Hidup Itu Jogging Track, Bukan Treadmill

Judith Aura Tiara
Diari virtual plus lapak penulisan kreatif Judith, alumnus Sastra Inggris Universitas Padjadjaran dan reporter di kumparanWOMAN.
Konten dari Pengguna
4 Maret 2021 17:08 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Judith Aura Tiara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Lari terus. Foto: Fil Mazzarino/Unsplash.
zoom-in-whitePerbesar
Lari terus. Foto: Fil Mazzarino/Unsplash.
ADVERTISEMENT
Hidup itu jogging track, bukan treadmill. Enggak statis dan di situ-situ aja.
ADVERTISEMENT
Eh, kayak terdengar sok banget ya. Hidup padahal baru 22 tahun di dunia ini. Pengalaman juga enggak banyak-banyak amat. Pengalaman hidup kayaknya hanya bangun tidur, makan, sekolah 12 tahun, kuliah 3,5 tahun, kerja, mandi, tidur. Enggak mengesankan, memang.
Tapi justru dari kurangnya pengalaman, atau istilahnya gaulnya, ‘kurang main’-nya aku ini, aku bisa sharing beberapa hal. Supaya apa? Supaya jangan kayak aku. Memangnya aku kenapa?

Gravitasi

Menurutku, salah satu gaya gravitasi yang paling kuat itu bukan hanya Bumi, matahari, atau bahkan gaya gravitasi lubang hitam Sagitarius A* di pusat Galaksi Bima Sakti.
Tapi juga zona nyaman.
Pasti semua orang punya zona nyamannya masing-masing. Zona nyaman aku dengan kamu berbeda, dengan Ibuku berbeda, dengan sahabatku berbeda, dengan Mas Pacarku juga berbeda. Kadang, yang buat aku adalah sebuah zona nyaman, ternyata bukan zona nyamannya mereka. Begitu pun sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Mas Pacarku ini aktif sekali berorganisasi semasa kuliah. Sahabat-sahabatku juga hobi banget ikut kepanitiaan, bahkan sampai jadi ketua pelaksana. Abangku jadi ketua departemen di HIMA-nya saat kuliah. Mereka nyaman-nyaman saja dengan semua itu. Bersosialisasi dengan banyak orang itu masih masuk zona nyaman mereka.
Tapi enggak buatku.
Buatku, bersosialisasi itu mengerikan. Apalagi dengan banyak orang sekaligus. Melelahkan. Ngobrol dengan orang berjam-jam itu menguras energi. Apalagi kalau harus bersama orang lain terus-terusan selama berbelas-belas jam. Membayangkannya saja aku sudah ngeri. Capek duluan. Kenapa? Karena itu semua sudah jauuuuh di luar zona nyamanku.
Anggaplah Bumi itu zona nyamanku: sendirian menikmati waktu sambil mendengarkan musik dan belajar bahasa; membaca buku-buku; menulis cerita, puisi, prosa, sampai lirik lagu; bernyanyi sambil menggenjreng gitar. Itu indah banget. Kayak lagi hujan deras terus dipeluk oleh selimut tebal. Nyaman.
ADVERTISEMENT
Kemudian: bersosialisasi, berkumpul dengan banyak orang, mengobrol dengan orang enggak dikenal—nah, mereka itu tata surya. Mereka itu bisa Venus, Mars, bahkan sampai ke Sabuk Kuiper—sejauh itu dan seluas itu di luar Bumi si zona nyamanku.
Bayangkan betapa banyak energi dan 'peralatan perang' yang aku harus siapkan untuk menghadapi itu semua. Salah langkah sedikit, sudah deh, ambyar. Panik sendiri, lalu, ujung-ujungnya malah menangis dan kembali meringkuk dalam zona nyaman.
Aku pernah memaksakan diri untuk berjalan keluar zona nyaman dengan menjadi ketua di komunitas tari Saman saat kuliah. Itu, capeknya... benar-benar enggak bisa dijelaskan. Kurang persiapan mental dan kurang motivasi, jadinya, setiap ada pertemuan mingguan, aku selalu lemas dan ujung-ujungnya malah sakit.
ADVERTISEMENT
Enggak enak, kan? Enggak enak kalau kesulitan seperti itu.
Enggak enak kalau selalu ketakutan seperti itu. Rasanya dunia makin sempit, karena di saat sudah tahu kalau ada wilayah di luar sana yang jauh lebih luas, aku malah memilih untuk diam di satu tempat saja.
Gaya gravitasi. Foto: Muzammil Soorma/Unsplash.

