Konten dari Pengguna

Wadas Jadi Eksibisi Realitas Situasi Demokrasi

Julia Nur Fatonah
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UMY
27 Mei 2022 12:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Julia Nur Fatonah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tagar save Wadas dan demokrasi. Sumber: karya pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tagar save Wadas dan demokrasi. Sumber: karya pribadi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Konflik Wadas menjadi konflik yang belum berhasil terselesaikan sejak tahun 2019 hingga sekarang. Konflik Wadas sendiri terjadi antara warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah dengan pihak pemerintahan di Indonesia termasuk aparat penegak hukumnya. Konflik ini dilatarbelakangi oleh rencana pemerintah untuk membuka pertambangan batu andesit di wilayah daerah Wadas yang akan dijadikan sebagai bahan baku pembuatan bendungan Bener.
ADVERTISEMENT
Rencana pemerintah inilah yang kemudian mendapat penolakan dari warga setempat karena penambangan tersebut akan merusak lingkungan Desa Wadas dan warga wadas yang mayoritas bekerja sebagai petani akan kehilangan lahannya. Alasan lainnya yang menjadi sebab dari penolakan pertambangan batuan andesit di Desa Wadas diunggah dalam laman Instagram wadas melawan yakni “Penolakan warga di Desa Wadas terjadi karena menolak kehilangan masa depan anak cucu, kehilangan sumber mata air, kehilangan mata pencaharian, dirampas ruang hidupnya, kehilangan tempat bermain.” (Wadas Melawan, 03/01/2022)
Pemerintah tetap berupaya untuk mendapatkan persetujuan dari masyarakat sekitar karena pembangunan bendungan ini akan memiliki manfaat besar untuk masyarakat seperti untuk pengairan sawah, sumber energi PLTA, sumber air baku untuk daerah Purworejo, Kebumen, hingga Kulonprogo, dan lain sebagainya. Dari banyaknya manfaat tersebut, masyarakat tetap teguh pada pendiriannya untuk menolak upaya penambangan yang secara jelas lebih menguntungkan untuk pemerintah dan rakyat umumnya, namun menyengsarakan atau membunuh sumber kehidupan masyarakat desa Wadas. Pemerintah diuntungkan karena dalam sistem penambangan ini pemerintah hanya membeli lahan rakyat untuk dilakukan penanganan tanpa membeli hasil tambang yakni batu andesit yang ada pada lahan tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam liputan CNN Indonesia mengungkapkan bahwa “Pembangunan bendungan Bener digadang-gadang pemerintah karena menjadi bendungan tertinggi di Indonesia dengan tinggi 169 meter dan menjadi penanda kabupaten purworejo. Konstruksi biaya pembangunan bendungan Bener ini, pemerintah hanya membayar biaya untuk produksi tambang dengan tidak adanya biaya pembelian untuk batu tambang andesit sehingga memperhemat keuangan negara.” (CNN Indonesia, 19/02/2022)
Dalam upaya penolakan tambang ini, warga Wadas juga pernah melakukan demonstrasi di depan Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak. Kemudian pada tahun 2021 Ganjar Pranowo sebagai gubernur Jawa Tengah menerbitkan surat keputusan nomor 590/20 tahun 2021 yang berisi tentang penetapan lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Bener. Surat keputusan tersebut menuai penolakan besar dari warga dengan melakukan tuntutan Ganjar Pranowo ke PTUN akibat terbitnya surat keterangan lokasi pengadaan tanah bendungan Bener. Namun, tuntutan ini mendapat penolakan dari PTUN hal inilah yang membuat kekecewaan warga semakin besar. “Warga Desa Wadas melakukan perlawanan setelah gugatan ke PTUN ditolak dengan mengajukan kasasi sebagai bentuk ketidakpuasan secara hukum atas putusan nomor 68 tahun 2021 di PTUN Semarang.” (Hasrul, 15/09/2021 dalam berita Tirto.id, 15/09/2021)
ADVERTISEMENT
Konflik Wadas kian memanas di awal tahun 2022 saat dilakukannya pengukuran tanah dari pihak masyarakat yang menyetujui lahannya digunakan untuk pertambangan batu andesit. Seperti yang kita tahu bahwa di dalam Desa Wadas ini terdapat dua kubu, yakni kubu warga pro dan kubu warga kontra. Kubu inilah yang tentunya menimbulkan konflik, apalagi warga pro dengan gampangnya memberikan lahannya untuk dibeli dan ditambang. Sangat disayangkan, dalam pengukuran tanah ini pemerintah melibatkan ratusan aparat kepolisian bersenjata lengkap untuk mengawal jalannya pengukuran hal inilah yang membuat keresahan dan ketakutan warga wadas semakin mencuat.
