Jangan (Nekat) Mudik, Please

Judith Aura Tiara
Diari virtual plus lapak penulisan kreatif Judith, alumnus Sastra Inggris Universitas Padjadjaran dan reporter di kumparanWOMAN.
Konten dari Pengguna
6 Mei 2021 20:46 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Judith Aura Tiara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mudik. Foto: Dok. Commons Wikimedia
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mudik. Foto: Dok. Commons Wikimedia
ADVERTISEMENT
Sebenarnya takut banget untuk menyuarakan opini sendiri seperti ini. Apalagi, isu larangan mudik dan COVID-19 ini mudah banget bikin banyak orang triggered. Imagining the backlash is scary enough, but for the sake of letting out my guts, aku lanjut tulisan ini.
ADVERTISEMENT
Iya, inti tulisan ini bisa dengan mudah terbaca di judul: Jangan mudik. Mau serindu apapun dengan keluarga dan kampung halaman, sekangen apapun dengan suasana pagi hari di desa yang dingin dan tentram, jangan mudik.
Memang kenapa, sih, jangan mudik? Memang kamu siapa? Memangnya kerinduan ke orang tua bisa terbayar total dengan video call? Tahu apa, sih, kamu?
Jangan lupakan satu hal yang sampai saat ini masih membuat kita harus kerja di rumah; selalu bawa hand sanitizer; pakai masker sampai keringatan dan berjerawat; bikin mobilitas kita terhambat; dan yang bikin masyarakat enggak bisa mudik.
Ya, 100 buat kita! COVID-19.
Dia masih ada, jangan lupa. Penyakit ini bukan bentuk konspirasi, ya, bukan bohongan, bukan strategi politik atau apalah kata orang-orang itu.
ADVERTISEMENT
Penyakit ini ada, parah, dan bahkan sudah merenggut nyawa salah satu orang terkasihnya sahabatku. Sudah menjangkiti sahabat dan juga sepupu-sepupuku.
Kamu enggak pernah tertular COVID-19? Selamat, kamu beruntung! Atau, sebenarnya kamu pernah tertular tapi enggak bergejala, eh tanpa sadar menulari orang-orang di sekitar kamu?
Sekarang Indonesia kedatangan tamu-tamu baru! Kenalkan, mereka adalah varian baru virus corona bernama B.117 alias Varian Inggris, B.1617 alias Varian India, dan B.1351 alias Varian Afrika Selatan. Sayangnya, tamu-tamu ini bukan tamu baik.
Mereka, kalau kita manjakan lewat interaksi sosial tak berjarak tak berbatas, bisa keenakan. Nanti mereka terlalu nyaman dan enggak mau pergi, gimana?
Sudah jelas virus-virus ini punya karakteristik mereka masing-masing yang bikin mereka semakin berbahaya. Dari kecepatan mereka dalam penyebaran (hence the term ‘superspreader’), hingga kemampuan meningkatkan gejala penyakit secara cepat; dari yang tadinya ringan, tiba-tiba bisa sampai masuk ICU.
ADVERTISEMENT
Aku enggak akan bilang “terserah kamu mau percaya atau enggak”, karena memang harus mau percaya dan harus mau tahu bahwa penyakit ini memang ada. Harus mau belajar dan harus mau diajar.
Jangan sampai ada orang terdekat yang terinfeksi dulu baru mau percaya. Buktinya sudah banyak, kok. Dan, jangan termakan hoaks juga, kayak klaim COVID-19 itu disebabkan oleh bakteri yang terpapar sinar 5G. Come on, you’re smarter than that.
Penjelasan "singkat" soal Corona yang memang betulan ada itu tentu saja berhubungan erat dengan kenapa, menurutku, kita enggak usah mudik—lagi—tahun ini.
Alasan pemerintah melarang mudik ini jelas kok: Mengendalikan laju penyebaran virus terkutuk—yang mestinya jadi alasan logis sekalipun bagi kaum oposisi. Mobilitas yang tinggi oleh JUTAAN orang ke berbagai daerah itu sangat, sangat, sangat berpotensi menularkan corona.
ADVERTISEMENT
Coba skenario ini: Kamu, saat dites PCR, GeNose, atau rapid antigen, hasilnya negatif. Selamat!