Zona Nyaman dan Gaya Gravitasinya

Zona nyaman memang sekuat itu tarikannya. Ingat, enggak salah, kok, punya zona nyaman. Justru bagus, jadi punya suatu tempat seperti pulau kecil pribadi, tempat untuk bersandar dan menyendiri saat lelah.
Yang justru enggak bagus adalah di saat membiarkan diri terus-terusan meringkuk dan terperosok di dalamnya. Enggak mau keluar, enggak mau eksplorasi zona luar. Di saat keadaan mengharuskan diri untuk keluar dan beradaptasi, ujung-ujungnya malah frustrasi sendiri karena enggak terbiasa.
ADVERTISEMENT
Aku seperti itu. Bahkan sampai lulus kuliah dan mulai cari kerja pun, aku seperti itu. Pernah baru satu bulan lulus, dapat tawaran kerja, tapi setelah minta deskripsi pekerjaannya, aku kaget dan langsung menolak. Kenapa? Alasanku, “Ah, enggak ngerti. Harus ketemu banyak orang juga. Aku juga enggak pinter hitung-hitungan. Komunikasi sama orang banyak gimana?”
Akhirnya kutolak, dan dimulailah bulan-bulan ditemani dompet kosong sebagai seorang pengangguran. Hampir satu tahun aku menganggur hanya karena ketakutan dengan dunia kerja yang mengharuskan diri berkomunikasi. Hampir satu tahun menganggur hanya karena aku kekeuh ingin kerja sebagai penerjemah, yang notabene bekerja sendiri dan enggak terlalu banyak diskusi selain dengan klien.
Tersiksa? Tentu.

Lari, bahkan Lompat ke Luar

Rasa iri melihat teman-teman mulai punya pekerjaan bagus membuatku sebal, karena ingin bisa seperti mereka juga. Ingin punya pekerjaan, ingin punya banyak uang untuk beli merchandise BTS, ingin bisa membahagiakan orang tua—pokoknya, banyak inginnya.
ADVERTISEMENT
Berhari-hari, berminggu-minggu, sampai berbulan-bulan aku merenung, "Masa' mau terus-terusan begini, takut sama orang? Takut mencoba hal baru? Kapan majunya?"
Aku lama-lama mulai berani mengintip ke luar. Dimulai dengan belajar berkomunikasi dengan orang yang enggak dikenal lewat akun alter di Twitter, lalu perlahan-lahan memberanikan diri untuk mengutarakan ide dan pendapat, sampai akhirnya aku berani melamar pekerjaan yang memang mengharuskan banyak komunikasi. Semuanya aku lakukan perlahan dan enggak tiba-tiba lompat, supaya aku dan mentalku enggak kaget.
Aku mulai percaya diri dengan kemampuanku, mulai 'menjual diri' lewat skill komunikasi yang sebetulnya enggak payah-payah banget, sampai akhirnya aku berhasil score pekerjaan pertamaku di sini, di kumparan, sebagai seorang freelance.
Deg-degan? Pasti. Harus berkenalan dengan banyak orang baru, pertama kalinya kerja di bawah pengawasan atasan, harus mulai berani untuk bertanya saat kebingungan. Susah? Iya, awalnya. Tapi, karena aku selalu mencoba untuk keluar dari si zona nyaman ini, lama kelamaan, aku mulai bisa berdiri sendiri. Bahkan, sampai belari ringan, seperti sedang jogging.
ADVERTISEMENT
Hingga akhirnya aku bisa keluar dari zona nyaman ini pun, aku punya dorongan yang kuat. Kunci untuk sukses keluar dari si Bumi kecilku ini (ala aku) adalah dengan punya motivasi yang kuat. Apa pun bisa jadi motivasi, asal positif dan tidak merugikan orang lain, ya. Motivasiku apa? Sudah disebutkan di atas tadi. Faktor mengiri bahkan ternyata bisa membantuku berkembang juga.
Aku masih jauuuuh sekali dari frasa 'berkembang pesat'. Kalau dalam skala 1-100, aku masih di angka 3o. Perjalanan sampai 100—sampai aku bisa sepenuhnya lepas dari zona nyaman—itu masih lama. Aku pelan-pelan, tapi pasti. Yang penting ada progress, itu yang selalu kukatakan ke diriku sendiri setiap harinya.
Pokoknya, jangan hanya lari di treadmill saja—statis, di situ-situ saja, capek iya, maju enggak. Lari ke luar seperti sedang lari di jogging track, sampai akhirnya nanti bisa lari maraton. Lawan saja gaya gravitasi seakan-akan kamu superhero yang bisa melawan hukum alam. To infinity and beyond, sampai ke Sabuk Kuiper alias pojok luar Tata Surya!
ADVERTISEMENT
Perjalanan kita akan susah banget. Jadi, ayo lari bareng-bareng, kamu enggak sendiri, aku pun enggak. Ayo berkembang bersama.