Hati-hati Terhadap Bahaya Laten Sikap Primordialisme

JUNAEDI
Tim Media pada Yayasan Sanggar Inovasi Desa (YSID) sebuah lembaga desa yang mendokumentasikan praktik-praktik baik di Desa Panggungharjo. suka nulis, suka baca, suka makan, suka travelling, suka cuci mata juga dan suka-suka kamulah
Konten dari Pengguna
27 September 2021 19:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari JUNAEDI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam sajak yang berjudul Persetujuan dengan Bung Karno (1948), ada kutipan menarik di bait terakhir yang berbunyi :
ADVERTISEMENT
***
Pernikahan adat Suku Kulawi Foto: Antara/Fiqman Sunandar
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia mencatat bahwa salah satu kegagalan beberapa perlawanan bangsa Indonesia melawan penjajah pada masa lalu (sebelum tahun 1908) adalah perjuangannya masih bersifat kedaerahan dan masih dipimpin oleh tokoh-tokoh kharismatik, seperti tokoh agama atau bangsawan setempat. Ditambah belum adanya rasa nasionalisme. Dan mudah dipengaruhi oleh politik devide et impera. Patut diduga bahwa pada masa lalu sikap masyarakat kita masih primordialisme dan etnosentrisme.
***
Kehidupan di kota-kota besar berbeda dengan kehidupan di desa-desa. Pola relasi yang dipraktikkan di perumahan-perumahan elite, klaster-klaster mewah tertentu berbeda dengan pola relasi yang sudah berjalan bertahun-tahun di perkampungan di pedesaan. Orang-orang kota lebih menutup diri, lebih eksklusif dibanding orang-orang desa. Misalkan, ketika ada tamu yang bertanya tentang di mana rumah si A atau rumah si B jarang tetangga kompleks yang mengetahuinya. Kebanyakan penghuni kompleks lebih individualis, hanya memikirkan kepentingan sendiri (egosentrisme). Dan patut diduga bahwa orang-orang kota suka bersikap eksklusivisme.
ADVERTISEMENT
***
Kehidupan yang ketiga, adalah kehidupan di kampung saya sendiri. Saya hijrah pada sekitar tahun 1990-an dari Pemalang ke sebuah kampung di Desa Panggungharjo, salah satu desa dari sekian desa yang ada di Kabupaten Bantul. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Ketika saya baru pertama kali pindah ke kampung tersebut, sepertinya kehadiran saya di beberapa forum rapat RT maupun RW waktu itu (sekarang di Bantul tidak ada RW) sepertinya ada yang kurang menyukai eksistensinya saya. Alasannya saya adalah warga pendatang bukan warga asli (pribumi) kampung sini. Jadi warga pendatang tidak boleh mengatur-atur warga asli (pribumi) dengan pendapat, ide atau gagasan, pada kampung baru yang baru saya tempati tersebut, dengan beberapa pendapat, ide atau gagasan. Apalagi ada warga pendatang mau menjadi pemimpin jangan mimpi sudah pasti akan mereka halang-halangi dengan seribu satu cara. Dan patut di duga ini adalah bagian dari sikap primordialisme warga masyarakat.
ADVERTISEMENT
Saat ini, warga pribumi kampung yang tempati mulai menyadari bahwa yang mengubah cara pandang, cara berpikir, untuk melakukan pembangunan baik fisik maupun non fisik, yang menggagas semua program pembangunan, yang menjadi imam musala, yang menjadi rois tahlilan adalah warga pendatang semua. Saat ini, warga pribumi bisa menerima dengan lapang dada dan menyadari sepenuhnya akan ketidakmampuan sumber daya manusia warga pribumi.
***
Kita semua harus menyadari bahwa Indonesia yang terdiri dari 17.000 pulau, 500 bahasa daerah, dan 1300-an suku bangsa menurut data BPS tahun 2010. Maka sudah seyogyanya kita senantiasa bersikap sebagai warga negara Indonesia, yang multikultural dan berada dalam lingkungan kemajemukan. Jadi sudah selayaknyalah menghindari pemikiran-pemikiran atau sikap-sikap negatif yang dapat mengundang konflik-konflik sosial atas nama agama, ras, etnik, suku bangsa, keluarga atau ikatan darah, perbedaan jenis kelamin dan sebagainya. Ada tiga bentuk sikap yang dapat memicu konflik sosial dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat.
