Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Akhirnya Kena Juga
18 Mei 2022 17:31 WIB
Tulisan dari Juang Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Filosofi "hidup tidak ada yang tahu" sepertinya tidak terlepas dari kehidupan saya. Setelah menyelesaikan tugas saya di Moskow, akhirnya waktu yang ditunggu datang juga. 3 Februari 2021, saya mendarat di Bandara Soekarno - Hatta dan saat itu pemerintah Indonesia menerapkan karantina 5 hari bagi pelaku perjalanan dari luar negeri, apalagi saat itu isu mutasi Covid-19 sudah santer didengar dimana-mana.
ADVERTISEMENT
Selesai karantina ketat yang hanya memungkinkan saya melihat dunia luar dari jendela, sangat melegakan. Ibarat orang dikerangkeng selama 5 hari, keluar kerangkeng girang tak terhingga. Beberapa bulan pun terlewati dan saya saat itu merasa bersyukur kalo saya tidak pernah sekali pun terpapar Covid-19, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) saat itu menyatakan bahwa terdapat tiga varian Covid-10, yakni Varian B.1.1.7 (varian Alpha), B.1.351 (varian Beta), dan B.1.617.2. (varian Delta). Juli 2021 di dalam negeri dipenuhi berita merebaknya varian Delta yang menjangkiti hampir seluruh Indonesia dan berita kematian pun terdengar dimana-mana. Setiap mesjid dan musolah di sekitar tempat tinggal saya, hampir tiap saat mengumumkan berita duka. Seketika muncul rasa panik dan gundah lagi di dalam benak saya. Saya pun berpikir sampai kapan virus ini akan selesai.
Waktu pun berjalan cukup cepat, apalagi kantor saya mewajibkan seluruh pegawainya untuk bekerja dari rumah. Banyak kegiatan positif yang bisa saya lakukan, seperti jalan santai keliling komplek dan tapi sayangnya kita tidak boleh duduk santai di taman yang tidak seberapa jumlahnya di Jakarta ini. Ternyata taman dan ruang terbuka publik ditutup untuk pengunjung. Sungguh ironi ketika WHO menganjurkan dan negara lain membuka ruang terbuka hijaunya untuk penduduk, Jakarta malah menutup seluruh taman. Lebih ironi lagi ketika pemerintah Jakarta membuka mal dengan kapasitas 25 persen pengunjung di Agustus 2021. "Lah kok? Bukannya penularan di dalam ruangan lebih besar probabilitasnya?", pertanyaan itu selalu menggelitik saya. Apalagi ketika saya bersepeda menuju taman ke sekitar kantor, walau dengan dua lapis masker, saya diusir oleh petugas di taman. "Taman ditutup, Pak. Tidak boleh ada pengunjung", ujarnya singkat. Oke lah bestie, saya kembali ke markas.
Jika sebelumnya kita mengenal Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ternyata Indonesia menerapkan istilah lain, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Lalu pemerintah mulai menerapkan istilah lain PPKM level 4. Banyak orang menyebut pemberlakukan PPKM dengan level seperti ayam geprek. Lucu juga sih tapi masuk akal, karena untuk mengetahui seberapa urgensi pembatasan kegiatan masyarakat dapat diterapkan dan sejauh mana pemerintah dapat melonggarkan kegiatan bisnis, sekolah, dan perkantoran. Kantor saya pun dengan taat mengikuti aturan tersebut. November 2021, kantor saya pun mengkuti arahan untuk menerapkan Work From Office (WFO) 50 persen sesuai dengan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1245 Tahun 2021 tentang PPKM Level 2 Covid-19 yang ditandatangai pada 18 Oktober 2021 dan berlaku mulai 19 Oktober 2021, serta mengacu pada Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2021 tentang PPKM Level 3, Level 2 dan Level 1 Covid-19 di Jawa dan Bali.
