pada teknik tambang dan mineral diborong oleh universitas-universitas Tiongkok. Sedangkan pada bidang akademik teknik metalurgi, universitas-universitas Tiongkok nyaris memenuhi 10 universitas terbaik, hanya 1 universitas yang berasal dari Amerika Serikat berada pada ranking kesepuluh.
ADVERTISEMENT
Sisi Gelap Kompetitifnya Pendidikan
Bagaimanapun, persaingan sengit dalam dunia pendidikan memiliki sisi gelapnya. Para orang tua rela untuk membayar apapun yang diperlukan untuk mendapat pelayanan terbaik, yang seringkali diartikan sebagai layanan dengan biaya termahal. Permintaan yang tiada habisnya memungkinkan para penyedia jasa pendidikan untuk menaikan harga semakin tinggi. Hukum dasar permintaan dan penawaran tak terhindarkan. Pada akhirnya, hal ini menyebabkan konsekuensi dramatis yang tak terbayangkan dari kebijakan satu anak: biaya pendidikan yang sangat tinggi di Tiongkok membuat orang kurang tertarik untuk memiliki anak. Ketika pemerintah mulai melonggarkan kebijakan satu anak pada tahun 2013, orang-orang enggan untuk mematuhinya. Sejak saat itu, pemerintah mendorong aktif untuk setiap pasangan yang telah memiliki anak untuk memiliki lebih banyak anak. Tetapi hasilnya tidak memuaskan. Tingkat kelahiran di Tiongkok jatuh ke rekor terendah pada tahun 2021, hingga kini belum ada tanda-tanda peningkatan. Tentu jumlah kelahiran yang menurun akan membebani negara serta mengganggu produktivitas.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan Pendidikan Indonesia?
Sekarang kita kembali ke Indonesia. Investasi pendidikan orang tua di Indonesia berbeda dengan orang tua di Tiongkok. Menurut data BPS tahun 2022, orang tua Indonesia mengeluarkan rata-rata dana untuk pendidikan anak mencapai 9,5% dari total pengeluaran rumah tangga, lebih rendah dibandingkan Tiongkok yang menyentuh 25% pada keluarga satu anak (Jin, 2023). Barangkali perbedaan pengeluaran orang tua untuk pendidikan anak di Indonesia dengan di Tiongkok yang melebihi dua kali lipat menunjukan bahwa kebijakan populasi yang ketat dapat meningkatkan investasi pendidikan anak.
Memang, kebijakan populasi di Indonesia melalui Keluarga Berencana (KB) hanya membatasi untuk setiap keluarga untuk memiliki dua anak. Dalam penerapannya kebijakan ini tidak terlalu ketat seperti kebijakan satu anak di Tiongkok. Memiliki keluarga besar–dengan anak lebih dari dua–masih wajar terjadi terutama di pedesaan. Namun, keluarga di perkotaan cenderung memiliki lebih sedikit anak, bukan karena mereka lebih taat kebijakan KB, melainkan tingginya biaya hidup, termasuk pendidikan.
Asia Development Bank pada 2021 mencatat bahwa keluarga di Indonesia dengan dua anak atau kurang mampu mengalokasikan rata-rata 15-20% lebih banyak dana untuk pendidikan per anak dibandingkan keluarga dengan tiga atau empat anak. Semakin sedikit jumlah anak memberikan kesempatan bagi orang tua untuk mengalokasikan dana pendidikan lebih besar seperti survei BPS pada 2022 yang menyebutkan pengeluaran per kapita untuk pendidikan anak lebih tinggi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, yang notabene kota dengan jumlah kelahiran lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional.
ADVERTISEMENT
Kemudian, data menunjukan adanya korelasi antara pengeluaran untuk pendidikan per anak yang lebih besar dengan peningkatan akses pendidikan yang berkualitas. Laporan Program for International Student Assessment (PISA) 2018 menunjukan bahwa siswa Indonesia dari keluarga dengan pengeluaran lebih tinggi cenderung memiliki nilai yang lebih baik dalam literasi, matematika, dan sains dibandingkan siswa Indonesia dari keluarga yang memiliki pengeluaran lebih rendah.
Dengan demikian, dapat dipahami jika kebijakan populasi turut membentuk dinamika pendidikan. Tentu saja tantangan untuk perbaikan pendidikan di Indonesia tidak bisa hanya bertolak dari program KB. Akan tetapi, seandainya program KB dapat dijalani dengan ketat, peluang untuk menghasilkan generasi yang akan mendapat kualitas pendidikan yang lebih baik akan terbuka, sehingga iklim pendidikan di Indonesia dapat membaik.
ADVERTISEMENT
Referensi
Choukhmane, T., Coeurdacier, N., & Jin, K. (2013). The One-Child Policy And Household Savings (9688). www.cepr.org/pubs/dps/DP9688.php
Jin, K. (2023). The New China Playbook: Beyond Socialism and Capitalism. Penguin.
Whyte, M. K., Feng, W., & Cai, Y. (2015). Challenging myths about China’s one-child policy. The China Journal, 74, 144–159.