news-card-video
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

NU-isasi Aceh, Pragmatisme, dan Ulama Mengambang

Junaidi Al-Singkily
Fresh Graduate of Master of Art at UIN Kalijaga Yogyakarta, Awardee PBSB (Program Beasiswa Santri Berprestasi) Kementerian Agama 2022
23 Maret 2025 13:45 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Junaidi Al-Singkily tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pelantikan Pengurus Cabang NU Aceh Singkil Aceh oleh Ketua PWNU Aceh Lem Faisal; Sumber Gambar NU Online
zoom-in-whitePerbesar
Pelantikan Pengurus Cabang NU Aceh Singkil Aceh oleh Ketua PWNU Aceh Lem Faisal; Sumber Gambar NU Online
ADVERTISEMENT
Masyarakat Aceh merupakan mayoritas Muslim Sunni yang sangat berpegang teguh secara ketat (strict) pada Mazhab fikih Imam Syafi’i, Teologi As’ari-Maturidi, dan Tasawuf Ghazali-Junaidi Baghdadi. Implementasi pemahaman keagamaan ini termanifestasi pada beberapa sekelompok organisasi Islam yang di Aceh. Seperti PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah). Belakangan muncul dua poros kelompok organisasi Islam terbesar di Aceh antara pantai Barat-Selatan Aceh dan Pantai Timur-Utara Aceh, yaitu MPTT (Majelis Pengkajian Tauhid Tasawuf) dan majelis pengajian TASTAFI (Tasawuf, Tauhid, dan Fiqh).
ADVERTISEMENT
Tulisan ini lahir dari keresahan Penulis terhadap fenomena sosial-keagamaan masyarakat Aceh, khususnya para elite agama (ulama) setempat yang akhir-akhir ini berbondong-bondong masuk ke dalam Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia. Diantaranya pembesar-pembesar yang ada di TASTAFI kini menduduki posisi penting dan strategis di PWNU Aceh. Sebelum pembahasan ini lebih lanjut diulas, Penulis ingin menyatakan bahwa Penulis merupakan insider -mengkaji NU sebagai organisasi sendiri- karena Penulis merupakan kader murni Nahdlatul Ulama yang telah mengikuti kaderisasi melalui PMII di Medan dan GP Ansor Yogyakarta. Pengakuan ini penting sebagai refleksi seorang kader yang peduli terhadap organisasi NU, sehingga tulisan ini tidak dapat dipahami sebagai bentuk kebencian terhadap NU, melainkan berangkat dari kecintaan mendalam terhadap ideologi Nahdlatul Ulama.
ADVERTISEMENT
Ekspansi NU di Aceh
Masyarakat Aceh secara kultural dan amaliyah keagamaan memiliki kesamaan dengan NU, tetapi mereka tidak dapat sepenuhnya dianggap sebagai "NU kultural" -yakni kelompok masyarakat yang tidak tergabung dalam NU struktural sebagaimana yang ada di Jawa- disebabkan oleh perbedaan yang cukup signifikan dalam fikrah dan harakah antara Islam ala Aceh dan pemahaman Islam versi NU. Termasuk dalam pengimplementasian Islam di Indonesia, gerakan politik, dan lain-lain.
Menurut wawancara Penulis dengan salah satu Kyai NU di Yogyakarta, pada paruh waktu sebelum 2010, NU sulit diterima oleh ulama dan masyarakat Aceh. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara kultural (amaliyah) terdapat kesamaan antara NU dan masyarakat Islam Aceh, tidak secara otomatis hal tersebut menghasilkan keselarasan atau irisan dalam hal ideologis. Dengan deferensiasi yang ada, fenomena masuknya NU di Aceh dengan bergabungnya masyarakat (ulama) yang telah beririsan dengan organisasi Islam di Aceh disebut dalam tulisan ini sebagai ekspansi.
ADVERTISEMENT
Minim sekali data historis tentang keberadaan NU pertama kali hadir di Aceh. Namun perkiraanya NU telah ada di Aceh sekitar tahun 1960-an atau awal 1970-an (tidak ditemukan data secara pasti Ketua NU Periode awal). Hal ini didasarkan pada KONFERWIL NU (Konferensi Wilayah) terakhir adalah yang ke-13 (Kantor Kementerian Agama Wilayah Aceh, 2024), dengan asumsi bahwa NU di Aceh aktif menyelenggarakan KONFERWIL setiap lima tahun sekali. Fakta ini berbanding terbalik dengan Muhammadiyah, yang telah masuk ke Aceh sejak tahun 1920-an, dengan Ketua pertamanya adalah Gelumpang Payong. Sejak era kolonialisme Belanda, Islam di Aceh secara organisasi lebih banyak diwakili oleh PERTI (Persatuan Tarbiyyah Islamiyyah). Oleh karena itu, perdebatan keagamaan di Aceh berbeda dengan yang terjadi di Pulau Jawa, yang umumnya melibatkan Muhammadiyah dan NU. Di Aceh, perdebatan lebih sering terjadi antara Muhammadiyah dan PERTI. Masyarakat Aceh pun hanya mengenal istilah “kaum muda” (Muhammadiyah) dan “kaum tua” (PERTI). Dikotomi pemahaman keagamaan seperti ini juga umum terjadi di wilayah Melayu atau, dalam konteks Indonesia, di Pulau Sumatra (Kushimoto, 2012).