ADVERTISEMENT
Seperti tulisan saya sebelumnya dan filosofi "hidup tidak ada yang tahu", awalnya hidup saya aman-aman saja tanpa pernah tersentuh varian Alpha, Beta, dan Delta. Tapi, muncul varian baru yang bernama varian Omicron. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengumumkan temuan kasus pertama COVID-19 varian omicron di Indonesia 16 Desember 2021. Saya pun sedikit jumawa, paling lolos lagi. Ternyata tidak donk, bestie. Sebagaimana protokol yang diterapkan kantor, sebelum masuk ke ruangan kantor, kami diwajibkan antigen, dan 10 Januari 2022, voila! Saya dipanggil petugas, "Mas, Anda positif di antigen, kita PCR ya? Lalu sambil menunggu hasil, silahkan pulang". Sedikit panik saya jawab, "lah kok bisa? Saya gak merasa apa-apa lho, Bu". Hasil PCR pun saya terima dan ternyata saya tetap positif. Berita positif satu-satunya yang buat saya galau.
Pengalaman Covid-19 ini ternyata merupakan pengalaman yang paling tidak menyenangkan dan nyaman buat saya. Bukan untuk membandingkan, tetapi setidaknya kita seharusnya belajar dari pengalaman sebelumnya dan negara lain. Setelah saya pelajari ternyata varian Omicron ini sebagian besar tidak bergejala atau bergejala ringan bagi yang sudah vaksin lengkap. Tetapi di Indonesia, mungkin belajar dari pengalaman penanganan varian Delta, penanganan Omicron ini sedikit berlebihan. Menteri Kesehatan melalui Surat Edran Nomor HK.02.01/MENKES/1391/2021 tentang Pencegahan dan Pengendalian Kasus Covid-19 Varian Omicron (B.1.1.529) menyatakan bahwa seluruh kasus probable dan konfirmasi varian Omicron (B.1.1.529.) baik yang bergejala (simptomatik) maupun tidak bergejala (asimptomatik) harus dilakukan isolasi di rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan COVID-19. Dari sini saya mulai bertanya-tanya mengenai regulasi ini. Jika seluruh kasus ditampung di tempat isolasi, mampukah seluruh fasilitas di negeri ini menampungnya? Ternyata tidak.
ADVERTISEMENT
Penyataan saya mengenai penanganan Omicron di dalam negeri sedikit berlebihan memiliki alasan kuat. Ketika saya dinyatakan positif, banyak pihak yang menghubungi saya dengan sangat mengganggu. Bukannya mengecek keadaan tubuh atau gejala yang saya hadapi sebagaimana pengalaman rekan-rekan di Moskow melalui kunjungan tim kesehatan, tetapi tim kesehatan puskesmas domisili saya hanya sibuk mengirimkan pesan melalui Whatsapp dan menelpon sampai membuat saya pusing. Intinya mereka menyuruh saya masuk ke Wisma Atlet. Perdebatan pun dimulai, saya menanyakan apakah mereka yakin saya Omicron? Mereka pun belum bisa menjawab dengan pasti, masih pakai istilah: kayaknya, sepertinya, katanya, dst. Pernyataan mereka pun sangat menggelitik karena mengacu pada Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 980 Tahun 2020 tentang Prosedur Pengelolaan Isolasi Terkendali dalam Rangka Penanganan Covid-19 yang menyatakan beberapa syarat jika mau melakukan isolasi mandiri, antara lain memiliki kamar mandiri sendiri dan kamar sendiri, serta rumah yang cukup luas atau rumah dua lantai. Setelah panjang lebar berdebat, akhirnya saya menyetujui untuk dibawa ke fasilitas kesehatan, yakni ke Wisma Atlet Kemayoran.
