Konten dari Pengguna

"Diet Ketat" Efisiensi Anggaran: Tepatkah Pilihan "Gizi" Belanja Pemerintah?

Julian Rafif Rabbani
Public Sector Accounting Student at Polytechnic of State Finance STAN (PKN STAN)
10 Februari 2025 13:16 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Julian Rafif Rabbani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: pexels.com
ADVERTISEMENT
Sejumlah orang melakukan diet untuk mencapai kualitas hidup yang lebih sehat. Whitney dan Rolfes (2019) mendefinisikan diet sebagai pola konsumsi makanan dan minuman (asupan) seseorang yang berkontribusi terhadap kesehatannya secara keseluruhan. Pola konsumsi mencakup volume porsi, jam makan, dan yang paling utama adalah pengaturan proporsi yang tepat tiap komponen zat gizi makro dan mikro, seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan sebagainya, sehingga mencapai kualitas hidup yang diharapkan.
ADVERTISEMENT
Setiap individu memiliki batas plafon kalori harian yang berbeda-beda, tergantung pada umur, jenis kelamin, kegiatan harian, dan faktor-faktor lain. Pada intinya, seseorang sebaiknya mengonsumsi makanan secukupnya – tidak kurang, tidak berlebih. Apabila tidak pas, maka dapat menimbulkan masalah kesehatan yang beragam. Selain itu, apabila seseorang melakukan diet, acap kali menghindari konsumsi makanan-makanan yang kurang bergizi.
Begitu pula dengan “asupan bergizi” bagi sebuah negara. Negara memerlukan berbagai nutrisi – seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, dan lain-lain untuk mencapai amanat Undang – Undang Dasar 1945 – memajukan kesejahteraan umum. Namun, sesuai dengan teori ekonomi, bahwa terdapat gap antara keinginan manusia yang tak terhingga, bertemu dengan sumber daya yang terbatas. Konsep ini disebut dengan kelangkaan/scarcity, dan manusia – dalam hal ini pemerintah perlu membuat pilihan. Dalam konteks Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemerintah mencanangkan alokasi belanja dan proyeksi pendapatannya, sehingga terdapat target surplus/defisit anggaran setiap tahun. Dalam batas plafon “kalori” belanja tahunan tersebut, pemerintah perlu mengalokasikan pilihan "nutrisi"nya secara tepat – untuk menghasilkan tingkat kesejahteraan tertinggi bagi masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
Di awal tahun 2025 – yang juga merupakan tahap awal pemerintahan baru – Presiden Prabowo Subianto menelurkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025. Dalam Inpres tersebut diinstruksikan kepada seluruh Kementerian/Lembaga (K/L) melakukan efisiensi belanja, baik operasional maupun non operasional. Efisiensi tersebut ditargetkan sebesar Rp306 T, sekitar 10% dari alokasi belanja pada APBN 2025.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyatakan dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Kantor Kementerian Keuangan pada Jumat, 24 Januari 2025, bahwa efisiensi tersebut akan dialokasikan kepada program kerja yang lebih dirasa manfaatnya oleh masyarakatnya, termasuk program unggulan Presiden Prabowo – Makan Bergizi Gratis (MBG).
ADVERTISEMENT
Program MBG merupakan program unggulan Prabowo sejak masa kampanye. Sasaran penerima terdiri dari anak bawah usia lima tahun (balita), pelajar, ibu hamil, dan ibu menyusui. Program ini ditargetkan menyasar 82,9 juta penerima dalam 5 tahun kedepan dan dilakukan bertahap – 40% penerima pada 2025, 80% pada 2026, dan 100% pada 2029.
Dalam postur APBN tahun 2025, anggaran belanja untuk program MBG ini dianggarkan sebesar Rp71 triliun. Namun Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, menyatakan bahwa anggaran tersebut hanya cukup sampai dengan bulan Juni 2025. Apabila program tersebut dioptimalkan sebaran penerima dan dilaksanakan hingga akhir tahun 2025, diperkirakan akan membutuhkan alokasi anggaran sekitar Rp 420 triliun. Jumlah yang cukup fantastis, menyentuh lebih dari 10% dari anggaran belanja APBN tahun 2025. Dengan adanya efisiensi dengan menyortir prioritas “nutrisi” dari plafon anggaran belanja – yang disinyalir untuk mendukung program MBG tersebut, menuai pro dan kontra dari masyarakat.
