Saya si Wartawan Baru: Sepotong Kisah si Tukang Menulis di kumparan

Judith Aura
Reporter kumparanWOMAN.
Konten dari Pengguna
27 Juni 2022 22:11 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Judith Aura tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana Uji Kompetensi Wartawan (UKW) kumparan 2022 hari kedua, Minggu (26/6/2022). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Uji Kompetensi Wartawan (UKW) kumparan 2022 hari kedua, Minggu (26/6/2022). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Untuk anak baru 1,5 tahun berjibaku di dunia jurnalistik, you’re not so bad, Judith. Yok, bisa, yokkk.”
ADVERTISEMENT
Itu adalah afirmasi positif yang terus menerus saya ucapkan pada diri saya sendiri selama 1,5 tahun terakhir. Meskipun saya tidak terlalu percaya bahwa skill saya sudah cukup baik, ada kalanya, menghibur diri sendiri adalah cara terbaik untuk bisa bangkit lagi dan terus bekerja. Sebagai apa? Sebagai seorang wartawan.
Malam ini, setelah menyelesaikan artikel-artikel untuk kanal kumparanWOMAN dan menjalani meeting bersama rekan kerja, saya meluangkan sedikit waktu untuk menulis pengalaman menyenangkan bekerja sebagai seorang jurnalis di kumparan. Ditemani mi rebus panas dan es kopi susu (jangan dicontoh), saya pun menimba sumur memori—mungkin lebih ke menggali gundukan memori, mengingat betapa pelupanya saya—dan menuangkannya dalam kata-kata. I tried.
Quick disclaimer. Sebelum saya bergabung dengan kantor saya ini, saya tidak memiliki basic jurnalistik. Saya adalah seorang lulusan Sastra Inggris, pengutamaan linguistik. Menerjemahkan, menulis artikel ilmiah, dan mengoreksi kesalahan tata bahasa orang lain adalah keahlian saya. Namun, tidak dengan menulis berita—apalagi menulis breaking news yang prosesnya membutuhkan waktu kurang dari 10 menit.
Suasana uji kompetensi wartawan (UKW) kumparan di kantor kumparan, Jalan Jati Murni, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Minggu (26/6/2022). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Selama 18 bulan di kumparan, saya harus sedikit demi sedikit merobohkan dinding pengetahuan yang selama ini saya miliki dan perlahan-lahan membangun tembok wawasan baru. Saya si penakut, diwajibkan memiliki keberanian untuk menelepon orang yang saya tidak kenal dan mendekati pejabat-pejabat demi memperoleh bahan tulisan. Saya harus belajar cara menulis berita, dari straight news hingga feature—kesukaan saya—yang 180 derajat berbeda dengan esai-esai ilmiah dan penulisan kreatif yang biasa dilakukan selama kuliah dulu.
ADVERTISEMENT
Beruntung, mentor alias redaktur saya di tiga kanal berbeda: Kolaborasi, kumparanNEWS, dan kumparanWOMAN, semuanya dengan sabar (mungkin kelihatannya saja, enggak tahu kalau di dalamnya) mengajari saya. Dari yang tadinya saya benar-benar kosong, kini, setidaknya sudah terisi sedikit demi sedikit. Mungkin baru 5 persen.
Jadi, bisa dibilang, bekerja sebagai wartawan di kumparan ini adalah kuliah jenjang profesi buat saya. Bedanya, saya mungkin tidak akan dapat gelar apa-apa ketika saya ‘lulus’ nanti. Namun, yang pasti, saya akan mendapatkan penghargaan berupa pengalaman berharga yang mungkin tidak akan saya temui di mana-mana.