Eh, tahunya, pas kamu di terminal, bandara, atau stasiun, kamu enggak sengaja terpapar virus corona dari orang lain yang enggak kamu kenal. Tapi kamu enggak sadar kamu kena.
Atau, kamu nekat berangkat lewat jalur tikus tanpa tes apa pun dulu, dan tanpa menyadari bahwa kamu bisa saja adalah OTG atau Orang Tanpa Gejala, atau kamu terpapar pada saat perjalanan.
Lalu sesampainya di kampung halaman, kamu kontak fisik dengan keluarga dan mereka tertular dari virus yang kamu bawa-bawa.
Syukur-syukur yang ditularkan tak bergejala, tapi kalau kamu menularkan ke orang di kelompok rentan, contohnya orang tua atau kakek-nenek kamu, gimana?
ADVERTISEMENT
Lalu, kalau fasilitas kesehatan di daerah kampung halaman belum memadai, gimana? :(
Terus, kalau kamu bawa virus corona varian baru, let’s say, varian Afsel, gimana? Menurut Kemenkes, Varian Afsel itu diketahui bisa menurunkan efikasi (efektivitas) vaksin di negara asalnya.
Kebayang enggak, kalau virus itu meledak penyebarannya di Indonesia? Nasib jutaan orang yang terpapar dan belum divaksinasi bagaimana, kalau efikasi vaksin saja menurun?
Wujud si SARS-CoV-2, virus jahat penyebab COVID-19. Foto: Dok. Flickr
Ingat, kelompok rentan itu sangat, sangat, sangat berisiko saat terpapar COVID-19. Ditambah, usia lanjut yang juga punya komorbid. Kondisi akut dari mulai sesak napas hingga penggumpalan darah, sampai akhirnya harus stay di ICU yang God knows betapa mengerikannya ruangan itu.
Trust me, I’ve been in there. ICU benar-benar bikin trauma.
ADVERTISEMENT
Lalu, protokol kesehatan enggak menjamin kamu 100% terlindungi dari corona. Seperti cerita Pak Doni Monardo, Ketua Satgas COVID-19, yang terpapar corona saat mengontrol situasi gempa Sulawesi Barat awal tahun ini.
Padahal, beliau sangat disiplin dengan protokol kesehatan. Tetapi si virus jahat ini tetap saja punya celah untuk menjangkiti orang-orang, bahkan yang paling "terlindungi" sekalipun.
Terus, yang menjamin keamanan apa, dong? Tentunya dengan meminimalisir kontak fisik sesedikit mungkin. Ya itu, dengan mengurangi mobilitas dan tidak mudik.
Aku akui, aku juga pernah nakal. Memaksa jalan-jalan ke luar kota saat libur panjang, karena suntuk berbulan-bulan kerja tanpa vacation. Tetapi begitu pulang ke rumah rasanya bersalah sekali. Apalagi saat ingat di rumahku ada ibuku yang berusia di atas 47 tahun dan kakekku yang berusia 80 tahun.
ADVERTISEMENT
Bagaimana kalau mereka tertular karena aku nakal? Terbayang rasa bersalahnya seperti apa.
Terkesan telat, ya, bikin tulisan seperti ini saat larangan mudik sudah berlaku. Tapi, jangan salah, masih banyak orang di luar sana yang memaksa tetap mudik tanpa peduli betapa bahayanya tindakan mereka itu.
COVID-19 itu penyebarannya enggak bisa diprediksi. Ingat, kasus virus ini tadinya cuma ada dua di Indonesia pada Maret 2020. Eh, setahun kemudian, total kasus kita malah sampai 1 juta lebih. 1 juta infeksi dan ribuan kematian dalam waktu 365 hari, apa enggak serem?
Jadi, mudiknya ditahan dulu. Jangan sampai kayak India, ya. India pernah sempat turun kasusnya, jumlah kasus aktifnya di bawah Indonesia, malah. Tapi karena mereka meleng, eh, tiba-tiba total kasusnya sudah 21 juta dengan kasus harian sampai 400 ribu.
ADVERTISEMENT
Jangan sampai kita seperti itu, ya, jaga diri kamu sendiri dan keluarga kamu. Katanya sayang?
Lebih mending mana, dua tahun enggak ketemu orang tua dan keluarga, atau enggak bisa ketemu lagi selamanya?