Citayam Fashion Week, Magnet Baru Politisi dan Harapan Partisipasi Generasi Muda

Julian Savero Putra Soediro
Tenaga Ahli di Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Pembelajar, penulis, dan peneliti.
Konten dari Pengguna
20 Juli 2022 14:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Julian Savero Putra Soediro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mendampingi delegasi asing di lokasi TOD Dukuh Atas, Jakarta Pusat. Foto: Instagram/@aniesbaswedan
zoom-in-whitePerbesar
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mendampingi delegasi asing di lokasi TOD Dukuh Atas, Jakarta Pusat. Foto: Instagram/@aniesbaswedan
ADVERTISEMENT
Beberapa minggu ini jagat media sosial ramai membicarakan Citayam Fashion Week (CFW). Sederhananya, ini merupakan ajang para remaja wilayah penyangga Jakarta dan sekitarnya untuk menghabiskan waktu di wilayah Dukuh Atas, Jakarta Pusat.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, wilayah ini dikenal sebagai miniatur terbaik dari pembangunan Transport Oriented Development (TOD) di wilayah Jakarta. Namun sekarang menjelma menjadi spot yang menarik atensi seluruh kalangan, salah satunya para politisi.
Dampak dari CFW begitu hebat dan tidak sekadar popularitas di media sosial. Fenomena itu kini berubah menjadi bargain point baru bagi publik dalam memengaruhi kebijakan.
Mengusung konsep ruang interaksi yang setara, ruang ketiga di Jakarta ini patut kita apresiasi. Sebagai kota global, akan banyak kreativitas yang tercipta dari ruang ketiga saat seluruh masyarakat tidak terbatas status bisa berinteraksi dan berkolaborasi.
CFW adalah salah satu bentuk sukses dari ruang ketiga di Jakarta. Penataan jalur pedestrian yang baik hingga disuguhkan karya warga sekitar, CFW menjadi daya tarik baru yang hadir untuk menegaskan bahwa Jakarta adalah kota milik bersama.
ADVERTISEMENT
Komunikasi Politik di Balik Citayam Fashion Week
Hal yang menarik untuk diperhatikan adalah bagaimana peran dari komunikasi politik baik yang diberikan oleh masyarakat kepada politisi dan juga respons balik dari politisi ke publik akan fenomena CFW.
Wali Kota Depok dan Gubernur DKI Jakarta menjadi contoh dari menariknya pola komunikasi politik yang terbangun karena CFW. Publik berhasil ‘mendesak’ Wali Kota Depok untuk kembali memerhatikan wilayahnya, dan CFW berhasil menjadi autokritik bagi pemerintah Kota Depok agar segera berbenah, khususnya dalam penyediaan ruang publik.
Kemudian, CFW juga berhasil memengaruhi Gubernur DKI Jakarta agar bisa mempertahankan status Jakarta sebagai kota global yang inklusif. Selain itu, ada pesan politik yang terlihat dari kehadiran Anis Baswedan.
ADVERTISEMENT
Kehadiran Anies Baswedan di sana bisa dimaknai sebagai cara untuk mempromosikan hadirnya ruang ketiga yang inklusif di Jakarta. Dalam beberapa tahun ini Pemprov DKI Jakarta fokus memebenahi kawasan publik agar lebih nyaman dan dapat dinikmati siapapun.
Kehadirannya sekaligus menegaskan bahwa politisi tidak hanya diam memerhatikan fenomena sekitarnya. Mereka juga bisa memanfaatkan momentum yang ada dari fenomena publik, baik untuk kepentingannya atau untuk menggaungkan hasil kinerjanya sebagai pejabat publik.
Tidak hanya meraih atensi para politisi lokal, bahkan para pejabat asing pun kini sudah mulai mengetahui adanya CFW yang fenomenal. Kehadiran Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang langsung mengajak delegasi asing dari Uni Eropa, Vincent Piket dan European Investment Bank, Kris Peeters seperti mendobrak stigma adanya subkultur marginal yang biasanya dipandang sebelah mata.
ADVERTISEMENT
Berdampak bagi Publik dan Politisi
Melihat berbagai titik yang tercipta dari CFW, anak muda, dan politisi, ada poin yang bisa saya anggap penting, yaitu Political Engagement atau keterkaitan publik secara politis. Merujuk Ekman & Amnå (2012) dalam jurnalnya Political Participation and Civic Engagement, Political Engagement diartikan sebagai sebuah kegiatan atau tindakan dari publik yang ditujukan baik langsung atau tidak langsung yang bisa memengaruhi fenomena politik.
Keterkaitan politik yang tercipta dari CFW nyatanya berhasil memengaruhi fenomena politik yang ada. Berbagai politisi kini akan menyerbu lokasi tersebut baik sebagai agenda kebijakan hingga agenda politis lainnya.
Dalam konteks komunikasi politik, khususnya Political Engagement, publik benar-benar berhasil meraih atensi dan validasi dari para pemegang kekuasaan di pemerintahan. Saat benar-benar telah meraih atensi, maka dampak yang dihasilkan tentu akan lebih terasa.
ADVERTISEMENT
Bermula sebagai sebuah ajang yang dipandang sebelah mata oleh publik, kehadiran para politisi juga berhasil merubah citra para pelaku seni di CFW dari yang dikesampingkan menjadi diperhitungkan.
Hal demikian linier dengan apa yang disampaikan oleh Baiocchi, Heller, & Silva (2011) dalam buku Bootstrapping Democracy: Transforming Local Governance and Civil Society in Brazil, saat masyarakat mulai tergugah untuk memobilisasi dan menampilkan kelompok yang kurang terwakili, yang tidak bisa menyuarakan pendapatnya melalui institusi kenegaraan.
Benar saja, para remaja yang memeriahkan CFW adalah mereka yang memiliki haknya sebagai warga negara untuk bersuara dan berpartisipasi dalam politik. Namun, sebelum CFW meraih atensi, tidak ada yang bersuara mewakili mereka. Tetapi kini justru sudah sebaliknya saat para politisi berbondong untuk mewakili suara mereka.
ADVERTISEMENT
Ajang Membangkitkan Minat Politik Anak Muda
Para remaja yang memeriahkan CFW sudah memiliki visi sementara akan hidupnya, menjadi seorang model. Hal tersebut adalah ajang aktualisasi talenta anak muda, namun akan lebih baik jika ajang tersebut bisa terkonversi menjadi partisipasi politik.
Partisipasi politik yang saya maksud setidaknya adalah saat anak muda bisa sepenuhnya menggunakan hak suara dalam kompetisi elektoral. Merujuk data dari KPU, pada pemilu tahun 2019 sebanyak 31,3% atau 60,3 juta pemilih adalah penduduk berusia di bawah 30 tahun.
Ceruk suara anak muda semakin membesar untuk pemilu tahun 2024. Diprediksi sekitar 60% dari total pemilih di tahun 2024 adalah anak muda berusia 17 – 35 tahun, dan tidak sedikit dari mereka adalah pemilih pemula yang masih ragu dalam menentukan pilihannya.
ADVERTISEMENT
Kita bisa berharap adanya atensi para politisi di ajang CFW yang didominasi anak muda berusia belasan tahun saat ini bisa dikonversikan menjadi partisipasi pemilih generasi muda yang tinggi.
Sah-sah saja bagi para politisi dan pemegang kekuasaan di negara ini untuk mengkapitalisasi panggung CFW bagi kepentingannya. Tapi, kita juga boleh berharap mereka bisa meningkatkan gairah kaum muda untuk lebih melek dalam persoalan politik dalam negeri. Setidaknya dimulai dari partisipasi dasar untuk memilih.