Liputan lapangan: Kegiatan mengerikan yang akhirnya jadi cukup menyenangkan

Hadiah liputan pertama: Foto di depan posko post-mortem korban kebakaran Lapas Tangerang, September 2021. Foto: Judith Aura
Seperti yang sudah saya singgung di awal, saya tidak memiliki latar belakang jurnalisme. Saya dulu buta sekali, tetapi saya ingin belajar. Partially karena saya suka belajar, mostly karena saya tidak suka kalah dari orang lain.
ADVERTISEMENT
Ketidaktahuan saya soal jurnalisme membuat saya benar-benar ketakutan ketika saya ditugasi turun ke lapangan untuk pertama kalinya: Meliput situasi dan keluarga korban kebakaran Lapas Tangerang di RS Polri Kramat Jati.
Saya ingat ketika selesai liputan, saya langsung sakit. Bukan hanya karena fisik kelelahan, tetapi kecemasan, rasa panik, ketakutan, dan social anxiety yang menggebu-gebu menjadi satu, akhirnya meledak dan membuat saya runtuh. Bukan pengalaman liputan yang menyenangkan, clearly.
Namun, sekitar satu bulan setelahnya, kumparan mengadakan Kelas Reporter selama tiga hari (dua hari offline, satu hari online) yang benar-benar membantu saya menavigasi jalan di profesi saya ini. Dari yang awalnya celingukan dan diselimuti rasa panik saat liputan lapangan, perlahan-lahan berubah menjadi datang paling awal dan otomatis SKSD (sok kenal sok dekat) dengan siapa pun di lokasi.
Liputan International Conference on Digital Diplomacy di Bali bersama Kemlu RI, November 2021. Foto: Judith Aura
Saya pun mulai sering turun ke lapangan dan liputan bersama rekan-rekan wartawan dari berbagai media. Tahun 2021, saya masih menjadi wartawan di desk internasional, sehingga saya banyak menghabiskan waktu bersama Kementerian Luar Negeri dan Kedutaan Besar beberapa negara. Usai saya mulai familiar dengan situasi dan berhasil mendapatkan ritmenya, saya mulai memandang liputan sebagai kegiatan yang cukup menyenangkan.
ADVERTISEMENT
Terlebih ketika saya mendapatkan kesempatan untuk meliput salah satu kegiatan Kemlu RI, yaitu International Conference on Digital Diplomacy (ICDD) di Bali pada November lalu. Ketika kumparan memberi izin saya untuk berangkat, rasa senangnya bukan main. Keseruan liputan luar pulau tersebut sepertinya akan selalu menjadi highlight dari ‘daftar liputan seru Judith’—mungkin untuk saat ini.
Dari Kemlu ke Kedubes, saya pun akhirnya berlabuh di kanal baru pada Maret 2022: kumparanWOMAN. Beruntung, tempaan yang cukup berat di kumparanNEWS selama satu tahun berhasil membuatku cukup tangguh di sini. Bahkan, porsi liputan lapangan saya selama empat bulan di Woman sepertinya lebih banyak dibandingkan ketika saya masih di News.
Mirror selfie saat proyek Grab x kumparan untuk Hari Kartini 2022 bersama Bella. Anak Woman hukumnya wajib rapi dan fashionable. Foto: Judith Aura
Selama di Woman, saya datang meliput beragam acara yang berbeda. Cakupannya dari acara lifestyle dan kesehatan perempuan, kehidupan yang lebih berkelanjutan (ini mengajari saya banyak hal soal bagaimana mencintai bumi ini), pemberdayaan perempuan, hingga yang menjadi passion besar saya: Makeup dan skin care.
ADVERTISEMENT
Jika saat saya masih di News oleh-oleh yang saya bawa adalah hasil tikpet (ketik cepat), rekaman liputan, dan dokumentasi, ketika saya di Woman, tambah satu lagi buah tangan yang saya bawa: Goodie bag berisi makeup, skin care, dan produk-produk yang bagi saya adalah surga dunia.
Salah satu pengalaman baru yang bagi saya amat menyenangkan adalah ketika mewawancarai Chairwoman of Women 20, Ibu Hadriani Uli Silalahi, di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada Rabu (22/6) kemarin. Selain merupakan pengalaman wawancara eksklusif offline pertama saya, sang narasumber juga merupakan seorang perempuan hebat. Jawaban-jawabannya inspiratif, opini dan pandangannya sangat patut dicontoh para perempuan Indonesia. Jadi tidak heran, beliau bisa memegang titel Role Model kumparanWOMAN di bulan Juni ini.
Kak Avissa, Bu Uli Silalahi, Mbak Fitria, Mbak Dena, dan saya, saat wawancara Bu Uli untuk rubrik Role Model kumparanWOMAN di Gedung Kementerian PPPA Jakarta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Menjalani kegiatan di kumparanWOMAN nyatanya 180 derajat berbeda dengan kegiatan saya di kumparanNEWS. Jujur, terkadang, saya masih merasa homesick—rindu dengan ritme kerja yang cepat dan penuh tekanan di News. Namun, kerinduan tersebut saya atasi dengan mengingatkan diri sendiri: waktu luang saya di Woman adalah rezeki, don’t take it for granted.
ADVERTISEMENT
Jika saya tidak bekerja sebagai wartawan di kumparan, mungkin kesempatan-kesempatan liputan di atas—dari yang mengerikan hingga yang membahagiakan—tidak akan pernah saya rasakan.

