Hidup Bersama Burnout: Lelah, Letih, Lesu, Lunglai, On Repeat

Judith Aura Tiara
Diari virtual plus lapak penulisan kreatif Judith, alumnus Sastra Inggris Universitas Padjadjaran dan reporter di kumparanWOMAN.
Konten dari Pengguna
10 September 2021 12:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Judith Aura Tiara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi burnout. Foto: Dok. Yuris Alhumaydy/Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi burnout. Foto: Dok. Yuris Alhumaydy/Unsplash
ADVERTISEMENT
Tak seperti aku sebelum-sebelumnya, kini, aku bangun tidur di pagi hari tanpa tenaga. Seperti ponsel yang tercolok kabel charging semalaman suntuk, tetapi dayanya tak bertambah satu persen pun.
ADVERTISEMENT
Padahal, aku sudah tidur 7-8 jam per harinya. Makan-minum pun terjaga. Vitamin selalu lengkap. Buah-buahan dan sayur-mayur selalu hadir dalam menu harianku. Kurang sehat apa?
Tetapi, badanku ini rasanya benar-benar kehilangan energinya. Layaknya sebuah bintang yang mendekati kematiannya, tak mampu lagi membakar hidrogen di intinya, lama kelamaan, dia mati—entah menyusut menjadi bintang kerdil atau meledak sebagai sebuah supernova.
Aku bangun di pagi hari ditemani sesak napas tak berkesudahan. Duduk pun dunia seperti berputar-putar, berjalan naik-turun tangga pun harus berhenti sejenak untuk menarik napas. Tangan dan kaki terus terasa dingin, tisu menjadi teman baikku karena keduanya tak henti basah kuyup berkeringat.
Itu semua baru permulaan.
Memasuki bulan baru, aku merasa tubuhku—dan otakku—semakin ganjil. Tubuhku, yang biasa kuat sekali digempur overwork dan kerja nonstop, kini langsung gemetar jika dipakai bekerja sekitar 2 jam lamanya.
ADVERTISEMENT
Selama satu bulan penuh, aku sakit-sakitan hingga harus menemui dokter dan mengunjungi laboratorium. Imbasnya: Sekarang aku semakin pelupa, tidak kreatif, kelelahan, dan hampir linglung setiap saat.
Otakku, salah satu organ yang amat sangat kubanggakan, beku layaknya daging yang ditinggalkan di lemari pendingin selama berminggu-minggu. Ia tak mampu memikirkan satu kata pun. Menulis menjadi hal tersulit yang pernah kulakukan di hidupku. Belum lagi bila harus menerjemahkan.
Aku kini harus berhenti bekerja setiap satu dua jam sekali untuk bernapas, atau setidaknya, mengunyah sesuatu. Jika tidak, god knows what will happen to this frail, fragile body. Menguyah es batu menjadi “doping” untuk otakku karena jika aku tak mendapatkan asupan es batu, fokusku akan memencar ke mana-mana.
ADVERTISEMENT
Rasa cemasku akan berbagai hal semakin memuncak. Bahkan, terkadang, kecemasan itu datang tanpa tedeng aling-aling. Aku, yang tadinya sedang cengengesan, bisa tiba-tiba cemas tak beralasan dan menangis tanpa sebab.
Tak hanya sampai situ, psikisku semakin aneh. Aku mulai membenci apa pun yang kulakukan. Aku, yang biasanya sangat mencintai pekerjaan menulisku, hobi menyanyiku, makeup dan mix-and-match baju-bajuku, kini aku hindari.
Aku enggan menulis. Aku tak mau bernyanyi lagi. Aku tak ingin menyentuh peralatan dandanku lagi. Aku membenci semuanya.
Dan, yang paling buruk di antara semuanya: Aku, seorang pemimpi yang punya cita-cita megah di masa depan, mulai kehilangan tujuan dan semangat hidup. Aku, yang selalu bercita-cita untuk lanjut berkuliah dan pindah ke luar negeri, bahkan tidak ingin lagi memperjuangkan itu semua.
Ilustrasi burnout. Sumber foto: Abbie Bernet/Unsplash.
Aku memang selalu mempertanyakan tujuan hidupku. Tetapi, kali ini, yang kutanyakan bukanlah tujuan hidup.
ADVERTISEMENT
Pertanyaanku sekarang, “Untuk apa gunanya hidup?”
Mungkin, kalian yang berusia lebih tua dibanding diriku akan meremehkan struggles yang aku rasakan saat ini.
Mungkin, kalian akan berpikir, “Kamu masih muda. Baru muda saja sudah frustrasi seperti itu.” “Kamu masih muda. Baru umur segitu saja sudah capek hidup.” “Kamu masih muda. Tahu apa soal hidup. Hidupku yang lebih berat saja bisa kujalani.” “Kamu cuma kurang bersyukur. Kamu enggak merasa cukup.”
