Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tranformasi Budaya: Kepemimpinan Transformatif dan Kecerdasan Spiritual
26 Maret 2024 10:09 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Julpadli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Transformasi budaya kerja telah menjadi sorotan utama dalam pengembangan organisasi di Indonesia. Seiring dengan dinamika perubahan global, organisasi perlu beradaptasi dengan cepat untuk tetap relevan dan berdaya saing. Pada artikel sebelumnya, kita telah memaparkan bahwa peran seorang pemimpin tidak lagi sekadar tentang pengelolaan dan pengawasan.
ADVERTISEMENT
Menurut Covey (2005) kepemimpinan bukanlah posisi formal melainkan sebuah pilihan untuk berhubungan dengan orang lain dengan cara mengomunikasikan kepada orang lain nilai dan potensi dirinya secara amat jelas, amat kuat, dan amat konsisten sehingga orang lain tersebut benar-benar mulai bisa melihat nilai dan potensi itu di dalam dirinya.
Definisi ini secara implisit mengandung makna bahwa kepemimpinan dimulai dari gerakan proses melihat, mengamati atau memperhatikan dengan seksama, proses melakukan suatu perbuatan (tindakan) atau cara mempraktikkan supaya menghasilkan suatu perubahan dalam diri orang lain yang dipengaruhi. Untuk itu pemimpin mestilah seorang yang cerdas dengan kemampuan untuk beradaptasi, memimpin perubahan, dan menginspirasi.
Kecerdasan yang biasa disangkut pautkan dengan kepemimpinan adalah kecerdasan intelektual (IQ) dan emosional (EQ). Namun, belakangan diketahui terdapat satu kecerdasan yang melengkapi idealnya seorang pemimpin. Kecerdasan tersebut adalah kecerdasan spiritual (SQ). Kecerdasan spiritual merujuk pada kemampuan individu untuk menghadapi tantangan, menjaga keseimbangan emosional, dan menemukan makna dan tujuan hidup yang lebih dalam. Dalam konteks kepemimpinan, kecerdasan spiritual menjadi landasan bagi pemimpin untuk menginspirasi, memotivasi, dan membimbing tim mereka menuju visi yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Ditengah persaingan dunia modern, seringkali kita menilai bahwa kesuksesan ditentukan oleh kemampuan strategis yang dihasilkan dari kecerdasan intelektual semata. Banyak orang dengan intelektual tinggi tetapi tersisih dari medan persaingan. Disisi lain, ada banyak orang dengan kemampuan intelektual rata-rata saja justru berhasil karena mampu menempatkan diri ditengah medan persaingan. Kemampuan menempatkan diri tersebut berkaitan dengan kecerdasan emosional yakni bagaimana seseorang bersikap dalam merespon situasi yang sedang dihadapinya. Setelah seseorang berhasil keluar medan persaingan sebagai pemenang, terdapat satu rasa yang kemungkinan menyeruak dalam bathin.
ADVERTISEMENT
Zohar dan Marshall (2001) menyatakan bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai. Dengan kecerdasan spiritual seorang pemimpin menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas, kaya dan berorientasi pada nilai-nilai luhur. Iklim lingkungan dan hubungan kerja didasarkan pada saling menghargai, kepercayaan dan keadilan.
Studi oleh Fry (2003) menunjukkan bahwa pemimpin transformatif yang mempraktikkan kecerdasan spiritual cenderung lebih mampu menghadapi tekanan, mengelola konflik, dan membuat keputusan yang berpihak pada kebaikan bersama. Mereka mampu mengintegrasikan nilai-nilai moral dan etika ke dalam praktik kepemimpinan mereka, menciptakan lingkungan kerja yang mempromosikan pertumbuhan individu dan kolektif.
Studi oleh Farid et al. (2018) menyoroti pentingnya konteks budaya dalam memahami peran kecerdasan spiritual dalam kepemimpinan transformatif. Mereka menemukan bahwa di lingkungan kerja Indonesia, pemimpin yang menghargai dan mempraktikkan nilai-nilai spiritual lokal memiliki dampak yang lebih besar dalam menggerakkan perubahan budaya organisasi.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan kemudian adalah apakah kecerdasan spritual tersebut merupakan anugerah bawaan ataukah dapat ditumbuh-kembangkan. Kecerdasan spritual merupakan potensi yang dimiliki oleh setiap individu manusia. Tanpa kecerdasan spiritual tidak akan ada pertanyaan eksistensial mendasar manusia mengenai dari mana asalnya, apa tujuannya di dunia dan bagaimana setelah kehidupannya berakhir di dunia. Karenanya potensi tersebut dapat ditumbuh-kembangkan.
Tumbuh-kembang tersebut hanya terjadi dalam proses pembelajaran berkelanjutan (continuous learning). Setiap kali individu merasa puas atas pencapaiannya, pada titik itu pula ia terperangkap dalam kejumudan. Secara sederhana, pembelajaran berkelanjutan memuat 3 proses. Pertama, learning how to learn yakni proses membuka diri terhadap paradigma baru. Kedua, learning how to unlearn yakni proses evaluasi terhadap paradigma lama. Dan ketiga, learning how to relearn yakni proses menemukan kebijaksanaan baru baik dari paradigma lama maupun paradigma baru.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, di tengah dinamika perubahan yang terus berlangsung, peran kecerdasan spiritual dalam kepemimpinan transformatif menjadi semakin penting dalam membentuk masa depan organisasi yang berkelanjutan dan berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan.