Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Q & A: Lemahnya Rupiah hingga 'Pekerjaan Rumah' Pemerintah
11 September 2018 19:25 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
Tulisan dari Josua Pardede tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dalam beberapa bulan terakhir. Pergerakan nilai rupiah bahkan sempat menyentuh angka Rp 15.000 per dolar AS.
ADVERTISEMENT
Berbagai spekulasi bermunculan, bahkan banyak yang mengaitkan dengan krisis moneter tahun 1998. Pemerintah mau tidak mau disibukkan dengan pekerjaan rumah untuk mendorong penguatan nilai rupiah.
Berikut beberapa pertanyaan yang sering saya dengar dan jawaban saya yang mungkin bisa membantu Anda memahami fenomena pergerakan rupiah terhadap dolar akhir-akhir ini.
Q: Bagaimana gambaran kondisi rupiah saat ini?
A: Kalau pergerakan rupiah masih sangat cenderung dinamis. Apalagi sejak akhir bulan lalu sampai dengan Jumat kemarin (7/9), tekanannya masih cukup besar karena masih banyak ketidakpastian, khususnya memanasnya isu perang dagang antara AS dan China.
Awalnya direncanakan awal pekan lalu, kenaikan impor tarif dari produk China itu sekitar USD 200 miliar. Tapi belum juga diumumkan oleh AS, sehingga itu masih akan memberikan sentimen waspada dari investor asing sendiri khususnya terhadap negara berkembang, terpengaruh cukup signifikan terdampak dari kebijakan The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat) tersebut.
ADVERTISEMENT
Akhir bulan lalu juga terjadi pelemahan mata uang Turki dan Argentina. Kalau dari dalam negeri kenapa rupiah bergerak dinamis? Karena faktor dari defisit neraca transaksi juga melebar. Tapi kita lihat kemarin setelah pemerintah mengumumkan kebijakan B 20 dan juga kenaikan pajak impor khususnya untuk konsumsi ini kita lihat di akhir pekan lalu justru rupiah kembali menguat lagi.
Meski demikian, (rupiah) kita masih melemah sekitar hampir 8,5 persen. Itulah yg masih akan kita hadapi. Keluarnya saham dana asing juga turut membebani rupiah, jumlahnya hampir USD 3,8 miliar. Di obligasinya ada inflow sedikit. Makanya kondisi tersebut sangat berbeda dengan tahun lalu yang cenderung lebih stabil, sedangkan tahun ini faktor risikonya cukup banyak.
ADVERTISEMENT
Sehingga kalau kita lihat memang rupiah masih berpotensi bergerak dinamis lagi. Saya pikir dalam sebulan ke depan ketidakpastiannya datang dari isu perang dagang. Kemarin ada wacana juga AS mungkin akan menaikkan adjust tarif impor dari Jepang. Sehingga makin banyak isu perang dagang dengan berbagai negara. Tiongkok sampai Eropa, ada potensi juga ke Jepang. Sehingga ketidakpastiannya masih cukup tinggi untuk nilai rupiah. Dan juga bulan september ini The Fed diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunga. Sentimen-sentimen itu masih akan memengaruhi.
Ditambah lagi masih belum stabil di emerging markets, meskipun membaik akhir pekan lalu, para pelaku investor global menganggap Indonesia salah satu negara berkembang, jadi sentimennya negatif buat semua negara berkembang. Dalam jangka pendek masih akan bertambah di kisaran 14.800 sampai 15000 per dolar Amerika.
ADVERTISEMENT
Q: Akankah nilai rupiah sampai akhir tahun bisa mencapai Rp 15000 per dolar?
A: Tidak, ini bisa terjadi dalam waktu sebulan ke depan. The Fed inikan ekpektasi dari pasar untuk kenaikan di bulan September masih tinggi. Tapi untuk di bulan Desember turun signifikan, ada komentar dari Donald Trump tentang kenaikan suku bunga The Fed ini kurang baik buat dilakukan, karena bisa mengganggu perekonomian Amerika Serikat juga. Dari komentar Trump itu bisa membuat kenaikan bunga The Fed di akhir tahun ini, khususnya di Desember mungkin relatif kecil.
Itu yang harapannya bisa membuat tekanan rupiah sedikit mereda, ditambah juga dengan kinerja transaksi berjalan. Ini pemerintah baru umumkan kebijakannya di dalam seminggu terakhir: B 20 dan tarif impor barang konsumsi. Harapannya di kuartal ketiga atau keempat sudah mulai membaik sehingga bisa support rupiah juga.
