news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Nara dan Jalannya yang (Tak Lagi) Berbatu

Judith Aura Tiara
Diari virtual plus lapak penulisan kreatif Judith, alumnus Sastra Inggris Universitas Padjadjaran dan reporter di kumparanWOMAN.
Konten dari Pengguna
8 Januari 2022 11:11 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Judith Aura Tiara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tenggelam dalam pikiran negatif, tanpa ada jalan keluar, tanpa ada bantuan. Foto: Nikko Macaspac/Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Tenggelam dalam pikiran negatif, tanpa ada jalan keluar, tanpa ada bantuan. Foto: Nikko Macaspac/Unsplash
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ini menjadi kali pertama saya mendengarkan kisah hidup dia. Dia, sahabat saya selama delapan tahun terakhir. Dia, orang yang selalu mendengarkan keluh kesah saya. Dia, yang ternyata jalan hidupnya berbatu dan penuh guncangan.
Atas permintaannya, dia akan kupanggil dengan nama “Nara.”
Saya dan Nara pertama kali bertemu ketika masih berseragam putih abu-abu. Dia yang pendiam, bertemu dengan saya yang kebawelannya setara burung kakatua. But somehow, we clicked.
Saya, yang dari dulu memang senang bicara dengan orang terdekat, ternyata tak pernah menyadari betapa heningnya Nara. Nara tahu segala tentang saya, tetapi saya tak tahu dia.
Tak tahu apa yang dialaminya, tak tahu perjuangannya. Semua dipendam olehnya bertahun-tahun.
Ketika saya dihadiahi tugas—sekaligus tantangan—menulis sebuah feature, saya sempat bingung. Tetapi, tanpa tedeng aling-aling, terbesit di benak saya: Ucapan tak mengenakkan dari salah satu rekan kerja.
Ilustrasi gangguan kesehatan mental. Foto: Kristina Tripkovic/Unsplash
Beberapa hari sebelumnya, si rekan mengatakan kepada saya lewat pesan pribdai di Instagram. Kira-kira, isinya begini: “Lagi viral ya ini istilah mental. Mental everywhere.
ADVERTISEMENT
Saat itu, saya mengatakan sesuatu soal saya membutuhkan istirahat, supaya kondisi mental saya tidak memburuk.
Saya ingat betapa tersinggungnya saya mendengar itu. Kesehatan mental itu bukan tren. Kejiwaan manusia adalah hal yang valid, harus dirawat, dan dijunjung tinggi.
Itulah mengapa, saya rasa, semua orang perlu tahu bahwa masalah mental itu bukan hanya sesuatu yang ‘lagi viral.’
Sontak, saya teringat Nara. Sekitar pertengahan tahun lalu, Nara pernah menyinggung soal dirinya menemui seorang psikiater.
Tetapi saat itu, tidak ada perbincangan lebih lanjut soal ini. Dia tak pernah bercerita lebih jauh; saya terlalu asyik dalam dunia pekerjaan.
Singkat cerita, saya memutuskan untuk menghubungi Nara. Saya ingin tahu bagaimana kabar dia dan perjalanan dia—dari awal pertama memahami kondisi mentalnya hingga akhirnya dia memutuskan untuk mencari pertolongan.
Ilustrasi gangguan kesehatan jiwa. Foto: Paula Chaaya/Unsplash
Mengapa?
ADVERTISEMENT
Menyadari bahwa diri sedang tidak baik-baik saja dan sebenarnya butuh pertolongan, bukanlah hal yang mudah. Banyak proses yang dilewati—proses yang menyakitkan, melawan omongan dan terkadang hujatan dalam pikiran sendiri. One could barely make it out alive, sometimes.
Saya terkejut ketika Nara setuju untuk bercerita kepada saya. Setelah menjelaskan maksud dan tujuan serta memaparkan apa yang ingin saya tunjukkan dari tulisan ini, kami pun sepakat menentukan tanggal dan jam untuk video call.

