Standar Ganda Terkait Rusia dan Israel di Olahraga: Runtuhnya Kredibilitas IOC

Jonathan Jordan
Research Fellow for Area Studies, Indonesian Institute of Advanced International Studies (INADIS) Lulusan S1 Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia Peminat kajian Rusia, Eropa Timur dan Eurasia serta diplomasi olahraga
Konten dari Pengguna
13 Oktober 2023 18:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jonathan Jordan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Selayang pandang Kompleks Olahraga Luzhniki di Moskow, Rusia. Stadion Luzhniki di tengah gambar ini menjadi stadion utama pelaksanaan Olimpiade Moskow 1980 dan Piala Dunia 2018. Sejak meletusnya perang di Ukraina, atlet Rusia dilarang eerpartisipasi dalam sebagian besar ajang olahraga internasional oleh IOC. Sumber gambar; jepretan pribadi di Moskow, 16 April 2023.
zoom-in-whitePerbesar
Selayang pandang Kompleks Olahraga Luzhniki di Moskow, Rusia. Stadion Luzhniki di tengah gambar ini menjadi stadion utama pelaksanaan Olimpiade Moskow 1980 dan Piala Dunia 2018. Sejak meletusnya perang di Ukraina, atlet Rusia dilarang eerpartisipasi dalam sebagian besar ajang olahraga internasional oleh IOC. Sumber gambar; jepretan pribadi di Moskow, 16 April 2023.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa waktu terakhir, dunia dikejutkan dengan eskalasi kekerasan di Jalur Gaza setelah aksi saling serang antara Israel dan Hamas menimbulkan banyak korban jiwa di jalur Gaza. Dunia Barat merespons dengan membela Israel dan melihat hak mereka untuk membela diri dari serangan Hamas.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, dunia non-Barat menilai hal tersebut tidak relevan karena dalam konflik ini, Palestina menderita kerugian dan korban jiwa yang jauh lebih besar dibanding Israel dan mengkritik standar ganda Barat yang mengecam Rusia dalam peperangan di Ukraina, namun membela Israel ketika melakukan hal yang sama.
Standar ganda terkait Israel dan Rusia merupakan fenomena yang nyata. Misalnya, ikon wisata di negara Barat yang menampilkan bendera Israel sebagai bentuk solidaritas setelah sebelumnya melakukannya untuk Ukraina.
Kemudian, sikap komisioner Uni Eropa, Ursula von der Leyen yang mengecam serangan Rusia terhadap infrastruktur sipil di Ukraina, tetapi ketika Israel melakukan hal yang sama, von der Leyen malah bersimpati dengan Israel.
Standar ganda terkait Israel dan Rusia juga tampak di dunia olahraga. Saat perhatian dunia terfokus pada kekerasan di Gaza, Komite Olimpiade Internasional (IOC) malah menangguhkan keanggotaan Komite Olimpiade Rusia (ROC) karena memasukkan wilayah Ukraina yang dianeksasinya dalam yurisdiksi mereka.
Lambang Olimpiade di kantor pusat IOC, Swiss. Foto: REUTERS/Denis Balibouse
Hal ini menyusul serangkaian langkah diskriminatif yang dilakukan IOC. Ketika kebanyakan organisasi global berhati-hati dalam menjatuhkan sanksi terhadap Rusia, IOC langsung menjatuhkan sanksi pertama pada 25 Februari 2022 dengan melarang atlet Rusia dan Belarus menampilkan simbol atau nama negara mereka dalam kejuaraan olahraga internasional, serta melarang penyelenggaraan acara olahraga di bawah naungan IOC di kedua negara.
ADVERTISEMENT
Tiga hari kemudian, IOC mengeluarkan kebijakan yang lebih keras, yaitu menyarankan atlet dan ofisial kedua negara dilarang ikut kegiatan olahraga internasional. Keputusan ini diikuti sebagian besar lembaga olahraga seperti FIFA, FIBA, dan BWF.
Keputusan IOC ini kemudian dikritik oleh komisioner HAM PBB, Alexandra Xanthaki yang menganggap hal tersebut diskriminasi dan melawan semangat persatuan melalui olahraga. Melihat pandangan ini, pada Maret 2023, IOC mengubah kebijakannya dan memperbolehkan sebagian atlet Rusia kembali berkompetisi, namun tanpa bendera nasional dan hanya untuk cabang olahraga individu.
IOC mengakui perlu menghilangkan diskriminasi dalam olahraga dan memberi kesempatan setiap negara untuk ikut Olimpiade sebagai ajang pemersatu. Namun, langkah ini tetap bermasalah, karena hanya mengizinkan atlet individu dari Rusia dan Belarus saja—dalam artian ini, seorang pemain tenis Rusia boleh bertanding, namun pemain voli tidak.
ADVERTISEMENT
Selain itu, beberapa badan olahraga juga tetap bersikap diskriminatif, seperti World Aquatics yang hanya mengizinkan satu atlet Rusia berpartisipasi dalam kejuaraannya. Para pendukung langkah IOC mengakui kehancuran yang ditimbulkan Rusia di Ukraina yang juga berdampak pada dunia olahraga membuat langkah ini dapat dijustifikasi.