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi kalau akhir bulan ini tekanan rupiah masih relatif tinggi, tentunya Bank Indonesia akan menaikkan lagi suku bunga. Itu yang bisa mengantisipasi sentimen global terhadap rupiah. Jadi perkembangannya masih bergerak dinamis, tapi saya lihat fundamentalnya cukup kuat dan pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan-kebijakan. Selain itu, Bank Indonesia juga jaga stabilitas, jadi harapannya sampai akhir tahun ini rupiah bisa di bawah Rp 15000 per dolar.
Q: Faktor mana yang lebih dominan memengaruhi nilai rupiah? Apakah faktor global atau dalam negeri?
A: Nah itu makanya tidak beruntungnya kondisi kita saat ada orang di sekitar kita negara-negara di sekitar kita yang mengalami krisis ya. Jadi daya tahan kita agak sedikit menurun. Tapi sebenernya kita masih kuat-kuat saja, masih sehat. Tapi karena pengaruh CAD (Defisit Transaksi Berjalan) inilah yang masih menjadi salah satu concern.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya yang kita perhatikan tadi pemerintah sudah mengupayakan segala macam cara, Bank Indonesia sudah menaikkan suku bunga. Harapannya tujuannya sama, ini baik pemerintah dan presiden berkomitmen bahwa hasil kebijakan ini implementasinya akan menekan CAD dalam setahun ke depan.
Jadi harapannya ini cenderung akan signifikan di tahun depan. Itu harusnya direspons positif oleh investor. Ini tidak akan memberikan sentimen tambahan lagi dari eksternal (faktor global). Saya masih melihat eksternal ini masih dominan memengaruhi keputusan investor asing yang membuat aliran modal asing cenderung keluar pada keuangan kita. Masih dari eksternal, seandainya saja defisit transaksi berjalan kita tidak lebih mencapai 3 persen di kuartal 2, rupiah kita akan lebih stabil.
Ada isu eksternal, ada juga domestik, tapi saya melihatnya itu semua karena lebih didominasi oleh faktor eksternal. Karena kan ini semua negara berkembang menghadapi hal yang sama, terkena dampak sentimen negatif juga. Padahal yang mengalami krisis kan di Argentina, Turki, dan South Africa. Tapi karena negara-negara tersebut juga memiliki kebijakan yang sama saja, seperti India, karakteristiknya sama, negara berkembang.
ADVERTISEMENT
Sentimen negatif dari negara-negara tersebut membuat keseluruhan negara berkembang mengalami sentimen yang sama. Untungnya kita dibandingkan Rupee India masih jauh lebih baik. Dan juga upaya-upaya yang dilakukan pemerintah juga sangat cepat. Secara overall indikator makro kita cukup baik semuanya.
Kemarin cadangan devisa kita yang dikhawatirkan turun banyak, ternyata turunnya sedikit. Ini kan tetap akan memberikan confidence juga buat pelaku pasar. Makanya tidak perlu ada kepanikan yang harus berlebihan baik dari investor dan masyarakat. Sejauh ini, saya pikir mudah-mudahan bisa mendekati 14.600-14.700 akhir tahun ini.
Q: Seberapa besar faktor di Argentina, Turki, dan India bisa menular ke Indonesia?
A: Nah ini dia. Yang menular itu sentimennya. Kalau krisisnya sendiri sih saya cukup yakin kita sangat jauh dari krisis. Kalau kita lihat kemarin South Africa Pertumbuhannya berkontraksi dalam dua kuartal berturut-turut. Di Turki current account-nya hampir 7 persen lebih. Kalau di Argentina fiskalnya sampai harus butuh pinjaman IMF. Sedangkan kalau CAD kita juga di bawah tiga persen untuk full year.
ADVERTISEMENT
Fiskal kita juga cukup kuat bahkan mendekati 2 persen. Outlook Kemenkeu sendiri defisitnya lebih rendah dari APBN. Karena ada dampak rupiah dan harga minyak ini khususnya pada penerimaan kita. Ditambah lagi pertumbuhan ekonomi kita juga cukup stabil sekitar 5 persen. Kuartal kedua pertumbuhan ekonomi kita juga 5,3 persen. Utang luar negeri kita juga sangat dikelola dengan baik oleh pemerintah. Dari sisi rasio sendiri kalau kita mengingat dulu tahun 98 kan tidak terkelola dengan baik, malah tidak ada penguatan.
