Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pengacara: Officium Nobile
14 September 2020 6:44 WIB
Tulisan dari Jonathan Andreas Thomas Gultom tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sering mendengar perkejaan pengacara? Tentu pekerjaan ini bukanlah pekerjaan yang sudah tak asing lagi bagi kita semua. Pengacara atau advokat merupakan orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan baik dalam menangani perkara perdata maupun pidana.
ADVERTISEMENT
Nama-nama besar, sebut saja seperti Hotman Paris, Yusril Ihza Mahendra rasanya sudah dikenal oleh seluruh masyarakat Indonesia. Tak sedikit masyarakat Indonesia yang kagum atas hasil kerja keras dan usaha yang mereka lakukan sebagai seorang pengacara dalam membantu para kliennya. Mereka adalah litigation lawyer atau yang secara sederhana adalah pengacara yang beracara di hadapan persidangan (baik perdata maupun pidana).
Sudah menjadi hak yang secara hukum diaturkan bahwa seorang tersangka atau terdakwa berhak untuk mendapatkan bantuan hukum. Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 54 KUHAP yang menyebutkan bahwa:
"Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini."
ADVERTISEMENT
Namun, kita tentu sering mendengar ucapan yang tidak "enak" terhadap profesi ini di kalangan masyarakat. Seorang pengacara hanya dianggap hanya bertugas "membela yang orang yang salah". Adapun yang menjadi penyebab pandangan ini dapat muncul di kalangan masyarakat adalah karena advokat seringkali diasosiasikan dan diidentikan dengan klien (tersangka/terdakwa baik orang maupun badan hukum) yang ia bela. Selain itu, pandangan ini juga diperkuat karena seringkali terjadi kasus dimana pengacara turut membantu kliennya demi meraih "kemenangan".
Sebagaimana contoh kasus Fredrich Yunadi yang merupakan mantan kuasa hukum dari Setya Novanto yang terbukti bersalah karena tindakannya yang merintangi (mengganggu atau menghalangi) KPK dalam melakukan penyidikan atas perkara kliennya. Atas tindakannya tersebut, ia dinyatakan bersalah karena telah melanggar ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Tak hanya itu, tindakannya juga secara jelas telah melanggar UU Advokat serta Kode Etik Advokat.
ADVERTISEMENT
Lantas, apakah kita dapat memukul rata bahwa semua pengacara hanya berupa untuk "membela yang salah"? Tentu saja tidak. Tujuan utama dari seorang pengacara atau advokat dalam beracara di persidangan bukanlah untuk membantu kliennya terbebas atau terlepas dari segala tuntutan yang ada, melainkan menjadi penasehat atau pendamping tersangka atau terdakwa dalam bersidang di muka pengadilan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa seorang pengacara bertujuan untuk melindungi serta mempertahankan hak-hak yang dimiliki tersangka atau terdakwa tidak dilanggar karena tidak jarang seorang tersangka atau terdakwa mendapatkan perlakuan sewenang-wenang oleh oknum berkedok "hukum" yang tidak bertanggung jawab.
Atas pekerjaannya tersebut, pengacara atau advokat menyandang gelar "Officium Nobile" yang jika diartikan yakni "Profesi Terhormat" karena pekerjaanya yang dilakukan demi kemanusiaan dan penegakan hukum yang berkeadilan. Gelar ini bukanlah gelar sembarangan, oleh karena itu setiap pengacara atau advokat harus menjunjung tinggi idealismenya dalam membela kemanusiaan dan hukum.
ADVERTISEMENT