ADVERTISEMENT
Di sinilah ketakutan dan keanehan pelayanan kesehatan kita menarik perhatian saya. Dengan rujukan dari kantor, saya diberitahu bahwa saya sudah didaftar untuk isolasi di Wisma Atlet Kemayoran, tapi eits tunggu dulu, ternyata tidak sesederhana itu. Setelah diantar oleh tim kesehatan kantor dan dibantu oleh tim penanganan Covid-19 kantor, saya tiba di Wisma Atlet. Di sana tidak terdapat petunjuk yang jelas dimana bagian pendaftaran, dan dimana tempat menunggu, semua ditumpuk menjadi satu. Yang lebih unik lagi, pasien yang memiliki gejala, tidak bergejala, dan pelaku perjalanan luar negeri semua dikumpul menjadi satu. Ibarat kata, seperti sapi yang siap dimasukkan ke kandang satu-satu dan harus antri sesuai dengan instruksi majikan. Saya pun bertanya ke kiri kanan orang yang menunggu dimana saya harus mendaftar dan didapatlah satu meja yang ternyata tempat pendaftaran. Setelah mendaftar kita dipersilahkan menunggu. Jangan membayangkan pendaftaran ini dilakukan layaknya di Rumah Sakit yang akan dilayani dengan ramah dan mengantri dengan jelas, tidak. Petugas kesehatan di Wisma Atlet Kemayoran jauh dari kata ramah, mungkin mereka lelah, tapi bukannya sudah resiko pekerjaan, bestie? Ini mengingatkan kata-kata ibu saya, "Semua pekerjaan itu melelahkan, tapi kerjakan dengan ikhlas, semua akan ringan", lebih-lebih kalo saya mengeluh pulang kerja capek, pasti saya akan mendapat nasehat ini selayaknya radio rusak.
Setelah mendaftar dan menunggu akhirnya nama saya dipanggil. Sesuatu yang menggelikan, antara bikin mau marah, tapi lucu, mau ketawa tapi ngeselin. Saya diminta KTP lagi. "Lah bukannya tadi udah diminta, mbak? Ini beda prosesnya, Pak. Gak ada data Bapak di komputer kami", dengan ketus dijawab petugas. Selaw, Bestie. Sekarang bukannya sudah jamannya internet ya? Presiden aja sudah mencanangkan Indonesia 4.0, kenapa sistem anda masih jaman penjajahan Belanda? Singkat cerita drama pendaftaran yang memakan waktu kurang lebih 2 jam, hampir mau mengalahkan drama film India kalau dipikir-pikir, akhirnya kita digiring untuk masuk ke kamar pesakitan (istilah dipakai karena kita diperlakukan seperti kena azab). Masuklah saya ke kamar, ternyata eh tenyata, kita dimasukkan ke unit yang isinya dua kamar dan satu kamar mandi. Menarik bukan? Bukannya petugas kesehatan puskesmas domisili saya bilang berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 980 Tahun 2020 , untuk isolasi kita harus memiliki kamar mandi sendiri dan kamar sendiri, serta rumah yang cukup luas atau rumah dua lantai? Kenapa kita disatukan semua? Untung ketika saya masuk, unit tersebut kosong.
Selang beberapa hari, saya didatangi petugas yang bolak-balik menanyakan dihuni berapa orang dan saya jawab bahwa saya sendiri. Pada umumnya petugas di lantai tempat saya isolasi sangat baik dan ramah, bahkan sabar menghadapi banyaknya permintaan. Tetapi pada suatu saat saya didatangi dokter muda yang emosian karena ada pasien baru yang akan dimasukkan ke unit yang sama. Mungkin beliau lebih pintar dari saya tapi jauh dari kata bijak. Logikanya saya sudah 6 hari di unit, lalu Wisma Atlet Kemayoran mewajibkan saya tes PCR lagi di hari kesepuluh, kalau saya awalnya tidak bergejala dan sisa 4 hari yang mana menurut WHO pun virus sudah melemah, akan digabung dengan pesakitan yang baru, bukankah saya akan jadi terjangkit lagi? Beliau pun menjawab saya dengan penuh emosi "Pak, saya ini dokter, Bapak jangan minta perlakuan istimewa! Di sini gak ada yang kita perlakukan istimewa!". Lah kalo dokter ya harusnya lebih pinter dari saya. Cobalah mbak sekolah kepribadian dulu, soalnya saya pun pelayan masyarakat, kami diharamkan berkata kasar kepada masyarakat.
Sepuluh hari pun terlewati dan akhirnya, petugas kesehatan yang ramah dan baik hati lainnya pun mengizinkan pulang. Pengalaman ini saya harap yang pertama dan terakhir buat saya, tetapi sebagai pelayan negeri dan anak bangsa, besar harapan saya buat ada perbaikan sistem kesehatan di Indoensia menjadi kelas dunia, tidak mengherankan banyak yang memilih untuk membayar mahal di luar negeri untuk fasilitas terbaik, tapi bagaimana dengan rakyat biasa? Apakah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sulit untuk diterapkan?
ADVERTISEMENT