Utang luar negeri swasta itu tumbuh sangat cepat. Sekarang ini dengan adanya aturan Bank Indonesia yang melindungi nilai transaksi dan pemerintah pun sangat menjaga (perekonomian), sehingga pertumbuhan utang pun relatif terkelola dengan baik. Total utang luar negeri kita masih di bawah 35 persen. Kalau kita bandingkan Argentina dan Turki, kita lihat utang kita masih sangat kecil.
ADVERTISEMENT
Penularan ke krisis ekonomi (tidak akan terjadi), karena sebenarnya kita cukup optimis, dan fundamental kita cukup kuat. Tapi yang bisa menular ini adalah sentimennya. Jadi bukan faktor krisisnya, tapi sentimen pelemahan nilai tukarnya (yang bisa menular), dicap oleh investor global itu wah , dari sisi emerging markets-nya cukup rentan. Alhasil, mereka berbondong-bondong keluar dari negara berkembang.
Jadi kita terkena sentimen saja sebenarnya, tapi kalau dari sisi kekuatan kita sebagai fundamental ekonominya saya pikir cukup kuat. Saya sangat optimistis, kita sangat jauh dari kondisi krisis. Pengelolaan fiskal moneter dan utang kita sangat baik. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tidak beruntungnya kita karena ekonomi kita sedang tumbuh dan nilai impor kita tinggi.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya kalau struktur ekonomi kita dibenahi, impornya bisa dijaga. Impornya banyak kan berarti permintaan dolar tinggi. Dolar yang keluar lebih banyak dari yang masuk, itu yang harus kita benahi. Makanya pemerintah berupaya defisit transaksi berjalan ini bisa ditekan dalam jangka pendek, makanya mau tidak mau nilai impor (harus) dikurangi, dan suku bunga dinaikkan. Supaya (tarif impor barang) konsumsi tertahan.
Q: Langkah pemerintah tersebut apakah cukup efektif?
A: Ya menurut pandangan saya tahun ini bisa ditekan hingga miliar USD. Menghemat 3 miliar USD devisa kita. Makanya dengan upaya tersebut saya sangat yakin CAD kita di semester satu ini rata-rata masih 2,6 persen. Jadi harapannya full year akan di bawah 3 persen juga.
ADVERTISEMENT
Investor asing kan lihatnya datanya. Kuartal kedua kan cukup tinggi, jadi itu yang sebenarnya harus disosialisasikan juga oleh pemerintah dan Bank Indonesia ke investor global bahwa kondisi CAD kita tidak terlalu tinggi. Ya kita harus waspada tapi tidak sampai sebahaya Turki, di sana CAD sudah mencapai 7 persen.
Fundamental kita masih cukup kuat menghadapi gejolak dari eksternal. Yang saya sangat concern itu lebih ke efek perang dagang. Ini lebih mengkhawatirkan dibandingkan penularan sentimen negara berkembang.
Sebab, Amerika Serikat sepertinya tidak main-main implementasikan proteksionisme pasarnya. Meskipun kontribusi ekspor kita tidak terlampau tinggi, kalau misalkan ini mengganggu China, Jepang, dan Eropa, ini bisa berdampak pada melambatnya ekonomi global.
Akhirnya berpengaruh pada semua negara, khususnya negara berkembang yang masih menjadi pendorong utama ekonomi dunia. Jadi makanya lebih cemas ke skala global. Dua hal itu yg lebih perlu kita khawatirkan. Dibandingkan sentimen yang dikeluarkan The Fed, itukan semuanya sudah price in, dan kebaikan September pun sudah diantisipasi sebenarnya. Jadi setelah menaikkan suka bunga pun saya rasa tidak akan terlalu heboh dampaknya.
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi Donald Trump sudah bilang The Fed jangan terlalu cepat menaikkan suku bunga, karena tidak bagus untuk pasar Amerika Serikat, khususnya bagi ekspor Amerika Serikat sendiri. Itu tidak akan lebih buat kompetitif, karena dolarnya terlalu kuat. Kinerja ekspornya tidak terbantu.
Padahal tujuannya dia (The Fed) menaikkan tarif impor, seperti defisit perdagangan juga mengecil. Tapi kalau dolarnya menguat kan sama aja. Jadi tujuan awal dia juga jadi tidak berhasil. Sejalan dengan hal ini, The Fed pun sudah mempertimbangkan komentar Trump tadi.
Kita lihat pasar kenaikan bunga di bulan Desember pun tidak sebesar probability pada kenaikan bulan September. Saya melihatnya kenaikan The Fed ini awalnya cukup diperhatikan, tapi belakangan ini malah jadi perang dagang dan sentimen negatif di negera berkembang.