Nara, Masa Kecil, dan Trauma

Mengutip Cleveland Clinic, gangguan psikis dapat dipicu oleh trauma masa kecil. Psikolog Kate Eshleman mengatakan, pandangan anak-anak terhadap dunia berbeda dengan orang dewasa. Mereka bisa mengalami tekanan bahkan dari hal-hal yang, bagi orang dewasa, tidak "mengerikan."
ADVERTISEMENT
Berangkat dari pengetahuan tersebut, saya memberanikan diri untuk bertanya soal masa kecil Nara—sembari mencoba menghilangkan rasa canggung.
Tak disangka, Nara membeberkan semuanya kepada saya. Dia memang memiliki masa kecil yang berat. Banyak hal yang membuat dirinya ketakutan. Tekanan yang ia rasakan semasa kecil tidak main-main.
Ilustrasi trauma pada anak. Foto: Teo Zac/Unsplash
Nara adalah anak kecil yang pemalu. Namun baginya, sifat pemalunya saat itu terlalu ekstrem untuk anak usia Sekolah Dasar.
“Pas sudah gede, dipikir lagi, trauma, kecemasan, minder rasanya sudah enggak wajar pada umur segitu. Sangat amat tertutup ke keluarga pun. Tertutupnya kayak kalau ada tugas, PR (pekerjaan rumah), enggak bilang,” ungkap Nara.
Bahkan, untuk ke toilet saat di tempat publik pun, Nara kecil tidak berani. Terlalu malu, terlalu gugup. Ia tidak berani meminta pertolongan karena terlalu merasa takut akan merepotkan.
ADVERTISEMENT
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Nara kecil ternyata menjadi korban perundungan (bullying) di sekolah. Mulai dari ejek-ejekan nama orang tua hingga body-shaming (mengejek fisik).
Nara kecil meluapkan rasa frustrasi dengan memukul-mukul kepalanya sendiri, di hadapan para pem-bully. Ekspresi tersebut, kata Nara, mungkin tampak aneh di hadapan teman-temannya. Jadi, bullying terhadap Nara kecil terus berlanjut.
Air muka Nara yang tegar membuat hati saya terenyuh. Anak kecil tak seharusnya menghadapi itu semua, pikir saya.
Saya menyetir topik ke arah lain. Saya pun bertanya, “Anak itu didikan pertama pasti datang dari orang tua. Menurut kamu, apakah ada hubungannya, sifat tertutup dan pemalu ini dengan perlakuan dari keduanya?”
Ilustrasi trauma pada anak. Foto: Kat J/Unsplash
Dengan mantap Nara mengangguk. Dia menceritakan soal Ibunya yang seorang penyandang disabilitas, serta bagaimana beratnya kehidupan sang Ibu saat masih kecil karena pernah mengidap polio.
ADVERTISEMENT
Nara berpikir, mungkin ini semua mengakibatkan kerasnya didikan sang Ibu terhadap dia.
“Jadi di sini [saya] mikir kayak, enggak mau nyalahin Nyokap. Dia mungkin enggak tahu gimana yang bener mendidik anak. Jadi, dalam setiap kontribusi Nyokap dalam mendidik, mungkin ada trauma-trauma dia pas kecil yang dialami, dia refleksikan lagi [ke saya],” papar dia.
Hampir setiap perasaan yang ditunjukkan Nara selalu ditepis sang Ibu. Ucapan “Begitu doang nangis, digituin doang nangis, cengeng! Sudah gede masih nangis,” menjadi santapan sehari-hari Nara, yang mau tak mau ditelannya hingga habis.
Dirundung teman karena mengekspresikan perasaannya; sifat pemalu dan tertutup; didikan keras dari orang tua. Ketiga hal itu mencetak karakter Nara menjadi seorang yang tertutup dan selalu menyembunyikan perasaannya.
ADVERTISEMENT
Tanpa sadar, Nara justru merundung dirinya sendiri.

