Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Masjid Sebagai Pusat Peradaban Islam
28 Maret 2024 17:27 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Julpadli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di era digital seperti saat ini, keterbukaan informasi dan permudahan akses adalah sebuah sisi positif yang harus dapat kita kelola bersama. Bukan hanya terkait dengan informasi, progresivitas gerakan perubahan juga bergulir seiring dengan tuntutan diberbagai elemen kehidupan masyarakat. Disisi lain, era millennial –sebutan lain era digital- memberangus banyak sektor kehidupan yang tak mampu beradaptasi dengan perubahan yang dibawanya.
ADVERTISEMENT
Dominasi teknologi sebagai penopang era digital dapat mempengaruhi sikap konsumerisme masyarakat. Jika sebelumnya kita terbiasa membeli barang sambil bercengkrama dengan tetangga di warung atau pasar, kini membeli barang hanya tinggal memencet tombol-tombol layar sentuh sambil berbaring, memasak atau beraktivitas lainnya. Bepergian pun begitu mudahnya, dalam waktu kurang dari 10 menit penyedia jasa transportasi online mampu menghadirkan petugasnya untuk mengantar kemanapun tujuan perjalanan kita. Sehingga menjadi tidak terlalu pusing untuk merepotkan suami/isteri, sanak saudara apalagi tetangga.
Dibalik kemudahan itulah tersimpan sebuah kecenderungan meningkatnya sikap individualis masyarakat modern. Lihat saja, ketika acara kumpul keluarga atau nongkrong bersama teman. Alih-alih menghangatkan suasana dengan perbincangan, lebih banyak dari kita sibuk dengan smartphone masing-masing. Sesi foto mungkin menjadi momentum paling ditunggu-tunggu, bukan untuk menggambarkan kehangatan hubungan keluarga atau persahabatan namun sebagai “cinderamata” tambahan untuk diupload ke laman media sosial.
ADVERTISEMENT
Dibidang ekonomi, teknologi menjadi dasar terjadinya revolusi industry 4.0 yang menitikberatkan efisiensi dan efektivitas dalam menghasilkan produk barang/jasa. Sebagian kalangan menilai ini merupakan salah satu ancaman bagi keberadaan pekerja manusia, jika dilihat bagaimana massifnya industri skala besar mulai menggunakan robot sebagai pengganti tenaga manusia. Bukan hanya untuk efisiensi dan efektivitas, kerja robotic yang tidak kenal emosi dinilai lebih tepat untuk menunjang peningkatan produktivitas perusahaan jika dibandingkan manusia dengan emosional yang dimilikinya dapat kelelahan, sakit, memiliki banyak tuntutan dan mampu menciptakan pemberontakan yang berujung pada melemahkan produktivitas perusahaan.
Dengan mengandalkan kecerdasan buatan atau artificial intelligent, perusahaan kini tidak memerlukan sales door to door, cukup dengan mengelola jejaring sosial maka akan diperoleh data raksasa atau big data yang mampu memanipulasi trend populis ditengah masyarakat. Mesin pencarian online atau search engine yang kita gunakan dalam perencanaan kebutuhan hidup (barang dan jasa) akan menjelma menjadi puluhan bahkan ratusan iklan sponsor dengan tawaran bonus tambahan yang menggiurkan berdasarkan data statistik.
Altenatif pilihan produk/jasa, akhirnya akan berubah menjadi data simultan yang memanipulasi kesadaran kita dalam memenuhi spesifikasi kebutuhan hidup menjadi pemenuhan ego pribadi yang diantaranya meliputi citra produk dan kemudahan system pembayaran. Maka hampir tepatlah sebuah ungkapan Millenial’s kill everythings bahkan juga termasuk kemanusiaan. Banyak dari kita menjadi pasif, malas, hedon dan opurtunis.
ADVERTISEMENT
Kita tidak dapat menutup telinga bahwa ada saja orang yang berencana menjual ginjalnya hanya untuk membeli sebuah smartphone terbaru, begitu pula ada banyak orang yang rela antri berhari-hari di depan toko fashion retail hanya untuk menjadi 100 konsumen pertama sebuah produknya. Belum lagi cerita sosialita yang membeli barang merk tertentu yang diproduksi secara terbatas dengan harga yang fantastik.
Sayangnya teknologi dan digitalisasi tidak sepenuhnya dapat diakses oleh setiap orang, keterbatasan jangkauan alat, tingkat pendidikan dan wilayah geografis masyarakat membuat kesenjangan informasi dan gaya hidup semakin lebar. Banyak masyarakat kita yang untuk kebutuhan dasarnya saja masih harus dipilah-pilah sesuai dengan kemendesakannya. Berapa banyak anak-anak di wilayah terpencil tidak menikmati pendidikan yang mampu bersesuaian dengan zaman yang melaju cepat, berapa banyak pemuda yang akhirnya menjadi pengangguran atau memilih pekerjaan kasar karena tidak memiliki skill yang dibutuhkan zaman kini.
