Budaya Main Hakim Sendiri di Negara Hukum

Jonathan Andreas Thomas Gultom
Legal and Governmental Relation PT EVOS Esports Indonesia
Konten dari Pengguna
24 Januari 2022 21:37 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jonathan Andreas Thomas Gultom tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi timbangan hukum, sumber: freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi timbangan hukum, sumber: freepik.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Baru-baru ini, kita mendengar seorang kakek berusia 89 tahun menjadi korban penganiayaan membabi buta dari segelintir pihak yang menuduhnya sebagai maling di Pulogadung. Buah dari penganiayaan tersebut tak lain dan tak bukan adalah terenggutnya nyawa sang kakek yang tak bersalah tersebut.
ADVERTISEMENT
Dari kronologi yang beredar, bahwa almarhum dikatakan 'menyerempet' pengendara bermotor yang membuat pengendara motor tersebut tak terima dan lantas melakukan provokasi dengan meneriaki almarhum sebagai maling. Hal ini menyulut emosi warga sekitar yang akhirnya secara 'ikut-ikutan' menghakimi almarhum secara pihak.
Main hakim sendiri atau yang dalam bahasa Belanda sebagai eigenrichting pada mulanya berasal dari kekecewaan masyarakat akan sistem peradilan yang justru dinilai tidak dapat memberikan rasa keadilan itu sendiri. Akan tetapi, hal ini tentu tidak dapat dibenarkan. Sebagai negara hukum, maka tentu segala perkara harus mengedepankan aspek hukum.
Perlindungan akan hak asasi manusia, terutama hak-hak yang berkaitan dengan non-derogable rights sudah seyogyanya menjadi napas dari negara hukum itu sendiri. Setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Tidak ada seorang pun yang dapat melakukan pencabutan nyawa orang lain.
ADVERTISEMENT
Penganiayaan kepada sang almarhum kakek telah menyakiti hati masyarakat. Mereka yang terlibat di dalamnya telah menistakan negara hukum dengan dasar ego sesaat yang membabi buta sampai melupakan kemanusiaan. Ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi negara untuk mencerdaskan pemahaman akan hukum kepada masyarakat agar tidak lagi orang yang menjadi korban penghakiman sepihak.
Sebagaimana yang dikatakan Soerjono Soekanto, bahwa salah satu faktor yang mendukung efektivitas penegakan hukum itu adalah faktor masyarakat dan budaya. Hal ini menegaskan selain daripada hukum dan penegak yang ada di dalamnya, hukum juga dapat berjalan secara efektif apabila masyarakat yang diaturnya juga telah memiliki kesadaran akan hukum itu sendiri.
Kesadaran akan hukum ini kemudian mendorong hukum juga dapat menjadi budaya. Budaya akan kepatuhan, kedisiplinan, dan supremasi akan hukum tentunya.
ADVERTISEMENT