Para orang baik

Kelas Reporter kumparan, Oktober 2021. Foto: kumparan
Saya mungkin tidak akan bisa bertahan sejauh ini di kumparan jika saya tidak dikelilingi orang-orang baik. Sebagai seorang wartawan angkatan pandemi, saya menghabiskan sebagian besar waktu saya online—di 10 bulan pertama, saya tidak punya teman dekat di kantor.
Orang-orang yang menjadi teman saya hanya para redaktur dan rekan wartawan yang kebetulan piket malam bersama saya. Jangan salah, bagi saya, mereka pun merupakan orang-orang baik yang banyak membantu saya selama ini. Hingga sekarang, saya terus haus akan ilmu dan belajar banyak dari para redaktur dan wartawan yang lebih senior.
Thahira, Aliyya, Kak Dila, Thomas, saya, Retyan, dan Kak Ajeng. Foto: Dok. Ist
Kemudian, begitu para wartawan pandemi ini bertemu untuk pertama kalinya di Kelas Reporter pada Oktober 2021, rasanya semuanya berubah. Disatukan karena nasib, akhirnya kami menjadi teman dekat yang menjadi tempat bercanda, curhat, hingga berkeluh kesah. Ditambah dengan bertemu dengan satu sahabat baru di kantor, yang disatukan akibat kecintaan kami dengan grup musik Korea Selatan, BTS.
ADVERTISEMENT
Bisakah saya menyebut kumparan sebagai melting pot? Mungkin tidak seberagam ibu kota atau bahkan Amerika Serikat—the real melting pot, tetapi orang-orang baik dari berbagai latar belakang yang saya temui di kumparan rasanya bergabung menjadi satu. Akhirnya, melting pot ini menjadi salah satu faktor yang mendorong saya untuk terus bertahan di sini.

Tantangan baru

ADVERTISEMENT
Namanya juga hidup, pasti tidak mungkin berlalu tanpa tantangan. Belum selesai rentetan pekerjaan sehari-hari saya, tiba-tiba, saya mendapat kabar bahwa saya harus menjalani uji kompetensi wartawan (UKW) pada Sabtu dan Minggu (25–26 Juni 2022). Dua hari itu adalah waktu libur akhir pekan saya, jadi otomatis, pekan ini, saya bekerja 7 hari nonstop (ditambah dengan jadwal kerja pekan depan, berarti total bekerja jadi 13 hari nonstop).
Suasana seru usai Uji Kompetensi Wartawan di taman komunitas kumparan. Foto: Dok. Ist.
Ingin mengomel? Tentu, saya juga manusia. Namun, mengomel dan ndumel terus menerus tidak akan menyelesaikan masalah saya. Jadi, ketika omelan saya sudah tuntas, saya memanfaatkan kesempatan di sela-sela waktu luang.
ADVERTISEMENT
Sebagai seseorang yang learning by doing selama 1,5 tahun terakhir, UKW menjadi kesempatan saya untuk berkaca: Apa saja yang sudah saya dapatkan di sini selama ini, apakah ada yang nyangkut di otak?
Saya menyempatkan diri untuk membaca apa yang harus saja baca, mempelajari apa yang harus saya pelajari, bertanya-tanya tips dan trik pada teman-teman wartawan yang sudah lebih senior, dan yang terakhir, berdoa supaya nanti, saat UKW, setidaknya saya tidak malu-maluin.
Dan beruntung, saya ternyata tidak semalu-maluin itu. Setelah menjalani dua hari ujian di akhir pekan, lengkap dengan 10 mata uji dan penguji yang sangat penyabar—Bu Aprida Sihombing, saya padamu—saya pun dinyatakan lulus uji kompetensi wartawan dan menjadi wartawan muda yang akan terdaftar di Dewan Pers.
Dari kiri: Mas Katon, Thomas, Aliyya, Bu Aprida, Retyan, saya, dan Thahira. Foto: Dok. Ist.
Selain 10 mata uji yang menantang dan sangat mengasah skill, rasanya kurang jika hal ini tidak saya sebut. Di hari pertama, kami para peserta menerima dua kuliah dari dua ahli yang sangat berpengalaman: Pak Jamalul Insan selaku Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan, dan Pengembangan Profesi Pers Dewan Pers 2019-2022 serta Dr. Artini, dosen senior di LSPR dan Pokja Pendidikan Dewan Pers.
ADVERTISEMENT
Materi dari mereka adalah mengenai Kode Etik Jurnalistik—yang ternyata cukup banyak yang saya lewatkan selama ini, serta Jurnalisme Anak—bidang yang baru saya temui dan seketika menarik minat saya. Dua materi itu sangat membuka mata dan pikiran saya; dan yang pasti, memotivasi saya untuk bekerja sebagai seorang wartawan dengan lebih baik lagi.
Yah, begitulah cerita saya, si tukang menulis di kumparan selama 1,5 tahun terakhir ini. Apakah kita akan bertemu lagi dengan kisah saya otw wartawan madya? Kita lihat nanti.