Ilustrasi renang. Foto: Shutterstock
Namun, hal yang disayangkan adalah ketika Israel melakukan langkah serupa di Palestina yang berdampak pada rusaknya fasilitas olahraga, serangan Israel terhadap pertandingan sepakbola di Palestina dan tewasnya atlet-atlet Palestina, Israel tidak mendapat sanksi serupa.
Padahal, konflik ini sampai berdampak pada batalnya Palestina mengikuti beberapa kejuaraan internasional, seperti turnamen Merdeka Cup di Malaysia. Dalam sanksinya terhadap Rusia, IOC menyebut tidak mampunyai atlet Ukraina bertanding sebagai justifikasi. Padahal faktanya, atlet Ukraina masih bisa berpartisipasi dalam berbagai kejuaraan global, termasuk sepakbola, sehingga pesan IOC ini menjadi terasa aneh,
ADVERTISEMENT
Standar ganda yang ironis ini juga tampak pada isu sikap negara tuan rumah terhadap negara yang berpartisipasi, Bulan Maret 2023, FIFA membatalkan pelaksanaan Piala Dunia U20 di Indonesia karena kontroversi keikutsertaan timnas Israel, meskipun PSSI tidak melarang timnas Israel berpartisipasi.
Sementara itu, pelaksanaan European Games di Polandia melarang keikutsertaan atlet Rusia dan panitia lokal tampak "bangga" dengan diskriminasi tersebut, menyebutnya sebagai "keputusan mudah" Swedia juga menyatakan tidak akan menerima timnas U17 Rusia jika lolos ke Piala Eropa U-17 di sana.
Mengapa Indonesia tidak bisa menyelenggarakan acara sedangkan negara-negara Eropa dibiarkan saja tentu menjadi masalah yang aneh. Tidak mengejutkan Gubernur Bali, I Wayan Koster, sempat mengharapkan FIFA mencoret Israel sama seperti sebelumnya mencoret Rusia, karena standar ganda yang terlihat agak sulit diterima secara logika.
Timnas U-20 Israel. Foto: Instagram @israel_football_association
Sejatinya, kritik internasional terhadap politisasi olahraga bukanlah hal baru. Pada tahun 1963, IOC menangguhkan keanggotaan Indonesia karena menuding Indonesia mencampurkan politik dengan olahraga karena tidak mengundang Israel dan Taiwan dalam Asian Games 1962 di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Soekarno balik menuduh IOC sebagai gerakan kolonialis-imperialis, karena tidak mengizinkan atlet Republik Rakyat Tiongkok, VIetnam Utara dan Korea Utara dalam kegiatannya, yang menurut Soekarno dimotivasi politik.
Soekarno kemudian memerintahkan penyelenggaraan Games of the New Emerging Forces (GANEFO) di Jakarta pada November 1963, yang dilihat sebagai ajang tandingan Olimpiade dan melibatkan lebih dari 50 negara, termasuk negara-negara yang ditolak IOC.
Lebih dari 60 tahun kemudian, paralel serupa terjadi dalam olahraga modern. Merespons ketidakpastian kehadiran tim Rusia di Olimpiade, Rusia mengumumkan penyelenggaraan World Friendship Games (WFG) yang akan digelar di Moskow dan Ekaterinburg pada September 2024 yang juga mengundang negara-negara lainnya.
Nama Friendship Games terinspirasi acara serupa yang dibuat Uni Soviet ketika memboikot Olimpiade 1984 di Moskow. Acara WFG mempertandingkan 27 cabang olahraga dengan sebagian besar di antaranya merupakan cabang olahraga yang dipertandingkan di Olimpiade.
Bendera dan lambang Olimpiade di kantor pusat IOC, Swiss. Foto: REUTERS/Denis Balibouse
Selain WFG, ada beberapa kejuaraan serupa yang digelar Rusia sejak sanksi IOC, seperti International University Sports Festival 2023 di Ekaterinburg yang melibatkan atlet mahasiswa dari 37 negara (termasuk Indonesia), Games of the Future 2024 di Kazan yang berfokus pada e-sports.
ADVERTISEMENT
Kejuaraan “We Are Together Sports” yang melibatkan atlet disabilitas, hingga BRICS Games di Kazan pada Juni 2024 yang tidak hanya mengundang negara peserta BRICS, tetapi negara-negara lain yang bersahabat dengan Rusia. Rusia melihat digelarnya acara-acara ini sebagai respons terhadap realitas baru ketika para pemangku kebijakan olahraga dunia sudah tidak dapat dipercaya.
Ketika Baron Pierre de Coubertin merumuskan Olimpiade modern, ia ingin acara ini menjadi upaya membangun hubungan lebih baik antara negara-negara Eropa yang saat itu saling membenci satu sama lain. Sayangnya, saat ini ide ini dirusak oleh standar ganda dan sikap hipokrit.
IOC harus bisa menerapkan standar yang adil terkait posisinya terkait konflik dan peperangan. Sejatinya, tidak ada satu pun negara yang harus dilarang mengikuti kejuaraan olahraga karena tindakan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Sanksi yang diterapkan harus menyasar ke pemerintah dan pejabat, bukan terhadap atlet yang belum tentu setuju dengan langkah negaranya. Jika IOC terus bersikap tidak objektif, gerakan Olimpiade akan mengalami kemunduran, dan ajang tandingan akan semakin menjamur di masa depan.