Menuju Jurang Resesi Demokrasi

Julpadli
Saya seorang Banker dan alumnus S1 IESP pada Universitas Mulawarman Samarinda. Belajar menulis sebagai terapi.
Konten dari Pengguna
25 April 2024 12:31 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Julpadli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Demokrasi, sebuah sistem pemerintahan yang menempatkan kekuasaan pada rakyat, dianggap sebagai salah satu prinsip dasar kebebasan dan keadilan. Namun, dewasa ini kita menyaksikan fenomena yang mengkhawatirkan: resesi demokrasi. Indikator dari riset The Economist pada tahun 2017 menyoroti penurunan dalam hal kebebasan politik, hak sipil, dan partisipasi masyarakat yang mengkhawatirkan.
ADVERTISEMENT
Indikator dari riset The Economist pada tahun 2017 menunjukkan penurunan dalam kualitas demokrasi di berbagai negara. Penurunan kebebasan media, serangan terhadap hak sipil, dan penurunan partisipasi politik adalah beberapa tanda-tanda yang mengkhawatirkan.
Misalnya, di beberapa negara, kebebasan pers terus terancam oleh tekanan politik dan ekonomi, yang membatasi akses informasi dan menyensor kritik terhadap pemerintah. Serangan terhadap hak sipil, seperti penangkapan aktivis hak asasi manusia dan penghapusan kebebasan berbicara, juga menjadi ciri khas dari resesi demokrasi ini.
Selain itu, penurunan partisipasi politik, baik dalam pemilihan maupun dalam bentuk aksi politik lainnya, mencerminkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi politik. Di beberapa negara Eropa Timur, otoritarianisme semakin berkembang dan melemahkan institusi demokratis.
ADVERTISEMENT
Di Amerika Latin, polarisasi politik dan korupsi mengancam stabilitas demokrasi. Di negara-negara berkembang lainnya, krisis ekonomi dan konflik sosial melemahkan proses demokratisasi.
Suasana Sidang Pembacaan Putusan Mahkamah Konstitusi terkait PHPU Pilpres 2024. Foto: Iqbal Firdaus/Kumparan.com
Begitu pula tantangan yang dihadapi oleh demokrasi Indonesia. 22 April 2024, Mahkamah Konstitusi telah membacakan hasil putusan terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Pilpres 2024 dengan menolak seluruh tuntutan dari para pihak pemohon.
Terdapat dissenting opinion yang disampaikan oleh 3 dari 8 hakim konstitusi yang menangani PHPU Pilpres tersebut. Setelah putusan tersebut, dissenting opinion yang menjadi sejarah baru dalam penangan PHPU menjadi diskursus tersendiri dalam kerangka demokrasi.
Dalam dissenting opinion yang disampaikan 3 hakim konstitusi terdapat beberapa hal yang dinilai dapat menciderai jalannya demokrasi Indonesia bahkan dapat membawa Indonesia menuju jurang resesi demokrasi yang berakibat fatal bagi keberlangsungan masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara.
ADVERTISEMENT
Ketiga hakim konstitusi tersebut secara tidak langsung memiliki pandangan yang sama yakni telah terjadi penyalahgunaan wewenang jabatan atau abuse of power baik secara langsung maupun tidak dengan mempergunakan perangkat kelembagaan dan alat negara diantaranya adalah keterlibatan penyelenggaran negara dan penyaluran bantuan sosial atau perlindungan sosial.
Saldi Isra kemudian merefleksikan kondisi tersebut dengan kondisi pemilu saat Orde Baru. Dimana menurutnya, Pemilu saat orde baru dilaksanakan dengan prosedur demokratis namun secara hakikat pemilu yang jujur dan adil tidak terlaksana.
Enny Nurbaningsih menyoroti lebih jauh terkait integritas dan etika presiden. Enny dengan tegas menyatakan pentingnya presiden untuk membedakan kepentingan pribadi dan kepentingan umum.
