Perjanjian IKLIM Paris bagi Amerika Serikat di Era Trump: Masalah Iklim atau Ekonomi?

AmerEurope
Menyajikan berita-berita Amerika yang tidak sampai ... atau sengaja tidak disampaikan ... ke telinga Anda
Konten dari Pengguna
14 Februari 2018 11:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari AmerEurope tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perjanjian IKLIM Paris bagi Amerika Serikat di Era Trump: Masalah Iklim atau Ekonomi?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Desember 2017 lalu, Presiden Perancis Emmanuel Macron memprakarsai pertemuan internasional untuk memperingati dua tahun Perjanjian Iklim Paris, tanpa Amerika Serikat (AS). Sebelumnya Presiden Donald. J. Trump telah secara resmi membawa AS keluar dari Perjanjian tersebut. Mengapa harus keluar dari Perjanjian Paris? Apakah Trump anti-sains dan anti-lingkungan seperti yang dituduhkan lawan politik dan mainstream media AS? Ataukah ada alasan lain?
ADVERTISEMENT
Sains menjadi rujukan dalam penetapan target Perjanjian Iklim. Kenaikan suhu global seyogyanya ditahan di bawah 2°C dan ditargetkan tidak melebihi 1,5°C di atas suhu pra-industri[8]. Meskipun demikian, tetap ada perdebatan di dalam sains berkenaan dengan topik ini.
Patrick J. Michaels dari Cato Institute meragukan asumsi bahwa global warming sepenuhnya disebabkan aktifitas manusia[1]. Jurnal sains terkemuka dunia, Nature, pada awal 2014 mengritik berbagai model prediksi iklim yang terbukti overeestimasi[2]. Data satelit dari NASA menunjukkan pertambahan jumlah es di Antartika antara tahun 1992 dan 2008[4]. Sedangkan laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2013 menyatakan sebaliknya. Dalam ranah politik AS, diskrepansi dalam sains menjadi salah satu penyebab sikap skeptis Republicans konservatif, termasuk Trump, terhadap topik perubahan iklim[5]. Informasi lebih lengkap tentang data iklim dan sikap Republican dapat dibaca di catatan*** di akhir tulisan ini.
ADVERTISEMENT
Untuk memahami kebijakan Trump, kita perlu menerobos retorika kerasnya dan menyimak policy speech-nya. Dalam pidato pengunduran diri AS dari Perjanjian Iklim6, alasan yang dikemukakan Trump lebih berkenaan dengan EKONOMI daripada sains dan iklim.
Pertama, implementasi secara penuh Perjanjian Iklim oleh semua negara hanya akan menurunkan suhu global sebanyak 0,2°C* pada tahun 2100. Penurunan tersebut tidak sebanding dengan dana USD 100 milyar per tahun yang dijanjikan negara maju untuk membantu negara berkembang paling lambat tahun 2020. Direktur Eksekutif Green Climate Fund (GCF), Hela Cheikhrouhou, memperkirakan diperlukannya dana USD 450 milyar per tahun untuk proyek iklim setelah 2020[7]. AS di bawah Presiden Barack Obama menjanjikan bantuan USD 3 milyar. Mempertimbangkan hutang AS sebesar USD 20 trilyun[13] serta kebutuhan dalam negeri seperti perbaikan infrastruktur, Trump menghentikan pengucuran dana ke GCF.
ADVERTISEMENT
Kedua, pencapaian target iklim AS berdampak negatif terhadap perekonomian AS. Obama menargetkan pengurangan emisi karbon AS sebanyak 26 - 28% dari tingkat emisi tahun 2005 yang akan dicapai pada 2025[9]. Menurut National Economic Research Associates (NERA)[10] usaha pencapaian target tersebut akan berakibat antara lain hilangnya 2,7 juta lapangan kerja pada tahun 2025, berkurangnya GDP sebanyak USD 3 trilyun pada tahun 2040, dan berkurangnya pendapatan rumah tangga sebanyak USD 7.000 per tahun pada tahun 2040.**
Ketiga, AS membutuhkan diversifikasi sumber energi untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Obama mengeluarkan regulasi Clean Power Plan untuk mencapai target iklim melalui pengurangan pemakaian batu bara. Regulasi tersebut dibekukan sementara oleh Mahkamah Agung AS atas tuntutan 27 negara bagian[15] dan sedang dalam proses pembatalan oleh Trump.
ADVERTISEMENT
Renewable energy pada saat ini hanya mampu mendukung pertumbuhan ekonomi AS sebesar 1%. Trump dengan agenda ekonominya yang kuat menargetkan pertumbuhan 3% atau lebih sehingga diperlukan diversifikasi sumber energi termasuk batu bara.
Deregulasi tersebut juga ditujukan untuk mencegah larinya lapangan kerja AS ke negara lain yang mempunyai target iklim lebih longgar. Tiongkok, sebagai contoh, baru akan mengurangi emisi karbonnya setelah tahun 2030 dan masih akan meningkatkan pemakaian batu bara dalam waktu lima tahun ke depan[14]. Angka pengangguran AS, yang saat ini sedikit di atas 4%[17], dikhawatirkan akan memburuk.
Dalam Perjanjian Iklim, terdapat asumsi bahwa negara maju wajib memelopori pencanangan target ambisius. Target besar tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional secara keseluruhan adalah kenaifan seperti yang terjadi di Jerman.
ADVERTISEMENT
Jerman dianggap sebagai panutan dalam kebijakan green energy. Akan tetapi The Wall Street Journal tanggal 17 November 2017[18] melaporkan bahwa tarif listrik rumah tangga Jerman, bersama dengan Denmark, adalah yang tertinggi di Eropa karena tarif tersebut dipakai menyubsidi renewable energy. Sementara itu, 40% sumber energinya ternyata masih berasal dari batu bara.