Sumber: presidenri.go.id (Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr)
Poin-poin efisiensi tersebut terdiri dari beberapa program kegiatan, diantaranya adalah belanja perjalanan dinas, Alat Tulis Kantor (ATK), dan kegiatan – kegiatan seremonial. Sebelum Inpres Nomor 1 Tahun 2025 diterbitkan, terbit Surat Menteri Keuangan nomor S-1023/MK.02/2024. Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa belanja perjalanan dinas pada K/L harus diefisiensikan minimal sebesar 50%. Selain itu, dalam Surat Menteri Keuangan nomor S-37/MK.02/2025 tentang Efisiensi Belanja Kementerian/Lembaga dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025, dinyatakan bahwa penghematan ATK mencapai angka 90%. Di era digital yang erat kaitannya dengan penggunaan teknologi, sudah seharusnya mengoptimalkan penggunaan teknologi dalam berbagai kegiatan pemerintah. Selain hemat anggaran, penggunaan teknologi dapat mempercepat dan mempermudah pelaksanaan tugas. Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak perlu repot-repot mencari hotel, menyiapkan tambahan acara, dan kegiatan lain yang tidak substansial terhadap pelaksanaan sebuah kegiatan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Selain itu, angka fantastis juga ditunjukkan dari belanja ATK – Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan bahwa negara pernah menghabiskan Rp44,4 triliun hanya untuk belanja ATK. Hal ini tidak sejalan dengan semangat kemajuan teknologi sekarang yang dapat menekan penggunaan ATK. Penghematan ATK juga dapat membantu mencapai green governance, mengurangi limbah-limbah dari operasional alat tulis harian.
Kegiatan seremonial juga pantas untuk dilakukan efisiensi. Pertengahan 2024 lalu sempat viral foto suasana rapat Perdana Menteri (PM) Singapura, Lawrence Wong. Dalam foto tersebut menggambarkan suasana rapat yang sederhana – tanpa berbagai spanduk, hiasan, dan peralatan lain yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan rapat. Netizen membandingkannya dengan suasana rapat pejabat-pejabat negara di Indonesia, yang penuh dengan substansi-substansi seremonial. Apalagi dibandingkan dengan capaian posisi Singapura dari sisi ekonomi dan politik yang cukup kompetitif.
ADVERTISEMENT
Foto: Lawrence Wong (Instagram/@lawrencewongst)
Dengan efisiensi kegiatan-kegiatan seremonial, diharapkan kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh pemerintah lebih terfokus kepada kegiatan yang menjadi tujuan utama dan dapat bermanfaat langsung bagi masyarakat.
Pelaksanaan MBG pun dapat memicu roda perekonomian masyarakat – terutama di bidang pangan. Dengan jumlah dana dan sebaran target penerima program ini, dapat menggenjot perekonomian masyarakat. Sampai saat ini, terdapat 190 titik Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur yang beroperasi untuk menyediakan makanan dalam program inidengan melibatkan sekitar 140 UMKM, yang tersebar di 26 provinsi di Indonesia. Hal tersebut masih jauh dari target pada tahun 2025 sebesar 937 SPPG. Hal ini tentu berdampak positif bagi roda perekonomian masyarakat, dengan terus bertambahnya jumlah SPPG. Namun, bukan tanpa efek samping, program MBG juga menghadapi risiko pilihan "gizi" belanja pemerintah.
ADVERTISEMENT
Pertaruhan pemerintah dalam efisiensi belanja, salah satunya untuk mendukung program MBG, tidak main-main. Beberapa titik penting dalam belanja negara terdampak setelah adanya efisiensi, salah satunya adalah belanja modal terkait pembangunan IKN.
