Penerjemah: Bukan Mesin Penerjemah Instan

Judith Aura Tiara
Diari virtual plus lapak penulisan kreatif Judith, alumnus Sastra Inggris Universitas Padjadjaran dan reporter di kumparanWOMAN.
Konten dari Pengguna
12 Januari 2021 6:19 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Judith Aura Tiara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kamus. Foto: Joshua Hoehne/Unsplash.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kamus. Foto: Joshua Hoehne/Unsplash.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Beberapa kali menerima komentar seperti itu, rasa kesalnya berlipat-lipat ganda dan bertahan lama. Selain kesal karena merasa diledek, kesal juga dengan diri sendiri; kok aku mikirnya lama amat, ya? Ujung-ujungnya malah meragukan kemampuan diri sendiri. Sedih juga.
Aku kerap kali diminta orang-orang di sekitarku untuk menerjemahkan sesuatu secara instan dan spontan. Tanpa tedeng aling-aling. Ya, kaget dong, aku. Sedikit bercerita, ya. Pernah di suatu pagi, baru bangun tidur, masih mengantuk. Nyawa belum terkumpul, mata masih kering dan berat. Tiba-tiba dihampiri oleh Kakekku yang meminta tolong padaku untuk menerjemahkan satu paragraf soal penerbangan (aviation) dari bahasa Inggris ke Indonesia secara lisan. Aku seketika bengong. Kalau aku mesin, sepertinya aku langsung glitch.
ADVERTISEMENT
Jadi begini. Penerjemah itu bekerjanya bukan seperti mesin penerjemah yang: 1) biasanya menerjemahkan kata per kata, dan 2) secara instan dalam beberapa detik. Dalam proses penerjemahan, aku melihat kalimat secara keseluruhan, kemudian diterjemahkan sesuai dengan apa yang aku pahami. Tujuannya? Supaya kalimat tersebut terlihat natural dan tidak terkesan kaku. Kenapa? Karena struktur dalam bahasa Indonesia dan Inggris tidak selalu sama. Akan sulit buatku kalau aku menerjemahkan kata per kata. Kita coba satu kalimat, ya:
Kalau diterjemahkan kata per kata, jadinya seperti ini:
Hm, menurutku kelihatannya kurang natural dan juga salah secara gramatikal. Bandingkan dengan ini:
ADVERTISEMENT
Struktur kalimatnya berubah, 'kan? Itu karena bahasa sumber (bahasa Indonesia) di atas memiliki struktur yang berbeda dengan bahasa sasaran (bahasa Inggris), di mana sebuah kalimat harus memiliki subjek. Hasilnya, teks sasaran terlihat natural dan tidak kaku.
Kemudian, aku juga harus melihat konteks tulisan secara keseluruhan untuk tahu padanan kata apa yang pas untuk teks sasarannya. Berbagai kamus harus dibuka; nggak cuma satu, nggak cuma KBBI, nggak cuma Cambridge atau Lexico by Oxford. Harus standby kamus tesaurus juga. Belum lagi kalau makna dari suatu kata ternyata tidak ada di kamus manapun; harus ke kamus khusus seperti kamus perpajakan atau kamus hukum. Jadi, karena sudah terbiasa dengan kamus, akan sulit rasanya, menerjemahkan sesuatu tanpa disokong oleh kamus-kamusku tersayang itu.
ADVERTISEMENT
Nah.
Itulah mengapa, menerjemahkan secara instan dan spontan seperti dikagetkan begitu, sangat sulit buatku. Mungkin kalau sudah 'pemanasan otak' dulu akan lebih mudah, ya. Seperti kalau sedang interpreting. Interpreting itu menerjemahkan secara lisan dan real-time, berbeda dengan translating (menerjemahkan) yang secara tulisan. Sudah jelas konteksnya apa: kalau interpreting di persidangan, tentu pembicaraannya tentang hukum. Akan ada waktu untuk belajar soal istilah-istilah dalam bidang hukum sebelum mulai proses interpreting. Akan ada waktu untuk brainstorming dan berkenalan dengan topik.
Tapi kalau tiba-tiba, tanpa konteks, bagai petir di siang bolong, ditanyakan, "Judith! 'Reminiscing' itu artinya apa, ya?? 'Slaying' itu apa ya?? 'Stanning'??"
Ya, bingung aku. Bingung karena tidak ada konteks, bingung juga karena tidak ada kamus. Jangan salah, lho, butuh kamus saat menerjemahkan bukan berarti payah dalam penerjemahan. Justru, saat memakai kamus, hasil terjemahan akan jauh lebih bagus lagi. Kamu bisa coba sendiri!
ADVERTISEMENT
Dari rentetan keluhan panjang di atas, aku tarik garis merah: jangan pernah menganggap penerjemah seperti layaknya kamus berjalan atau mesin penerjemah. Kami butuh waktu untuk berpikir juga. Menerjemahkan itu bukan hal yang mudah. Kami tidak makan kamus dan menyimpan seluruh diksi dua bahasa di dalam kepala. Menurutku, akan lebih menyenangkan kalau kamu bertanya sambil menjelaskan gambaran atau konteks dari kata tersebut, atau kamu cari maknanya di kamus terlebih dahulu dan selanjutnya berdiskusi soal beberapa pilihan padanan kata. Itu lebih seru, karena kita jadi sama-sama belajar. Deal?