Ah, aku sudah biasa sekali mendengar itu semua…
Aku berulang kali menolak untuk mencari bantuan profesional. Aku selalu punya alasan untuk menghindarinya. Aku akan selalu berkata, “Ini hanya sementara. Aku hanya stres berat. Aku hanya butuh makan enak, tidur enak, banyak uang.”
ADVERTISEMENT
Tetapi, setelah dipikir-pikir lagi, aku sudah menjalani semuanya. Aku makan enak. Aku tidur cukup. Aku punya cukup tabungan untuk makan, minum, serta rekreasi.
Aku bersyukur dengan apa yang kumiliki sejauh ini. Aku punya orang-orang yang kusayangi di sekelilingku, aku punya rumah yang menaungiku, aku punya pekerjaan yang menyenangkan.
Lantas, mengapa aku masih seperti ini?
Sebenarnya, aku kerap kali mengalami kesulitan seperti ini sejak aku masih duduk di bangku sekolah menengah. Aku rentan sekali stres, cemas, dan panik. Overthinking adalah teman baikku. Jadi, sebenarnya, hal seperti ini tidak terlalu asing buatku.
Namun, kali ini aku mengakui, aku benar-benar tersiksa.
Dari yang awalnya hanya kehilangan energi, sakit-sakitan, hingga akhirnya kehilangan harapan. Darkness looms over me, and I haven’t seen any way out yet.
ADVERTISEMENT
Aku mencoba mencari tahu apa yang terjadi dengan diriku. Satu hal yang kutemui sangat sesuai dengan kondisiku saat ini adalah burnout. Burnout disebabkan oleh stres berat yang berujung pada berbagai masalah fisik dan mental.
Menurut HelpGuide, burnout adalah kondisi kelelahan emosional, fisik, serta mental yang disebabkan oleh stres berlebihan dan berkepanjangan. Semakin stresnya berlanjut, seseorang akan mulai kehilangan ketertarikan dan motivasi mereka.
Ilustrasi kelelahan. Sumber foto: Kinga Cichewicz/Unsplash
Burnout mengurangi produktivitas dan “menghisap” energi, membuat seseorang merasa sangat tak berdaya, tanpa harapan, dan penuh kebencian. Akhirnya, burnout akan membuat seseorang merasa tak memiliki apa pun lagi yang bisa mereka berikan.
Aku sudah menemukan masalahnya apa. Sepertinya, aku burnout. Dan tugasku sekarang dalah mencari solusinya.
Sejumlah sumber mengatakan, cara mengatasinya adalah dengan berlibur dan memanjakan diri. And that’s exactly what I’m going to do, dan tentunya, dengan serangkaian protokol kesehatan dan menjauhi diri dari kerumunan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, terbesit di benakku lagi: Apakah aku benar-benar membutuhkan pertolongan profesional? Apakah ada sesuatu yang salah dengan diriku? Atau aku hanya kecapekan dan stres berat saja? Apakah berlibur benar-benar bisa membantu? Aku harus apa?
Itulah yang menguasai otakku selama 24 jam, 7 hari berturut-turut, nonstop. Di mana tempat untukku memikirkan soal pekerjaan? Soal hobi? Soal orang-orang tersayang?
Bisa menulis seperti ini saja sudah menjadi sebuah mukjizat buatku. Otakku terkadang masih ingin bekerja sama denganku, dan aku sangat mengapresiasi itu. Mungkin karena sudah di-doping oleh es batu.
Tujuan dari tulisan ini apa? Tak tahu, aku pun bingung. Mungkin ini satu-satunya jalan untukku berteriak meminta pertolongan, tak tahu ke siapa.
Atau mungkin aku hanya iseng? Mungkin aku hanya butuh mengeluarkan unek-unek? Aku tak tahu. Yang pasti, aku hanya ingin menulis lagi. Aku hanya membiarkan jemariku menari di atas keyboard, mengikuti seluruh narasi yang terlintas di otakku.
ADVERTISEMENT
Aku ingin mengembalikan gairahku dalam menulis, karena aku tak ingin kehilangan kecintaanku pada hobi dan pekerjaanku.
Sudah cukup tubuh dan pikiranku yang kacau, pekerjaanku jangan.
Mungkin kali ini, aku akan benar-benar mendatangi bantuan profesional terdekat, jika berlibur tak mampu menyelesaikan masalah berkepanjanganku ini.
Sampai bertemu lagi, hopefully, dengan aku yang sudah pulih dari burnout-ku ini. Ingat, selalu jaga kesehatan psikis dan fisik, ya.