Nara, Keberanian, dan Psikiater

Berbekal trauma masa kecil dan tajamnya ucapan sang Ibunda, Nara menjalani kehidupan remajanya dengan rasa cemas, overthinking, dan sifat tertutup.
Apa pun dia lakukan untuk menghindari satu mimpi buruk terbesarnya: Masa Orientasi Sekolah (MOS).
Ilustrasi gangguan kesehatan mental. Foto: Paul Garaizar/Unsplash
“Gue ingat banget pas awal masuk SMA, gue enggak masuk pas MOS karena gue takut dari pengalaman SMP, takut enggak ada temen, takut kehidupan SMA gimana. Akhirnya alasan ke Nyokap, ngerasa sakit fisik, muntah-muntah, makan enggak enak. Kepikiran terus sampai akhirnya ke RS. Ternyata, pas diperiksa USG, malah diagnosis batu ginjal,” papar dia.
Dia sempat mengalami perundungan saat di bangku SMP. Saat itu, dia merasa “terlalu cari masalah.” Singkat cerita, dia mengalami pelabrakan oleh kakak kelasnya.
ADVERTISEMENT
Baru saja terlepas dari horor-horor di masa SD, Nara harus kembali mengalami tekanan yang sama di bangku SMP. Bagaikan bunga yang hendak mekar, ia justru kembali menguncup.
Saat SMA inilah, Nara mulai menyadari ada sesuatu yang salah dalam dirinya. Tetapi, kesadaran itu dihantam dan dikalahkan oleh pikirannya sendiri.
“Mungkin selama ini gue ada penolakan, kayak, ‘Ah, enggak apa-apa, ini wajar, namanya hidup, pasti naik turun.’ Padahal, [perasaan] itu enggak hilang, itu teralihkan saja sama kegiatan gue sehari-hari. Misal, gue berangkat sekolah, ketemu teman-teman. Sudah, lupa. Terus kemudian, pas ke rumah, gue ngerasa gitu lagi,” kata dia.
Pandemi COVID-19 merupakan salah satu contoh dari a blessing in disguise.
2020 menjadi tahun di mana Nara harus menghadapi seluruh rasa takut, cemas, dan frustrasinya sendirian. Tak bisa ke mana-mana, Nara pun terjebak, tanpa ada distraksi.
Ilustrasi mendapatkan bantuan. Foto: Youssef Naddam/Unsplash
Tersiksa, itu sudah pasti. Namun, “siksaan” itulah yang menyebabkan Nara tersadar bahwa dia tak bisa terus seperti ini. One way or another, Nara harus menantang seluruh perasaan negatifnya—termasuk rasa takut akan stigma orang lain soal pasien gangguan mental.
ADVERTISEMENT
“Setelah lulus [kuliah], gue enggak ada kegiatan apa-apa, gue di rumah aja. Perasaan itu muncul enggak henti-henti. Selama ini teralihkan karena kegiatan. Pas ada pandemi, gue di rumah aja, kegiatan terbatas, ya sudah, jadi lebih ngerasa efeknya.”
Dan akhirnya, Nara berhasil mengalahkan seluruh rasa takutnya. Nara, yang tengah berada di titik terendah, memutuskan untuk ke psikiater.
“Jadi alurnya pas gue sudah di titik terendah, [gue] ke psikiater. Dia ngomong, ‘Hidup kamu masih panjang. Dengan kamu datang dan sadar kamu enggak baik-baik saja, itu sudah sebuah langkah yang besar. Dengan kamu ada di ruangan ini saja, sudah menjadi kemajuan yang sangat besar,’” ungkap Nara.
Lagi-lagi, saya terdiam. Meskipun tangan saya tetap sibuk mengetik, hati saya terhenti sejenak. Kata-kata itu berhasil menguatkan Nara. Itu adalah cerminan bahwa kekuatan dari ucapan sangatlah luar biasa.
ADVERTISEMENT
Terdengar sederhana, memang. Tetapi, perkataan memang bisa menjadi tiang pancang yang menyangga, atau justru buldoser yang meluluhlantakkan.
Ilustrasi obat-obatan. Foto: Olga DeLawrence/Unsplash
“Jadi sejujurnya sampai sekarang, orang tua gue itu masih melontarkan kata-kata stigma karena gue ke dokter. Tapi, ya, gue masa bodo, lah. Gue punya masa depan, gue punya mimpi yang mau gue capai. Ada di tangan gue, gue enggak mau dengerin kata orang lagi.”
Nara pertama mendatangi psikiater pada April 2021. Sampai Oktober 2021, Nara sudah konsultasi sebanyak tiga kali. Saat itu, ia belum mendapatkan diagnosis dari psikiaternya. Diagnosis memang bisa memakan waktu dan tidak bisa disamaratakan dari pasien ke pasien. Ada yang cepat, ada yang lama sekali.
Meskipun Nara masih belum didiagnosis, sang dokter meresepkan dua obat untuknya: Anti-cemas dan anti-depresan.
ADVERTISEMENT
Dua obat tersebut seakan membangunkan Nara dari mimpi buruknya. Nara mulai bisa “berfungsi” normal: Berbicara di hadapan orang tanpa gemetar atau menggigil dan pola tidurnya menjadi lebih baik.
Betapa bangganya saya ketika mendengar progress yang telah ia capai. Saya berkali-kali mencoba menutupi luapan perasaan saya dengan tertawa, meskipun ujung-ujungnya, saya berkata: “Gue pengin nangis rasanya.”
Tidak, saya berhasil tidak menangis. Nara saja kuat, saya pun harus.