ADVERTISEMENT
Pertama, primordialisme. Primordialisme adalah suatu perasaan-perasaan yang dimiliki oleh seseorang yang sangat menjunjung tinggi ikatan sosial yang berupa nilai-nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang bersumber dari etnik, ras, tradisi, dan kebudayaan yang dibawa sejak seorang individu baru dilahirkan.
Kedua, eksklusivisme. Ekslusivisme adalah sering memunculkan sikap atau perilaku yang berbeda. Contoh murid pintar hanya mau berteman dengan anak yang mempunyai latar belakang yang sama dengan dirinya.
Ketiga, etnosentrisme. Etnosentrisme adalah sikap menilai jika budaya, agama, rasa tau golongan kelompoknya jauh lebih baik disbanding lainnya. Sikap yang berlandaskan pada kelompok atau kebudayaan sendiri juga diikuit sikap atau pandangan meremehkan kelompok lainnya.
***
Saat ini, menurut pandangan saya masih ada perorangan, lembaga, komunitas, atau warga masyarakat yang masih menggunakan isu primodialisme dalam kampanye kontestasi pemilihan kepala daerah, seperti yang pernah terjadi dalam kontestasi Pilkada Bantul tahun 2016-2021 dan tahun 2021-2024. Apa yang dilakukan oleh Harsono dan tim suksesnya selama dua kali kontestasi Pilkada Bantul adalah sikap pejabat daerah (politisi) yang sebenarnya dapat memicu adanya konflik sosial.
ADVERTISEMENT
Pada periode pertama (2016-2021) Harsono berhasil terpilih menjadi Bupati dengan menggunakan strategi primordialisme. Dan pada periode kedua (2021-2024) masyarakat Bantul sudah mulai cerdas sehingga strategi primodialisme ini tidak berhasil sehingga Harsono kalah dengan Abdul Halim, yang notabene mantan wakilnya di periode 2016-2021.
Serta masih ada beberapa pejabat, atau pemilik perusahaan yang dalam proses rekrutmen karyawannya berdasarkan persamaan agama, persamaan suku bangsa, dari keluarga atau ikatan darah (nepotisme), pilihan jenis kelamin. Ditambah masih ada yang merekomendasi lulusan PTN ternama, pernah aktif di organisasi milik ormas terbesar di Indonesia beserta afiliasinya, pernah mondok atau alumni pondok pesantren berpaham tertentu dan lain sebagainya.
***
Pengalaman pahit sejarah dan kegagalan beberapa perlawanan bangsa Indonesia melawan penjajah pada masa lalu (sebelum tahun 1908) bahwa masyarakat kita terlalu mudah diadu domba dengan politik devide et impera, dan belum adanya nasionalisme pada masa lalu seharusnya menjadikan pelajaran yang berharga bagi semua warga masyarakat agar tidak melakukan kesalahan yang sama di masa kini dengan selalu membangga-banggakan sikap-sikap primodialisme, eksklusivism,e dan etnosentrisme.
ADVERTISEMENT
Sudah saatnya masyarakat kekinian, meninggalkan sikap-sikap negatif di masa lalu tersebut dengan mengganti sikap-sikap positif seperti sikap nasionalisme, inklusivisme dan kemajemukan di masa kini. Memang ini bukanlah pekerjaan yang mudah tetapi butuh proses dan waktu yang panjang agar beradaptasi kebiasaan baru, berinovasi, berkreasi dan berkolaborasi antar semua elemen bangsa, dengan memegang prinsip bahwa perbedaan adalah rahmat dari Tuhan yang Maha Esa. Dengan berbhinneka tunggal ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia kita adalah sama. Di mata bangsa, negara, masyarakat dan agama kedudukan kita adalah sama. Ibarat kata pepatah duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.
JUNAEDI SE, esais Mbantul