Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Sekolah Rakyat: Simfoni Akses Atau Irama Diskriminasi?
8 Mei 2025 15:38 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Jumansi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Saya masih ingat betul masa-masa ketika bersekolah di sekolah menengah atas (SMP) di kampung halaman. Pada salah satu pelajaran sejarah, guruku dengan penuh semangat bercerita tentang peristiwa, saat bom menghancurkan kota Hiroshima dan Nagasaki. Bukan hanya bangunan yang runtuh, tetapi juga sendi-sendi kehidupan warganya yang luluh lantak. Namun, ada satu hal yang tertanam kuat dalam ingatan saya: setelah peristiwa itu, yang pertama dicari oleh pemerintah Jepang adalah para guru. Ini menunjukkan bahwa pendidikan memegang peranan vital dalam membangun kembali bangsa, lebih dari sekadar memperbaiki kerusakan fisik ia adalah roh yang menghidupkan kembali harapan dan peradaban.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Indonesia, pendidikan juga mendapat tempat yang luhur dalam konstitusi. Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan, "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan." Amanat ini diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), Pasal 5 Ayat (1), yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan bermutu secara setara. Tidak berhenti pada hak akses, Pasal 3 UU Sisdiknas menegaskan bahwa pendidikan harus diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan, tanpa diskriminasi, serta menghormati hak asasi manusia.
Namun, pertanyaan yang perlu kita ajukan: apakah sistem pendidikan formal yang sudah ada, baik di sekolah negeri maupun swasta, telah sepenuhnya mewujudkan cita keadilan tersebut? Memang benar, lembaga pendidikan tersebar hampir di seluruh penjuru negeri, namun jurang akses dan mutu masih lebar menganga, terutama di daerah-daerah tertinggal dan bagi keluarga prasejahtera.
ADVERTISEMENT
Dalam semangat memperluas kesempatan, lahirlah gagasan pendirian Sekolah Rakyat. Sekolah ini diharapkan menjadi jawaban bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu dengan menyediakan pendidikan berkualitas yang dilengkapi fasilitas asrama dan pembiayaan penuh. Sebuah inisiatif mulia untuk membuka jalan menuju pendidikan yang lebih adil.
Namun, niat baik tersebut tetap membutuhkan pertimbangan matang. Bayangkan dua orang tua bertemu di pasar, sembari memilih sayuran, lalu salah satunya bertanya, "Anakmu sekolah di mana?" Atau anak-anak yang tengah bermain bola di lapangan, saling bertanya di mana mereka belajar. Jika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sederhana itu mengindikasikan strata sosial, maka kita berisiko menciptakan sekat-sekat baru yang justru bertentangan dengan tujuan pendidikan itu sendiri.
Pendidikan seharusnya menjadi kekuatan pemersatu, bukan alat pembeda. Bukannya membuka jalur-jalur yang membedakan, seharusnya kita memperkuat sistem pendidikan formal yang ada dengan meningkatkan akses dan kualitasnya. Beasiswa, penyediaan asrama, serta program pendampingan yang kuat bisa menjadi solusi agar anak-anak dari keluarga tidak mampu tetap dapat menikmati pendidikan berkualitas bersama-sama dengan anak-anak lainnya.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana diamanatkan dalam kerangka yuridis dan norma teoritis, pendidikan yang demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif adalah fondasi utama bagi terciptanya masyarakat adil dan beradab. Pendidikan sejatinya bukan hanya soal menyediakan ruang di kelas, tetapi juga soal merajut rasa, memperkuat solidaritas, serta menanamkan keyakinan bahwa setiap anak Indonesia, dari manapun asalnya, memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk bermimpi dan mewujudkan masa depan.
Dengan prinsip ini, kita berharap akan lahir sebuah ekosistem pendidikan yang menyatukan perbedaan, memperkaya kebersamaan, dan menjunjung tinggi martabat manusia, demi Indonesia yang lebih inklusif dan berkeadilan.