ADVERTISEMENT
Selain Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih, Hakim Konstitusi Arief Hidayat juga menyampaikan pendapat berbeda. Arief bahkan menilai, berdasarkan pertimbangan pribadi, bahwa presiden Jokowi terbukti melakukan pelanggaran Pilpres 2024 dengan terstruktur dan sistematis.
Seluruh rangkaian proses Pemilihan Umum tahun 2024 mengkonfirmasi bahwa ada persoalan mendasar yang mendesak untuk didiskusikan dan senantiasa diperhatikan dalam rangka merawat iklim demokrasi kita. Pandangan Francis Fukuyama tentang resesi demokrasi memberikan perspektif yang mendalam tentang tantangan-tantangan yang dihadapi oleh sistem demokratis di era modern.
Menurut Fukuyama, demokrasi sering kali dihadapkan pada "political decay", yaitu penurunan dalam kualitas dan kinerja institusi-institusi politik.
Pada akhirnya, bagi Francis Fukuyama, kehidupan demokrasi dalam sebuah negara hanya perkara prosedural. Meskipun tampak dipermukaan hadir kebebasan berpendapat, dilengkapinya institusi-institusi demokrasi dengan semangat independensi dan tata kelola pemerintahan yang baik sejatinya fundamental kebijakan-kebijakan masih berada terbatas pada lingkaran tertentu yang sering kita sebut sebagai oligark. Demokrasi dengan kata lain hanya sebatas slogan dan upaya mengikuti trend global.
ADVERTISEMENT
Resesi demokrasi yang mengancam kita saat ini diiringi dengan tumbuh suburnya patrimonialisme dimana seorang pemimpin diposisikan berada diatas segalanya termasuk diatas hukum. Ia menjadi sosok kultus yang harus melampaui "sekat" namun sayangnya justru pelampauan "sekat" itu berakibat kelemahan pengawasan dan cenderung anti kritik dengan membangun koalisi politik besar tanpa oposisi yang berarti. Koalisi politik besar itu sendiri tidak akan pernah terbangun tanpa adanya politik transaksional.
Pada titik tersebut, perlu kiranya kita untuk membedakan antara demokrasi sebagai sistem politis dan demokrasi sebagai etos politis. Sebagai sistem politis, demokrasi dapat diartikan sebagai suatu mekanisme untuk mengambil keputusan publik dalam rangka mewujudkan cita-cita bersama.
Konteks ini kemudian kita kenal sebagai demokrasi elektoral yang mereduksi demos (rakyat) menjadi voters (pemberi suara). Sedangkan demokrasi sebagai etos politis dapat diartikan sebagai mentalitas yang menggerakkan demos (rakyat) untuk menjalankan demokrasi subtansial.
ADVERTISEMENT
Demokrasi substansial hanya akan dapat berjalan ketika demos (rakyat) berdaulat tanpa khawatir dengan bayang-bayang aristokrat korup yang senantiasa mengintai dan merayu untuk membeli suaranya.
Kedaulatan rakyat itu sendiri hadir dari kesadaran individu bahwa dirinya setara dengan individu lainnya. Kesetaraan individu yang inklusif ini kemudian melahirkan gerakan solidaritas kemasyarakatan yang melampaui ikatan-ikatan primordial kelompok.
Resesi demokrasi memiliki implikasi yang luas bagi masa depan pemerintahan demokratis di seluruh dunia. Hal ini menunjukkan perlunya memperkuat gerakan solidaritas warga (civil society) dengan membuka lebar-lebar mata kita terhadap proses politik dan jalannya pemerintahan dalam rangka akuntabilitas dan transparansi.
Disamping itu, yang tidak kalah penting juga adalah pemerataan pendidikan politik dalam rangka mengarahkan survival mechanism (mekanisme bertahan hidup) masyarakat terutama kelas menengah ke bawah untuk tidak mudah tergiur iming-iming politik sesaat.
ADVERTISEMENT