Asumsi naif lain adalah semua negara akan memenuhi target masing-masing di bawah Perjanjian Iklim yang tidak mengikat. Negara-negara berkembang membutuhkan energi dalam jumlah besar untuk pembangunan. Revisi atau pelanggaran target bisa terjadi. Perdagangan internasional memberikan contoh nyata. Tiongkok yang adalah anggota WTO kerap mendistorsi pasar bebas demi kepentingannya sendiri. Perdagangan AS dengan Tiongkok selalu defisit dan mencapai angka $347 milyar pada 2016[16]. Apakah Tiongkok akan menepati target iklimnya?
ADVERTISEMENT
Trump dalam pidatonya menjanjikan AS akan tetap berada di barisan paling depan dalam isu lingkungan, namun harus di dalam kerangka yang adil di mana beban ditanggung bersama oleh semua negara. Dia juga berjanji untuk menegosiasi ulang Perjanjian Iklim yang adil bagi rakyat AS.
Bila semua negara serius dengan Perjanjian Iklim dan berharap AS kembali bergabung, maka negosiasi ulang adalah kata kuncinya. AS patut diberi keleluasaan untuk merevisi target iklimnya disesuaikan dengan kebutuhan dan kebijakan ekonomi dalam negeri.
Di era Trump, tidak ada lagi penghamburan uang pembayar pajak AS. Juga di era Trump, tidak ada lagi kata-kata dan komitmen manis dalam pidato internasional. Yang ada adalah membawa kelas pekerja dan kelas menengah AS, yang selama ini menjadi korban berbagai perjanjian multilateral dan internasional, kembali kompetitif.
ADVERTISEMENT
Twitter @AmerEurope
*Angka 0,2°C dikutip dari hasil simulasi MIT tahun 2014. Simulasi MIT tahun 2016 menghasilkan angka yang lebih tinggi.
**Kritik menyatakan model perhitungan NERA, dibandingkan dengan model-model yang lain, cenderung menghasilkan angka-angka yang lebih besar.
***Catatan tentang data perubahan iklim:
Jurnal sains terkemuka dunia, Nature, pada awal 2014 memuat kritik terhadap berbagai model prediksi iklim yang terbukti overeestimasi[2]. Berbagai simulasi iklim memprediksi kenaikan suhu sebesar 0,21°C per dekade dari 1998 sampai 2012. Akan tetapi hasil pengukuran menunjukkan kenaikan suhu hanya sebesar 0,04°C per dekade untuk periode yang sama.
NASA melalui websitenya menunjukkan bukti-bukti perubahan iklim[3]. Namun mereka juga menunjukkan perbedaan data mereka dengan hasil riset-riset lain. Menurut data satelit, es di Antartika bertambah sebanyak 112 milyar ton per tahun dari 1992 sampai 2001 dan sebanyak 82 milyar ton per tahun dari 2003 sampai 2008. Data ini berseberangan dengan laporan tahun 2013 dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang menyatakan bahwa jumlah es di Antartika menurun.
ADVERTISEMENT
Ketika masalah perubahan iklim masuk ke ranah politik AS, terdapat perbedaan pandangan tajam antara Republicans konservatif yang adalah partainya Trump dan Democrats liberal. Sebanyak 57% Republicans beranggapan bahwa hasil riset iklim dipengaruhi keinginan subyektif ilmuwan untuk memajukan kariernya. Hanya 16% Democrats berpandangan sama[5]. Sikap skeptis Republicans kemungkinan disebabkan sikap konservatifnya terhadap anggaran dan banyaknya diskrepansi antara prediksi dan data seperti di atas.
Referensi online:
1. https://www.cato.org/publications/commentary/scientific-argument-against-paris-climate-agreement
2. http://www.nature.com/news/climate-change-the-case-of-the-missing-heat-1.14525
3. https://climate.nasa.gov/evidence/
4. https://www.nasa.gov/feature/goddard/nasa-study-mass-gains-of-antarctic-ice-sheet-greater-than-losses
5. http://www.pewinternet.org/2016/10/04/the-politics-of-climate/
6. https://www.whitehouse.gov/the-press-office/2017/06/01/statement-president-trump-paris-climate-accord
7. https://www.reuters.com/article/climatechange-funds/new-un-climate-fund-to-take-risks-to-promote-green-tech-idUSL5N0YR23F20150605
8. https://unfccc.int/resource/docs/2015/cop21/eng/l09r01.pdf
9. https://obamawhitehouse.archives.gov/the-press-office/2015/03/31/fact-sheet-us-reports-its-2025-emissions-target-unfccc
10. http://accf.org/wp-content/uploads/2017/03/170316-NERA-ACCF-Full-Report.pdf
11. https://globalchange.mit.edu/sites/default/files/newsletters/files/2015%20Energy%20%26%20Climate%20Outlook.pdf
12. http://meetingorganizer.copernicus.org/EGU2016/EGU2016-8016.pdf
13. http://www.foxbusiness.com/politics/2017/09/11/us-national-debt-tops-20t-for-first-time-in-history.html
14. https://www.wsj.com/articles/paris-climate-discord-1496272448
15. http://ceed.org/states-suing-epa/
16. https://ustr.gov/sites/default/files/files/reports/2017/AnnualReport/Chapter%20I%20-%20The%20President%27s%20Trade%20Policy%20Agenda.pdf
17. https://data.bls.gov/timeseries/LNS14000000
18. https://www.wsj.com/articles/germanys-green-energy-revoltgermanys-green-energy-revolt-1510848988?mod=e2tw