Mengenal Aktivisme Yudisial dan Pembatasan Yudisial

Jonathan Andreas Thomas Gultom
Legal and Governmental Relation PT EVOS Esports Indonesia
Konten dari Pengguna
29 September 2021 17:38 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jonathan Andreas Thomas Gultom tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi palu dan buku hukum, sumber: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi palu dan buku hukum, sumber: pixabay.com
ADVERTISEMENT
Hans Kelsen dengan gagasannya mengenai diperlukannya lembaga yang bertugas untuk menguji konstitusionalitas dari suatu produk hukum dalam hal ini Undang-undang sangatlah membawa dampak yang begitu besar dalam perkembangan dan kemajuan ilmu hukum tak terkecuali pula dalam sistem hukum Indonesia. Lembaga tersebut kita kenal sebagai Mahkamah Konstitusi.
ADVERTISEMENT
Abdul Latief mengatakan bahwa prinsip dasar dari perwujudan keadilan dalam konstitusi tidak dapat tercapai apabila masing-masing cabang kekuasaan diberi kewenangan untuk menafsirkan konstitusi sesuai dengan interpretasinya sendiri-sendiri adalah suatu kebenaran.
Terlebih lagi jika ketika kita berbicara dalam hal konteks sistem pemerintahan Indonesia yang didasarkan oleh trias politica yang dianutnya, tentu kehadiran Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu bentuk penguatan terhadap mekanisme checks and balances yang ada dalam konsep trias politica di Indonesia itu sendiri.
Mahkamah Konstitusi sebagai The Sole Interpreter of the Constitution dan Guardian of Constitution telah membawa banyak dampak dalam kehidupan, perkembangan, dan kemajuan ilmu hukum dalam sistem hukum Indonesia. Mahkamah Konstitusi sudah seringkali berkontribusi dalam memberikan dan menghadirkan kehadiran keadilan di tengah kehidupan masyarakat dari suatu produk legislasi dalam hal ini yakni Undang-Undang yang dapat merugikan hak masyarakat melalui berbagai perkara yang diputusnya.
ADVERTISEMENT
Tentu, dalam memberikan putusannya tersebut dibutuhkan suatu pendekatan tertentu agar dalam memeriksa dan menangani perkara hakim dapat benar-benar menggali keadilan yang ada, terlebih lagi jika itu berkaitan dengan suatu produk hukum yang merupakan Open Legal Policy. Adapun pendekatan yang dimaksud dikenal sebagai Aktivisme Yudisial dan Pembatasan Yudisial.
Sederhananya, Aktivisme Yudisial merupakan pendekatan di mana hakim akan cenderung melakukan pendekatan yang cenderung memposisikan kedudukannya sebagai pihak yang berwenang untuk memberikan pertimbangan terhadap berbagai kebijakan yang bersinggungan dengan ranah yang memang menjadi pekerjaan dari kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif.
Pendekatan ini hakikatnya bertujuan untuk mewujudkan putusan hakim yang lebih progresif dalam menghadapi berbagai permasalahan dan isu-isu konkret yang berkembang di tengah masyarakat. Namun, menggunakan pendekatan ini dalam memutus perkara dinilai dapat menimbulkan bias atau subjektivitas oleh hakim sehingga akan berpengaruh terhadap putusan yang dijatuhkannya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, yang dimaksud dengan Pembatasan Yudisial adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh hakim di mana hakim cenderung menarik diri untuk tidak memberikan pertimbangan dan memutus suatu perkara yang memang menjadi menjadi tugas dari kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif. Menggunakan pendekatan ini dirasa hanya akan membuat hakim terbelenggu oleh muatan yang terdapat dalam asas-asas maupun doktrin-doktrin tertentu yang pada akhirnya hanya akan membuat hakim kesulitan dalam memberikan keadilan substantif yang seharusnya dirasakan oleh masyarakat.
Baik pendekatan Aktivisme Yudisial maupun Pembatasan Yudisial tentu memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Sehingga dalam menerapkan pendekatan ini harus didasarkan pada kasus-kasus tertentu agar nilai-nilai keadilan dapat benar-benar terwujud dalam kehidupan masyarakat.