Masyarakat Adat Suku Baduy Sebagai Penjaga Kelestarian Alam Indonesia

JUNAEDI
Tim Media pada Yayasan Sanggar Inovasi Desa (YSID) sebuah lembaga desa yang mendokumentasikan praktik-praktik baik di Desa Panggungharjo. suka nulis, suka baca, suka makan, suka travelling, suka cuci mata juga dan suka-suka kamulah
Konten dari Pengguna
29 Agustus 2021 6:59 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari JUNAEDI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ada yang menarik dari busana adat yang dikenakan Presiden Jokowi pada acara Pidato Kenegaraan Presiden RI tanggal 16 Agustus 2021 kemarin. Dalam acara pidato kenegaraan Presiden RI tersebut, Pak Jokowi mengenakan busana adat Suku Badui. Pertanyaannya kemudian, mengapa pilihan Pak Jokowi jatuh pada busana adat Suku Badui bukan suku-suku lainnya. Dari apa yang dikatakan Pak Jokowi saat itu, "desainnya sederhana, simpel, dan nyaman dipakai”.
ADVERTISEMENT
Busana adat Suku Badui yang dipakai oleh Pak Jokowi tersebut sebelumnya dipersiapkan oleh Pak Jaro Saija, Ketua Masyarakat adat Suku Badui. Mengapa Pak Jokowi mengenakan busana tersebut adalah sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan atas nilai-nilai dan adat Suku Badui. Apa sih menariknya adat Suku Badui. Menurut data di lapangan bahwa tidak ada satu pun warga adat Suku Badui yang sampai saat ini terkonfirmasi Covid-19.
Menurut cerita, konon katanya bahwa masyarakat adat Suku Badui adalah pengikut setia Prabu Pucuk Umun, anak dari Prabu Siliwangi yang beragama Hindu. Mereka melarikan diri ke lembah Pegunungan Kendeng dan Halimun karena kalah perang dengan Sunan Gunung Jati. Suku Badui terkenal dengan penganut animisme yang murni sebagai ajaran agama Sunda. Suku Badui terdiri dari Badui Luar dan Badui Dalam. Badui Luar adalah Badui yang sudah mengalami akulturasi (penyesuaian dengan masyarakat luar) sedangkan Badui Dalam adalah Badui yang masih menjaga orisinalitas dan originalitas nilai-nilai dan ajaran adat Suku Badui.
Foto Koleksi Dinas Pariwisata Provinsi Banten
Suku Badui Dalam terletak di ketingggian 800-an meter DPAL, dengan suhu rata-rata antara 20-22º , tidak ada polusi udara dan pencemaran lingkungan, air sungainya bening dan tak pernah kering sepanjang tahun, tidak ada listrik, hanya ada lampu minyak kelapa atau minyak jarak dengan sumbu sabut kelapa, masih ada suara burung dan binatang-binatang hutan.
ADVERTISEMENT
Suku Badui Dalam masih memegang teguh segala aturan dan pantangan, menjunjung tinggi agama, sengaja mengucilkan diri dari keramaian tetapi tidak terasing. menjalani keberlangsungan hidup tanpa fantasi dan variasi, bangun sebelum matahari terbit, ingin mewujudkan impian damai demi kepentingan bersama, setia menjaga kelestarian alam, menjaga disiplin dalam menjaga lingkungan, dan cara berpakaian (menganut aliran dada terbuka) serta menganggap orang lain tidak suci.
Suku Badui Dalam, melarang beberapa hal yang menjadi pantangan, seperti menganggap merokok adalah hal yang tabu (mereka hanya menyusur tembakau). Melarang adanya hal-hal yang tidak diperbolehkan oleh nenek moyang mereka, antara lain sebagai berikut: menyalakan radio, kamera, membeli minyak tanah, perkakas buatan pabrik, perlengkapan mandi pabrikan, membunuh manusia, mencuri, merampas, menipu, mabuk-mabukan, poligami, tidur terlalu lelap, menari, menyanyi, memakai emas permata, menanam kopi dan cengkeh, menanam bunga-bungaan untuk berhias diri, menebang pohon di waktu musim hujan.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar mata pencaharian mereka adalah berladang (bertani), berburu, menyadap nira aren, dan mencari sarang tawon. Dalam melakukan masa panen dan musim tanam diatur, dan didahului dengan upacara adat yang disebut dengan upacara Seba. Upacara Seba ini merupakan kelanjutan dari para sesepuh mereka. Biasanya dalam upacara adat ini, mereka mengeluarkan seperangkat musik angklung yang dianggap sakral dari Balai Desa untuk dimainkan. Sebagai rasa berterima kasih atas hasil panen, setahun sekali warga memberikan sebagian hasil bumi ke Residen ( Bapak Ageung) Banten di Serang. Acara panen dan tandur biasanya dilakukan secara bersama, secara tolong menolong.
