Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kritis ala Matematika dan Hashtag Jangan Bayar Pajak
9 Maret 2023 15:01 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Junaidi Fery Efendi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa hari ini dunia maya banyak sekali hashtag jangan bayar pajak. Tentunya hal ini dipengaruhi oleh terungkapnya salah satu oknum pejabat banyak yang harusnya taat bayar pajak namun yang terjadi malah sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Kasus ini terungkap dilatarbelakangi oleh gaya hedon anak pejabat pajak yang sering menampilkan harta kekayaannya di media sosial. Tentu hal itu membuat para netizen semakin kepo terhadap barang yang dia pamerkan.
Terlepas dari persoalan tersebut, ada hal menarik yang menggugah penulis untuk menelusuri persoalan tersebut dari kaca mata berbeda. Berbeda dalam hal ini dilihat dari perspektif matematika.
Indonesia Kaya Tapi Banyak Utang
Bukan rahasia ungkapan bahwa negara ini kaya akan segala hal, namun kenyataannya negara ini masih terjerat utang yang jumlahnya fantastis. Salah satu pemasukan terbesar pendapatan negara adalah pajak. Berbagai cara digunakan pemerintah untuk menaikkan pemasukan dari sektor pajak, salah satunya adalah pajak penghasilan yang menghebohkan masyarakat. Penghasilan di atas angka Rp 5 juta saat ini harus dikenakan pajak.
ADVERTISEMENT
Pemerintah lupa bahwa gaji sebesar itu tentu akan pas-pasan dengan kondisi naiknya harga komoditas yang ada di Indonesia. Meskipun berat, rakyat tetap saja harus patuh pada aturan negara ini. Mau tidak mau ya harus bayar pajak.
Secara matematis ketika ada kenaikan pada angka maka harus selaras dengan angka kenaikannya, atau dalam bahasa matematis berbanding lurus dengan angka yang dinaikkan. Namun nyatanya tidak begitu. Apa sebenernya yang salah? Apakah para pejabat penarik pajak tidak cukup punya kemampuan literasi matematika yang baik? Tapi sepertinya tidak mungkin karena sebelum menjadi pejabat di situ sudah ada tes matematika yang harus mereka kerjakan dan buktinya mereka lulus dan sekarang menjadi pejabat negara.
Korupsi Mengecoh Hitungan Matematis
Hal seharusnya seperti yang saya sampaikan, ketika ada kenaikan angka maka berbanding lurus dengan hasilnya. Namun masyarakat sekarang sudah mulai cerdas bahwa ada yang salah dalam operasi bilangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Apa yang salah, jelas perilaku korup yang sudah menjadi karakter pejabat tersebut. Secara matematis sudah benar, namun penempatan nominalnya yang seharusnya masuk ke kas negara justru masuk ke kas pribadi. Jadi tidak heran kalau kemudian rekeningnya berubah menjadi Rp 500 miliar.
Dari kasus tersebut, penulis meyakini akan ada peningkatan pada hasil pajak. Meskipun beberapa masyarakat enggan membayar pajak. Kenapa? Karena variable korupsi di lingkaran pejabat pajak akan dilihat secara serius oleh pemerintah. Sehingga salah masuk rekening dari kas negara ke kas pribadi semakin kecil kemungkinan.
Pendidikan Karakter dan Matematika
Pintar dalam matematika terkadang tidak membawa kebaikan dalam kehidupan kita bernegara. Semakin pintar matematika, semakin pintar juga mengubah angka untuk kepentingan pribadi. Maka perlu menjadikan pendidikan karakter sebagai basis mempelajari matematika. Pintar matematika harus memberikan manfaat bagi orang banyak, bukan malah sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Memasukkan nilai-nilai luhur dalam setiap pembelajaran matematika menjadi penting, agar peserta didik paham bahwa hal-hal yang dilarang baik dalam konteks agama, sosial berimplikasi terhadap persepsi seseorang terhadap ilmu matematika. Dari kasus ini kita perlu belajar bahwa pintar apabila tidak dalam posisi yang tepat maka akan menjadi penyakit bagi banyak orang, dan penyakit ini perlu disembuhkan melalui pendidikan matematika yang berkarakter.