ADVERTISEMENT
Namun jika kemudian akses itu terpenuhi secara cepat, akselerasi teknologi juga menjadi tidak terbendung. Banyak orang tidak dapat memilah-milah informasi yang benar dan menggunakan teknologi secara tepat. Seluruh kesenjangan diatas dan percepatan teknologi mengakibatkan adanya perubahan karakter individu dan masyarakat.
Fenomena diatas haruslah menjadi tanggung jawab bersama dan dijawab dalam kerangkaan optimalisasi manfaat. Artinya tanggung jawab tersebut didasari pemikiran bahwa semangat pengetahuan dan teknologi adalah keniscayaan zaman. Sikap yang benar atas fenomoena tersebut bukanlah menolak ataupun menentang sehingga yang kita perlukan adalah karakter atau jati diri yang relevan dan tidak jumud dengan hal tersebut.
Di era millennial ini, peranan masjid haruslah bertransformasi menjadi wadah pendidikan karakter untuk bukan saja menghadapi dampak negatif perkembangan zaman yang cepat namun juga dalam rangka menjadikan islam sebagai mercusuar peradaban dunia. Hal tersebut tidak akan dapat dicapai tanpa perubahan pola pikir atau mindset dalam mengelola atau mengatur masjid. Bayangkan, sebuah masjid dapat menampung ratusan juta bahkan miliaran dana ummat yang diumumkan setiap hari jum’at tanpa ada proses audit penggunaannya. Dilain tempat, ada sebuah masjid reyot yang bertahun-tahun tidak juga kunjung selesai pembangunannya.
Memang ada langkah yang baik dilakukan oleh sebagian kalangan semisal menggalang dana secara rutin kemudian melakukan bedah masjid atau musholla dan ada pula yang menggagas pemberian nasi bungkus secara gratis kepada jama’ah shalat jum’at. Langkah ini harus kita dukung secara massif hingga besar melalui terstrukturnya dalam kepengurusan masjid itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh di bidang ekonomi, dana yang dihimpun oleh masjid sebagian dapat digunakan untuk menunjang permodalan usaha masyarakat yang marketable namun tidak mampu mengakses sumber permodalan lembaga keuangan seperti bank atau yang lainnya. Telah banyak usaha masyarakat yang harus terhenti karena perputaran hasil produksinya hanya mampu untuk menutupi angsuran pembiayaan modal kerja dengan system rente.
Selain menyediakan modal usaha, masjid juga diharapkan dapat membina usaha masyarakat sekitarnya baik yang telah dibiayainya tersebut maupun tidak sebagaimana perusahaan menjalankan program pembinaan UMKM melalui CSR ataupun Comdev agar usaha dapat bertahan dan berkembang. Contoh lain dibidang sosial, masjid harus memberikan akses utama dan prima kepada masyarakat dengan kebutuhan khusus dan manula. Dibidang spritualitas, masjid harus menjamin keamanan barang bawaan jama’ah sebagai bagian dari upaya mendukung fokus kualitas ibadah jama’ahnya. Begitu pula dibidang lainnya, masjid harus mampu mengoptimalkan perannya dalam pembangunan ummat.
ADVERTISEMENT
Tak kalah penting adalah bagaimana masjid menjadi laboratorium ilmiah yang fokus dalam menghasilkan barang atau teknologi tepat guna bagi masyarakat. Dalam sejarahnya, kita memiliki para ulama yang juga dikenal sebagai ilmuwan seperti al-Jabiri, Khawarizmi, al-Kindi, Ibn Sina dan lainnya. Dengan sejarahnya yang gemilang tersebut, masjid saat ini diharapkan membuka ruang sehingga menjadi tempat beri’tikafnya para pemuda untuk melakukan penelitian, pengembangan, penelaahan dan perakitan.
Tentu tidak seluruh masjid yang dikelola dengan konsep diatas namun setidaknya masing-masing masjid memiliki fokus pengembangan masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik wilayahnya. Oleh karena itu, pengurus masjid harus mampu memetakan potensi, orientasi, kebutuhan jama’ah dan permasalahan yang dihadapi. Pengurus masjid haruslah mengenal medan dakwahnya secara spesifik dimulai dari menyusun data jama’ah lengkap dengan latar belakangnya masing-masing.
ADVERTISEMENT