Stockholm Syndrome: Cinta di Tengah Tekanan dan Kekerasan

Joseph Krishna Widyatama
Mahasiswa Jurusan Psikologi Universitas Brawijaya
Konten dari Pengguna
26 November 2021 20:38 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Joseph Krishna Widyatama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernahkah kalian mendengar istilah Stockholm syndrome? Mungkin dari judul lagu yang terkenal seperti lagu dari Blink-182 dan One Direction? Atau mungkin kalian pernah menonton sebuah film di mana seorang penculik menjalin hubungan romansa dengan sanderanya? Tahukah kalian bahwa Stockholm syndrome ini bisa benar-benar terjadi, lho.
Sumber : pixabay.com
Jadi, sebenarnya apa sih Stockholm syndrome?
ADVERTISEMENT
Jadi, Stockholm syndrome adalah suatu kondisi paradoks psikologis di mana timbul ikatan yang kuat antara korban terhadap pelaku kekerasan. Ikatan ini meliputi rasa cinta korban terhadap pelaku, melindungi pelaku yang telah menganiayanya, menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab kekerasan, menyangkal atau meminimalisasi kekerasan yang terjadi (Graham et al., 1995). Istilah Stockholm syndrome dikemukakan oleh seorang Kriminolog bernama Nils Bejerot untuk menggambarkan ikatan psikologis yang terjadi di antara korban yang disandera dan pelaku perampokan Sveriges Kreditbanken di kota Stockholm, Swedia. Dalam peristiwa tersebut, tumbuh sebuah ikatan emosional di antara para sandera dengan kedua perampok setelah terjebak bersama selama 6 hari. Bukannya melawan, para sandera malah berempati dengan para perampok. Bahkan pasca dibebaskan mereka pun menolak untuk memberikan kesaksian dalam pengadilan dan justru menggalang dana hukum untuk pembelaan para perampok.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Stockholm syndrome bisa terjadi?
Menurut penelitian yang dilakukan Federal Bureau of Investigation (FBI), terdapat 3 faktor utama yang menyebabkan munculnya Stockholm Syndrome pada seorang korban, yaitu :
Namun, kemungkinan terjadinya Stockholm syndrome pada seorang korban sangatlah minim. Dari 1200 kasus penyanderaan yang diamati oleh peneliti FBI, ditemukan bahwa 92% dari keseluruhan sandera tidak mengalami Stockholm syndrome. Sejumlah ahli lain menyatakan bahwa Stockholm syndrome terjadi karena sindrom tersebut adalah alat bertahan hidup yang sudah tertanam dalam diri manusia. Ikatan positif yang muncul di antara korban dan pelaku adalah semacam mekanisme pertahanan ego di bawah tekanan stres (R Harnischmacher, 1987). Mungkin kalian bertanya-tanya, “Lho, kenapa bisa seperti itu?”. Hal ini karena Stockholm syndrome dapat menyelamatkan nyawa korban serta pelaku dengan menurunkan ketegangan dan kecenderungan untuk menggunakan kekerasan sehingga mencegah intervensi oleh aparat yang berwajib.
ADVERTISEMENT
Bagaimana sih gejala-gejala dari Stockholm syndrome?
Seperti sindrom-sindrom pada umumnya, Stockholm syndrome juga dapat memunculkan gejala. Individu yang diberi diagnosis mengalami Stockholm syndrome dilaporkan mengalami gejala yang serupa dengan individu yang mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), yaitu :
Dapatkah Stockholm syndrome terjadi di sekitar kita?
Meski Stockholm syndrome biasanya terjadi pada kasus-kasus penyanderaan, tanpa kita ketahui sindrom ini sebetulnya dapat terjadi pada orang-orang di sekitar kita, lho. Biasanya, selain muncul pada korban penyanderaan, Stockholm syndrome juga muncul pada seseorang yang terjebak dalam sebuah abusive relationship. “Bagaimana bisa?”, mungkin kalian bertanya. Terdapat empat kondisi dalam hubungan yang penuh kekerasan dan distorsi kognitif yang muncul pada diri korbannya untuk mengembangkan Stockholm Syndrome (Graham et al., 1995). Kondisi-kondisi tersebut adalah :
ADVERTISEMENT
Dengan terpenuhinya keempat kondisi tersebut, Stockholm syndrome dapat berkembang dalam sebuah abusive relationship. Hal ini yang menjadi alasan kenapa korban sulit melepaskan diri dari hubungan karena korban terus menerus melihat sisi baik dari perilaku pelaku (Carver, 2009).
Lalu, apa yang harus lakukan apabila orang terdekat kita mengalami Stockholm Syndrome?
Untuk saat ini, belum ada penanganan khusus untuk penderita Stockholm syndrome. Karena gejala yang muncul serupa dengan gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), biasanya Psikiater akan menangani penderita Stockholm syndrome seperti penderita PTSD dan bahkan diberi preskripsi obat yang umum digunakan penderita PTSD. Apabila memang orang terdekat kita menunjukkan gejala-gejala Stockholm syndrome sebaiknya segera dikonsultasikan ke Psikiater agar dapat dilakukan penanganan yang tepat dan cepat.
ADVERTISEMENT
Referensi
Harnischmacher R, Müther J. (1987). Das Stockholm-Syndrom. Zur psychischen Reaktion von Geiseln und Geiselnehmern. Arch Kriminol. 180 (1-2). 1-12. PMID: 3662732.
Sekarlina, Margaretha. (2013). Stockholm syndrome pada wanita dewasa awal yang bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental. 2 (3). 1-6.
Nair, M.S. (2015). Stockholm syndrome -A self delusive survival strategy. International Journal of Advanced Research. 3 (11). 385-388.
Carver, J.M. (2009). Love and Stockholm Syndrome: The Mystery of Loving an Abuser. Diakses pada 24 November 2021 dari https://drjoecarver.makeswebsites.com/clients/49355/File/love_and_stockholm_syndrome.html.
Graham, D.L.R., Rawlings, E.I., Ihms, K., Latimer, D., Foliano, J., Thompson, A., Hacker, R. (1995). A Scale for Identifying “Stockholm Syndrome” Reactions in Young Dating Women: Factor Structure, Reliability, and Validity. Violence and Victims. 10 (1). 3-22.
ADVERTISEMENT
Adrian, Kevin. (2020). Memahami Fenomena Stockholm Syndrome. Diakses pada 24 November 2021 dari https://www.alodokter.com/memahami-fenomena-stockholm-syndrome.
Mulyani, N.S. (2020). Stockholm Syndrome: Alasan di Balik Bertahan Dalam Abusive Relationship. Diakses pada 24 November 2021 dari https://kumparan.com/ninda-syifa-mulyani/stockholm-syndrome-alasan-di-balik-bertahan-dalam-abusive-relationship-1uqEGeRFp3h/full