Suku Badui Dalam dipimpin oleh seorang Puun. Puun adalah panutan seluruh warga menuju jalan dunia akhirat. Jabatannya diwariskan turun-temurun. Dalam kepercayaan Badui, Puun adalah manusia berdarah titisan Sanghiyang Batara Tunggal, yang bertugas menyampaikan amanat dan petunjuk kepada anak turunnya. Apa katanya selalu dituruti. Tapi ia tidak sewenang-wenang.
ADVERTISEMENT
Dalam kepemimpinan Puun dibantu oleh pasukan Gojin, yang bertugas menghancurleburkan barang-barang produk pabrik atau tanaman-tanaman yang dianggap tabu. Tugas pasukan Gojin menyusuri rumah-rumah di 27 Kampung Badui, dalam waktu sebulan. Jika pasukan Gojin turun, warga Badui Luar tidak berani bertindak apa-apa.
Dalam beberapa catatan adat Suku Badui, fungsi istri hanya meladeni kebutuhan biologis. Tetapi pada praktiknya para istri membantu suami menyiangi rumput di sawah. Mereka bekerja bahu-membahu. Seperti yang telah telah dinasihatkan para sesepuh ketika masa pelaminan dulu. Tak ada istilah mengeksploitasi lelaki atau sebaliknya.
Tak ada kamus cerai, apalagi sampai punya istri simpanan pada rumah tangga mereka. Keributan rumah tangga tak pernah terdengar. Dari sebuah perkawinan, rata-rata ditargetkan punya empat anak saja. Untuk menjarangkan kelahiran, ada ramuan tradisional bernama Wajor Nira Aren dicampur Kayu Garu yang telah diasamkan. Minuman ini rasanya hangat. Berfungsi juga sebagai obat masuk angin, pegel-pegel, atau penambah tenaga.
ADVERTISEMENT
Anak-anak Badui Dalam bersahaja. Dunia mereka adalah emperan rumah panggung dan sungai. Tidak ada yang sekolah. Pelajaran angka dan budi pekerti ditularkan lewat ingatan dari mulut orang tua. Budi pekerti yang diajarkan adalah semua aturan dan pantangan adat Suku Badui Dalam. Dalam adat Suku Badui, untuk mewujudkan impian damai, semua warga harus tertib dan taat melakukan apa saja yang jadi kepentingan bersama.
Demikian dalam keterpencilannya, mereka menghayati kebijaksanaan yang mengandung kiat kelestarian. Mereka tidak hanya berdisiplin dalam lingkungan, juga menjaga diri lewat cara berpakaian. Misalnya warna busana adat Suku Badui Dalam adalah Putih. Bagian bawahnya yang cuma dililitkan, berwarna biru kehitaman. Bagian itu tak berkancing, tak berkerah leher, dan berlengan panjang.
ADVERTISEMENT
Buatan tangan tak boleh menggunakan mesin jahit. Disebut Jamang Sangsang karena memakaianya hanya disangsangkan, dililitkan begitu saja. Selain baju dan kain yang dililitkan begitu saja, ada ikat yang tak lepas dari kepala. Ikat kepala itu menjadi penutup rambut mereka yang panjang. Mereka sebagian masih menganut aliran dada terbuka dengan spontanitas alami, sehingga tak menimbulkan kesan jorok.
Sampai saat ini, masyarakat adat Suku Badui Dalam masih memegang teguh aturan dan larangan secara ketat serta menjunjung tinggi agama. Jujur secara pribadi, saya jadi banyak belajar dari praktik-praktik baik yang sudah diajarkan oleh masyarakat adat Suku Badui. Terima kasih Pak Jokowi yang telah menginspirasi saya untuk belajar pengetahuan dari masyarakat adat Suku Badui. Suku Badui Dalam ibaratnya sebagai penjaga kelestarian alam Indonesia. Sehingga tercipta keseimbangan alam semesta di Indonesia, atas perjuangan masyarakat adat Suku Badui Dalam yang masih menjunjung tinggi aturan, pantangan dan agama yang telah diwariskan oleh para leluhur mereka.
ADVERTISEMENT
(JUNAEDI , Tim Media Sanggar Inovasi Desa)