Nara dan Harapannya

Obrolan malam kami yang panjang ini mencapai ujungnya. Saya menutup curahan hati Nara dengan satu pertanyaan yang jawabannya dapat saya amini. Yaitu, harapan dan cita-cita ke depannya.
The way towards happiness? Foto: Austin Chan/Unsplash
Saya pikir, mengingat bakatnya pada seni lukis dan makeup, dia akan menjawab “Makeup artist!” dengan semangat.
ADVERTISEMENT
Tetapi tidak. Jawaban dia yang sangat sederhana namun berharga, justru menohok hati saya yang sering kali terlalu banyak mau.
“Mimpi besar, ya, apa ya.. Bisa stabil dalam emosional, manajemen hidup. Self-management (manajemen diri), itu termasuk mimpi besar gue juga.”
Bagi Nara, kestabilan secara emosi itulah yang nantinya menjadi batu loncatan untuk dirinya melangkah ke sesuatu yang lebih besar lagi.
“Dari sisi profesi atau keahlian gitu, mungkin gue enggak tahu persisnya apa. Tapi mungkin, mimpi gue itu menjadi sesuatu hal yang gue senangi, bukan sesuatu hal yang [tercapai] karena keterpaksaan atau tuntutan orang lain. Mimpi gue, menjadi seseorang atas kemauan sendiri, kesadaran sendiri,” tegasnya.
Ini menjadi tamparan buat saya. Saya tersadar bahwa sebelum saya bisa melangkah jauh ke depan, saya harus menuntaskan hal-hal kecil terlebih dahulu: kestabilan secara emosional.
ADVERTISEMENT
Rumah megah pun tak akan bisa berdiri tanpa fondasi yang kuat, kan?
Demikianlah perjalanan sahabat saya, Nara. Percakapan malam kami selama tiga jam akan sulit dimuat ke dalam tulisan dengan durasi baca 10 menit, jadi, banyak hal yang saya putuskan untuk dipendam berdua saja.
Kini, jalan Nara belum sepenuhnya bebas dari bebatuan. Tetapi saya yakin, dia banting tulang menyapu, menendang, dan memunguti seluruh penghalang di hadapannya.
Ilustrasi jalan berbatu. Foto: Melissa Moreno/Unsplash
Nara yang sebelumnya saya kenal adalah orang yang periang, selalu menertawakan hal-hal receh bersama saya, serta pendengar yang baik.
Tetapi kini, Nara yang saya kenal adalah orang yang sangat kuat, tangguh, dan pencerita yang baik. Dia mampu mengutarakan semua traumanya di hadapan saya; seluruh hal yang telah dia tutup erat dari kami, sahabat-sahabatnya, selama delapan tahun.
ADVERTISEMENT
Perbincangan ini membuka mata saya semakin lebar. Mulai sekarang, kita semua harus lebih peduli dengan sekitar: dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga lansia. Kita tidak pernah tahu tantangan apa yang sedang mereka lewati. Menjadi orang baik itu gratis, kok.
Dan yang juga tak kalah penting—esens dari seluruh perjalanan panjang Naraadalah mengenal, memahami, dan menyayangi diri sendiri.
Tak pernah ada kata terlambat untuk mencari pertolongan di saat membutuhkan.
Nara saja bisa, kamu juga.
—————
Ditulis pada Oktober 2021, untuk tugas menulis feature wartawan baru kumparan. Terima kasih, Nara, sudah berbagi dengan kita.