Aparat kepolisian juga mengepung daerah Wadas dengan melakukan pencopotan spanduk penolakan, perampasan alat-alat pertanian yang ada di rumah warga, hingga pengepungan jamaah masjid yang sedang melakukan mujahadah. Bahkan, beberapa warga Desa Wadas ditangkap secara paksa hingga menimbulkan adanya kekerasan. Seperti video yang beredar dalam akun Instagram Wadas Melawan, para aparat kepolisian melakukan penangkapan paksa dengan upaya kekerasan seperti melakukan pemukulan, penyeretan, dan pengintimidasian. Dalam video tersebut dapat jelas kita lihat tidak adanya perlindungan hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat kepolisian sebagai birokrasi aparat penegak hukum pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita tahu bahwa tugas seorang polisi adalah untuk melindungi dan mengayomi rakyat, tetapi pada kondisi ini justru polisi menjadi penjahat dan musuh bagi rakyat wadas. Seperti yang tercantum dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 “Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta penegakan hukum.”
Sebagai negara demokrasi seharusnya hal-hal mengenai perilaku birokrasi yang mengabaikan HAM tidak akan terjadi karena sejatinya salah satu prinsip dari negara demokrasi adalah adanya penegakan dan perlindungan HAM. Negara demokrasi memberikan kuasa untuk rakyat dalam penyelenggaraan pemerintah karena demokrasi sering diartikan sebagai pemerintahan rakyat. Berdasarkan pernyataan (Abraham Lincoln, 1863) “Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.”
ADVERTISEMENT
Jadi, sebagai negara demokrasi seharusnya warga Wadas dibiarkan menyuarakan aspirasi penolakan mereka dengan harapan adanya respon dari pemerintah tanpa disertai intimidasi atau perlakuan kasar. Kebebasan masyarakat untuk berbicara berdasarkan pernyataan (Samuel P Huntington: Supremasi Sipil, 1959) “Demokrasi mencakup adanya kebebasan sipil untuk berbicara, berkumpul/berorganisasi.”
Pemerintah juga seharusnya lebih mengutamakan persetujuan dari masyarakat terlebih dahulu untuk melakukan upaya penambangan ini, setidaknya tidak ada unsur paksaan bagi warga yang tidak setuju dengan adanya praktik pertambangan di desa Wadas sesuai dengan pernyataan (John Locke: Two Treatises Government: 1690) yang menyatakan bahwa “Pemerintahan yang sah bertumpu pada persetujuan dari yang diperintah.”
Praktik demokrasi rakyat dalam konflik ini terlihat jelas ketika ratusan aliansi mahasiswa ikut menyuarakan aspirasi dan penolakan terhadap penambangan di Desa Wadas dengan diselenggarakan aksi demonstrasi baik secara langsung maupun melalui media sosial.
ADVERTISEMENT
“Ratusan mahasiswa di Semarang melakukan demonstrasi rencana penambangan di Desa Wadas di depan kantor Gubernur Jawa Tengah yang tidak ada respon dari Gubernur Ganjar Pranowo sehingga membuat mahasiswa mengirim pesan ke media sosial instagram sang Gubernur agar menemui mahasiswa dan warga Wadas” (CNN Indonesia, 22/03/2022) Aksi demonstrasi ini dilakukan untuk memperoleh tanggapan atau respon pemerintah dalam upaya menangani konflik Wadas secara hukum dengan mengutamakan prinsip demokrasi yang menegakkan peradilan secara adil, memberikan kebebasan pada masyarakat untuk berbicara, adanya penegakan HAM, dan kebebasan pers.
Dalam upaya penyelesaian konflik Wadas, pemerintah diharapkan terus mengedepankan prinsip sistem Demokrasi Pancasila karena demokrasi inilah yang berisi nilai-nilai budaya ideologi Pancasila dengan tujuan mencapai kesejahteraan rakyat pada umumnya dalam menyelenggarakan sistem pemerintahan.
ADVERTISEMENT