Konten dari Pengguna

Darurat Kekerasan Aparat: Masyarakat Menuntut Keadilan

Jona Kaysa Putri
English Department student, Universitas Andalas
16 September 2024 9:32 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jona Kaysa Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: shutterstock.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tugas utama kepolisian dan militer Indonesia adalah melindungi dan melayani masyarakat, namun kekerasan yang mereka lakukan justru semakin meningkat. Menurut data oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) melaporkan, sepanjang Juni 2023-Mei 2024, terjadi 60 peristiwa kekerasan dengan 92 korban—18 orang di antaranya meninggal. Angka itu bahkan lebih tinggi dibanding jumlah peristiwa kekerasan pada periode sebelumnya, yang tercatat 54 peristiwa.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hal ini, seperti minimnya pengawasan, tidak adanya sanksi tegas dan gagalnya reformasi. Dr. Sidney Jones, seorang ahli keamanan di Asia Tenggara, mengungkapkan bahwa budaya kekerasan sering kali berakar dari warisan historis dan budaya organisasi. Di beberapa negara, aparat keamanan dibentuk menghadapi ancaman dengan kekerasan. Annesty International dan Human Rights Watch sering mencatat bahwa ketidakhadiran akuntabilitas hukum yang efektif terhadap tindakan kekerasan turut memelihara budaya ini. Hal ini berdampak pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat kepolisian dan militer Indonesia. Menurut hasil survei GoodStats mayoritas responden (60,8%) tidak percaya atau kurang yakin polisi dapat benar-benar melindungi dan mengayomi masyarakat.
Laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan ada 641 peristiwa kekerasan setahun terakhir ini yang melibatkan polisi. Dari 641 peristiwa kekerasan yang melibatkan polisi itu, 754 orang menderita luka-luka, sementara 38 lainnya meregang nyawa. Sepanjang periode itu pula, KontraS mendokumentasikan 35 peristiwa pembunuhan di luar hukum yang menewaskan 37 orang. Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya Saputra dalam jumpa pers di kantornya mengatakan berbagai peristiwa kekerasan, penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran HAM nampak tidak pernah tuntas dan selalu berulang dilakukan institusi kepolisian. Salah satu praktik buruk polisi di periode sebelumnya atau masa Orde Baru adalah kekerasan berlebihan. Pada masa Orde Baru, posisi Polri berada di bawah kendali Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Hal ini membuat Polri ter-militer-kan dan fungsi kepolisian sipil tidak berjalan optimal. 26 tahun pasca tumbangnya Orde Baru rupanya masih belum berhasil membuat budaya dan praktik peninggalan Orde Baru sepenuhnya ditanggalkan oleh lembaga penegakan hukum termasuk Kepolisian. KontraS menyatakan reformasi polisi tinggal ilusi.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa kasus yang mendapat perhatian public akhir-akhir ini. MHS seorang pelajar SMP Negeri 29 Medan berusia 15 tahun yang meninggal karena diduga dianiaya anggota TNI. Saat itu korban sedang duduk-duduk di tepian kereta api dan melihat terjadinya tawuran. Tawuran tersebut kemudian dibubarkan oleh Bhabinkamtibmas, Satpol-pp dan Babinsa. Salah seorang anggota TNI menyerang dan memukul bagian leher korban sehingga korban terjatuh ke bawah jembatan rel dan mengalami pendarahan di kepala. Saat hendak naik aparat tersebut mencengkram baju sembari menganiaya korban. Sebelumnya, Afif Maulana seorang remaja berusia 13 tahun yang meninggal dunia karena disiksa Polisi. Jasadnya ditemukan di bawah Jembatan Kuranji dengan kondisi sekujur tubuh penuh lebam. Selanjutnya, aksi yang banyak diberitakan media baru-baru ini yaitu aksi demo tolak RUU Pilkada. Mahasiswa, pelajar, anak, jurnalis hingga lansia tercatat menjadi korban kekerasan aparat. Berdasarkan data dari Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), tercatat setidaknya ada 105 peserta aksi ditangkap dan digelandang ke Polda Metro Jaya. Pada akhirnya, seluruh permasalahan tersebut menunjukkan bahwa cita-cita untuk menghadirkan institusi Kepolisian yang demokratis yang digaungkan pada awal reformasi belum berjalan secara ideal. Berbagai peristiwa kekerasan, pelanggaran HAM yang terjadi adalah alarm kepada pemerintah dan institusi Kepolisian untuk segera berbenah dan melakukan evaluasi.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, kultur kekerasan di tubuh aparat kepolisian dan militer masih menjadi masalah yang terus terjadi di Indonesia. Masyarakat sipil merindukan institusi Kepolisian yang demokratis dan bekerja sesuai prinsip-prinsip hak asasi manusia. Masyarakat memberikan dorongan kepada Polri untuk melakukan perbaikan institusi yang sesuai dengan standar HAM dan reformasi. Perbaikan yang konkrit dan komprehensif harus dilaksanakan sesegera mungkin. Kepolisian dan militer Indonesia harus mewujudkan cita-cita reformasi dengan meningkatkan fungsi penegakan hukum, pemeliharaan ketertiban dan keamanan serta pelayanan masyarakat yang harus bertransformasi ke arah yang lebih baik.