Konten dari Pengguna

Ketika Pistol Terangkat dengan Mudah: Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?

Jovanka Ellena Kosasih
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
18 Desember 2024 16:23 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jovanka Ellena Kosasih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi seseorang memegang pistol (Sumber: senivpetro/freepik)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi seseorang memegang pistol (Sumber: senivpetro/freepik)
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini, Indonesia dihebohkan dengan kasus seorang polisi yang menembak siswa SMK berinisial G (17) di Semarang, Jawa Tengah, pada Minggu dini hari (24/11/2024). Berdasarkan laporan dari Kompas.id, pelaku adalah Ajun Inspektur Dua (Aipda) Robig Zaenudin, anggota Satuan Reserse Narkoba Polrestabes Semarang. Dalam insiden tersebut, dua siswa lain, S dan A, juga menjadi korban tembakan yang dilepaskan sebanyak dua kali. G mengalami luka tembak di pinggul yang menyebabkan ia meninggal dunia, sementara S dan A menderita luka di tangan dan dada.
ADVERTISEMENT
Sebegitu mudahkah seorang polisi melepaskan tembakan? Menurut Kepala Polrestabes Semarang, Kombes Pol Irwan Anwar, Aipda Robig beralasan bahwa tembakan tersebut dimaksudkan untuk membubarkan tawuran. Namun, fakta menunjukkan bahwa pelaku tidak berada dalam ancaman serius yang membenarkan penggunaan senjata api. Kepala Bidang Humas Polda Jateng, Artanto, juga sempat menyebut tindakan tersebut sebagai tindakan eksesif atau berlebihan.
Walau tindakan Aipda Robig dinilai tidak sesuai prosedur, proses hukum terhadap pelaku tampak berjalan lambat. Sidang etik yang bertujuan menentukan pelanggaran yang dilakukan terus tertunda dengan alasan kurangnya bukti, sehingga baru digelar pada Senin (9/12/2024), dua minggu setelah insiden.
Jika demikian, siapa yang harus bertanggung jawab? Korban, yang awalnya dituduh sebagai pelaku tawuran, justru diketahui memiliki rekam jejak positif sebagai siswa berprestasi dan anggota paskibra. Kesaksian dari guru, tetangga, dan teman korban semakin memperkuat keraguan bahwa G benar-benar terlibat tawuran.
ADVERTISEMENT
Fakta yang ditemukan LBH Semarang mempertegas kejanggalan dalam kronologi yang disampaikan kepolisian. Bukti CCTV menunjukkan bahwa G dan teman-temannya tidak sedang melakukan tawuran, melainkan insiden bermula karena kendaraan mereka secara tidak sengaja memepet motor pelaku. Hal ini memicu tindakan eksesif yang berujung pada penembakan. Ironisnya, alih-alih mengakui kesalahan, Polrestabes Semarang meminta keluarga korban menandatangani surat pernyataan ikhlas, mencederai proses hukum dan menunjukkan kegagalan aparat dalam bertindak profesional.
Kasus ini mencerminkan ketimpangan kekuasaan yang kerap terjadi dalam konflik melibatkan aparat. Tindakan pelaku dan lambatnya proses hukum menunjukkan rendahnya tanggung jawab terhadap pelaksanaan hukum secara adil. Spears (2019:114) menegaskan bahwa kegagalan penyelesaian konflik sering kali disebabkan oleh ketidakmauan terlibat lebih dalam akan konflik tersebut. Saat diusut lebih lanjut oleh LBH Semarang, ditunjukkan bahwa beberapa keterangan Polrestabes Semarang berbeda dengan realitanya. Apakah ini benar-benar menunjukkan integritas kepolisian?
ADVERTISEMENT
Selain itu, tindakan Robig yang sebegitu mudahnya melepaskan peluru pada korban termasuk dalam pelanggaran HAM. Hal ini melanggar hak hidup, hak untuk bebas dari perlakuan tidak manusiawi, dan ketentuan Perkap No. 1 Tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan oleh polisi, yang seharusnya dilakukan dengan prinsip legalitas, nesesitas, dan proporsionalitas. Seorang polisi seharusnya dapat menganyomi dan melindungi warga, bukan pihak yang sewenang-wenang menggunakan kekuasaan.
Ketidaktransparanan dan manipulasi fakta oleh pihak kepolisian tidak hanya memperparah konflik, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi yang seharusnya melindungi mereka. Hukuman tegas terhadap pelaku, seperti pemberhentian tidak hormat dan proses pidana yang adil, harus diterapkan agar ada kejelasan pertanggungjawaban. Spears (2019:114) menegaskan bahwa kegagalan konflik sering kali terjadi karena kurangnya kemauan organisasi untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, evaluasi dan reformasi mendalam terhadap sistem kepolisian perlu dilakukan untuk mencegah kasus yang serupa. Selain itu, implementasi tegas terhadap aturan penggunaan senjata api, pengawasan independen terhadap kepolisian, serta peningkatan pelatihan tentang HAM juga harus segera diterapkan. Dengan begitu, keadilan bagi korban dapat ditegakkan, dan reformasi sistem kepolisian Indonesia dapat diwujudkan ke arah yang lebih baik.
ADVERTISEMENT