Menteri Pekerjaan Umum, Dody Hanggodo, menyatakan prediksinya bahwa program pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur akan terhenti untuk sementara. Hal tersebut efek dari adanya efisiensi anggaran. Dody juga menyatakan bahwa kemungkinan efisiensi ini untuk menyokong kebutuhan program MBG. Padahal, pembangunan IKN juga merupakan program prioritas pemerintah, bahkan sejak era Presiden Joko Widodo. Sebagai bentuk investasi infrastruktur, pembangunan IKN akan menjadi pemicu ekonomi nasional, dengan menarik investasi asing, menciptakan lapangan pekerjaan, dan menciptakan pemerataan kesejahteraan di Indonesia. Contoh lain, imbas adanya efisiensi anggaran, 6 proyek pembangunan jalan dan jedi Kabupaten Sleman terpaksa dibatalkan. Padahal, infrastruktur dapat melancarkan akses antar daerah, yang juga merupakan faktor penggenjot ekonomi daerah.
Foto Presiden RI ke-7, Joko Widodo, saat kunjungan ke IKN pada 12 Agustus 2024, dengan Presiden RI ke-8, Prabowo Subianto, saat masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Sumber: presidenri.go.id oleh BPMI Setpres/Muchlis Jr
Selain investasi infrastruktur, terdapat pula investasi Sumber Daya Manusia – berupa pendidikan yang terdampak. Netizen menyoroti pembatalan program beasiswa Kementerian Keuangan (Ministerial Scholarship) tahun 2025. Padahal, pemberian beasiswa merupakan investasi peningkatan kualitas SDM, yang dapat meningkatkan daya saing di tingkat global. Meskipun Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Stella Christie, menyatakan bahwa beasiswa pada kementeriannya tidak terdampak, pihaknya mengaku butuh melakukan kajian ulang atas efisiensi terhadap dana riset. Efisiensi dana riset juga terdampak pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Dalam rapat bersama Komisi X DRI RI, Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko menyatakan bahwa BRIN harus menghapus seluruh biaya riset dan inovasi di 12 organisasi riset untuk mencapai target efisiensi sebesar Rp2,07 triliun. Efisiensi di kegiatan riset berpotensi menghambat kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, yang berdampak besar bagi kualitas masyarakat.
ADVERTISEMENT
"Diet" pemerintah dalam pengaturan "batasan kalori dan gizi" belanja melalui program efisiensi menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Di satu sisi, pemerintah berani mendobrak efisiensi bagi kegiatan dan belanja yang kurang substansial dan selama ini dianggap sebagai pemborosan semata. Hal ini memacu ASN untuk dapat bekerja lebih efektif dan efisien memanfaatkan aplikasi-aplikasi digital yang kolaboratif, serta dapat membantu menjaga lingkungan dengan mengurangi limbah perkantoran. Program MBG juga diklaim menggerakkan perekonomian UMKM, dengan menggerakkan SPPG atau dapur sebagai pemasok makanan gratis.
Namun, pemerintah menghadapi risiko bahwa "pilihan gizi" yang diefisiensi berpotensi menghambat pembangunan infrastruktur dan kemajuan SDM. Pembangunan IKN yang menjadi program unggulan sejak era Presiden Joko Widodo harus tertunda, padahal pemerintah pula yang menyatakan bahwa IKN merupakan mesin baru penggerak roda perekonomian. Selain itu belanja beasiswa di Kementerian Keuangan dan biaya riset juga harus terpotong, mengorbankan potensi pengembangan SDM dan kualitas hidup masyarakat. Selain itu, terdapat potensi pemberian MBG yang dinilai kurang tepat, yaitu kepada masyarakat kelas ekonomi atas di sekolah-sekolah.
ADVERTISEMENT
Atas kebijakan ini, perlu peran penting berbagai pihak untuk mengawal jalannya program efisiensi pada MBG. Dalam Inpres No. 1 tahun 2025 tersebut, Presiden menginstruksikan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengawasi jalannya instruksi efisiensi. Tak hanya internal pemerintah, efisiensi perlu mendapat kawalan dari masyarakat, apakah output dan outcome dari efisiensi benar-benar berdampak baik bagi masyarakat sebagai kedaulatan tertinggi negara. Apabila jalannya efisiensi dinilai tidak efektif untuk menggerakkan roda perekonomian, maka pemerintah harus terbuka untuk mengevaluasi secara objektif atas kebijakan yang diambil.