ADVERTISEMENT
Pragmatisme Politik atau Kesamaan Ideologi?
NU mulai masuk secara masif ke Aceh pada akhir era 2010-an ditandai dengan keberadaan pengurus cabang yang hampir seluruh di Kabupaten/Kota di Aceh terisi yang sebelumnya tidak terjadi. Memasuk era 2020-an bahkan telah terbentuk pengurus MWCNU di beberapa PCNU yang ada di Aceh. Oleh karena itu, muncul pertanyaan: apa yang menjadi landasan dan motivasi ulama-ulama Aceh saat ini untuk secara masif bergabung dengan NU?
Keislaman mayoritas masyarakat Aceh, yang sering disebut sebagai "kaum tua," memiliki perbedaan dalam pemikiran—baik dalam politik kebangsaan, ekonomi, sosial, maupun gerakan—dibandingkan NU. Sebagai contoh, dalam konteks interaksi sosial dengan komunitas non-Muslim, hampir seluruh Pengurus Cabang NU di salah satu daerah yang pernah mengalami konflik agama, termasuk insiden pembakaran gereja, berasal dari kelompok yang sebelumnya mendukung aksi demonstrasi pelarangan pembangunan gereja Kristen di daerah tersebut. Dengan kata lain, sikap NU di Aceh, yang cenderung berseberangan dengan nilai-nilai persaudaraan kebangsaan yang selama ini diusung NU secara nasional, menjadi tanda perbedaan yang mencolok.
ADVERTISEMENT
Penulis juga mencatat bahwa ulama di Aceh cenderung memandang NU sebagai organisasi biasa yang tidak membawa kekhasan Islam yang signifikan dibandingkan organisasi lain. Di Aceh, tidak ditemukan pengajian-pengajian NU yang secara eksplisit dilakukan oleh ulama-ulama yang tergabung dalam organisasi tersebut. Sebaliknya, mereka lebih banyak berafiliasi dengan organisasi Islam lokal seperti MPTT (Majelis Pengkajian Tauhid Tasawuf) dan Majelis TASTAFI (Tasawuf, Tauhid, dan Fikih), terutama pasca melemahnya peran PERTI di Aceh. Dengan demikian, Penulis menyimpulkan bahwa fenomena ulama Aceh yang berbondong-bondong bergabung dengan NU tidak dilandasi oleh kesamaan ideologi (the same ideology), melainkan lebih karena faktor lain yang masih memerlukan kajian lebih mendalam.
NU Semu, Ulama Mengambang, dan Terambang di Aceh
ADVERTISEMENT
Konsep “ulama mengambang” di Aceh dapat dipahami dengan meminjam istilah Moch Nur Ichwan dalam tulisannya “MUI, Gerakan Islamis, dan Umat Mengambang”. Ichwan mendefinisikan umat mengambang (floating ummah) sebagai umat Muslim yang tidak terafiliasi dengan organisasi keagamaan tertentu, tetapi mendukung isu-isu tertentu secara fleksibel. Sementara itu, umat terambang (floated ummah) adalah mereka yang sudah terafiliasi dengan organisasi tertentu, tetapi memilih pandangan yang berbeda dari organisasinya.
Kondisi ini mencerminkan fenomena ulama Aceh yang berbondong-bondong masuk NU. Sebagian di antara mereka tidak terafiliasi dengan organisasi keagamaan tertentu namun memiliki kesamaan dalam beberapa isu, sehingga bergabung dengan NU sebagai ulama mengambang. Sementara itu, sebagian lainnya sudah terafiliasi dengan organisasi keislaman lokal seperti PERTI, MPTT, atau TASTAFI, tetapi memilih untuk bergabung dengan NU sebagai ulama terambang. Fenomena ini didorong oleh pragmatisme politik dan melemahnya posisi Aceh dalam dinamika nasional. Keberadaan NU yang diisi oleh ulama mengambang dan terambang di Aceh berdampak pada lemahnya penerimaan wacana keislaman NU seperti Islam Nusantara, Fikih Peradaban, dan Humanitarian Islam. Wacana-wacana tersebut sering mendapat resistensi atau bahkan penolakan.
ADVERTISEMENT
Penolakan ini bukan hanya karena perbedaan ideologi, tetapi juga mencerminkan jarak historis dan sosiologis antara NU nasional dan konteks lokal Aceh. Aceh, sebagai Serambi Mekkah, memiliki tradisi Islam yang konservatif dan berakar kuat pada nilai-nilai lokal. Akibatnya, gagasan progresif NU sering dianggap tidak sesuai dengan karakter keislaman Aceh. Selain itu, kurangnya kader NU yang mampu menjembatani wacana nasional dengan konteks lokal memperbesar kesenjangan ini. Akibatnya, NU di Aceh sering kali hanya menjadi simbol semata tanpa memiliki pengaruh yang signifikan dalam diskursus keagamaan atau sosial-budaya wilayah tersebut.