ADVERTISEMENT
Q: Mungkinkah rupiah berbalik menguat lagi, di posisi berapa? Atau bakal ada keseimbangan baru?
A: Itu dia kalau kita lihat dari fundamental ekonomi kita, ada cadangan devisa, PE (pertumbuhan ekonomi), inflasi, posisi utang, fiskal secara keseluruhan rupiah kita masih berpotensi menguat. Kalau kita indekskan dengan real effectif exchange rate yang dikeluarkan Bank for International Settlements, kita masih berada di bawah 100.
Artinya value kita saat ini masih under value, jadi kita semestinya bisa menguat lagi. Tapi mengingat ada isu-isu dalam negeri soal pelebaran transaksi berjalan memang kita tidak berharap bisa menguat di bawah Rp 14.000. Jadi masih di rentang Rp 14.500- Rp 14.600 untuk tahun ini. Itu sudah cukup fair buat rupiah.
ADVERTISEMENT
Karena masih ada pekerjaan rumah yang harus dibenahi (masalah impor). Kalau itu sudah ada perbaikan, kita berharap kalau CAD kita dikurangi, syukur-syukur bisa surplus, jangankan Rp 13.000, Rp 10.000 juga saya sangat optimis. Kita harus melihat salah satu kondisi kita kan masih defisit dan belum pernah surplus dalam 10 tahun terakhir ini, makanya masyarakat harus lebih sabar dan melihat kondisi global jangan melihat sepihak jangan hanya dari kacamata dalam negeri saja.
Kita harus membuka prespektif globalnya. Makanya pak Jokowi bilang dolar "pulang kampung," likuiditas dolar ini tidak sebanyak 2008 ataupun sebelumnya. Sedangkan 2013, dana-dana asing dari pasar global membanjiri negara berkembang. Sekarang berangsur-angsur mulai keluar. Itu yang harus diperhatikan juga dan itu jadi salah satu faktor yang membatasi penguatan rupiah kita.
ADVERTISEMENT
Kalo memang CAD berhasil ditekan, bagaimana mendorong pasar. Kalau kita lihat, kepemilikan investor asing kan masih tinggi. Di saham sekitar 45 persen. Maka pasar harus didorong dari OJK pemerintah, sehingga semakin banyak investor domestik yg makin sadar nabung saham. Itu harusnya disosialisasikan.
Tujuannya kalau ada gejolak karena keluarnya dana asing tentunya investor domestik justru bisa masuk. Kita diuntungkan karena harganya murah. Dibandingkan jika nanti ada investor masuk, sedangkan harga lebih cepat naik, malah terlambat. Lebih baik pada saat koreksi sekarang, asing lagi keluar, harga lagi murah semua, value cukup menarik, kita (investor domestik) harusnya masuk sekarang.
Harapannya, ketergantungan kita pada investor asing bisa dikurangi. Tidak bisa dihapus semua, tapi bisa dikurangi. Hari Jumat (7/9) sudah banyak korporasi mulai jual dolar. Kebijakan ini bisa mendorong pariwisata, produk Bank Indonesia juga sudah dkeluarkan untuk menarik devisa ekspor.
ADVERTISEMENT
Para eksportir ini secara sadar menjual dolarnya dan pada Jumat kemarin (7/9) sudah mulai terlihat, sudah mulai banyak. Sehingga ini akan menambah lagi supply dolar mereka. Oleh karena itu, saya cukup optimis, syukur-syukur (rupiah) kita menguat lagi.
Q: Kebijakan jangka pendek seperti apa yang harus dilakukan pemerintah?
A: Yang memang harus didorong adalah devisa hasil ekspor ini. Karena 90 persen yang dilaporkan sudah masuk di dalam negeri, tapi tidak dikonversikan dalam rupiah. Itu hanya 15 persennya dari 90 persen itu. Makanya masih sangat rendah.
Sekarang bagaimana kita meyakinkan pemerintah dan Bank Indonesia memberikan insentif supaya eksportir tidak khawatir saat dia jual dolar nanti, misalkan kebutuhan dolar dia mungkin tidak kesulitan dengan underlying transaksi dan harganya. Makanya ada swap hedging.
ADVERTISEMENT
Bank Indonesia juga sudah mengeluarkan produknya, meski bukan produk baru, tapi digaungkan lagi swap hedging ini dengan ongkosnya, dan preminya sudah ditekan cukup signifikan. Ini akan memberikan confidence bagi para eksportir, bukan hanya memarkirkan dolarnya saja, tapi juga mengkonversikan ke rupiah. Itu akan lebih signifikan dalam jangka waktu pendek ini.