Konten dari Pengguna

Mendesak, Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Jiwa

Juneman Abraham
Psikolog Sosial dan Guru Besar Psikologi pada Universitas Bina Nusantara. Pengurus Pusat, Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI). Menekuni Psikologi Korupsi, Psikoinformatika, dan Psikologi Kebijakan Publik.
17 Mei 2021 7:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Juneman Abraham tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah-tengah persoalan kesehatan jiwa di masyarakat yang diperparah kondisi pandemi Covid-19, perkembangan global Revolusi Industri 4.0, serta proses Rancangan Undang Undang Praktik Psikologi sebagai salah satu Prioritas Legislasi Nasional DPR RI, Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) menyelenggarakan Webinar “Kesehatan Jiwa dan Teknologi Informasi” pada Jumat, 30 April 2021 sekaligus meluncurkan Buku Seri Ke-5 Sumbangan Pemikiran Psikologi Untuk Bangsa, yang berjudul “Kesehatan Jiwa dan Resolusi Pascapandemi”. Sejumlah tokoh dan ahli ikut bergabung dan berbicara sesuai dengan bidangnya masing-masing untuk mendukung peluncuran buku ini.
ADVERTISEMENT
Ketua Umum HIMPSI, Prof. Dr. Seger Handoyo, menyampaikan bahwa buku yang diluncurkan merupakan salah satu kontribusi HIMPSI guna mendorong terbitnya Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Jiwa sebagai turunan UU 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Buku ini diharapkan berperan memperluas andil komunitas psikologi untuk memotivasikan promosi, pencegahan masalah kesehatan jiwa, menjadi referensi atau rujukan bagi bantuan konseling dan psikoterapi bagi masyarakat Indonesia yang mengalami masalah kesehatan mental.
Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan menyampaikan bahwa Kesehatan jiwa merupakan bagian dari strategi Presiden RI untuk menciptakan SDM yang unggul. Moeldoko menyampaikan fakta-fakta bahwa di Indonesia, kontributor terbesar penyebab kecacatan atau hidup dengan kondisi disabilitas (Years lived with disability/YLDs) adalah kondisi gangguan mental. Di samping itu, berdasarkan UU 18 Tahun 2014, Pemerintah berkomitmen menjamin hak setiap orang untuk menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, termasuk ODMK (Orang dengan Masalah Kesehatan Jiwa) dan ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa).
Webinar Kesehatan Jiwa dan Teknologi Informasi pada Jumat, 30 April 2021
Sejumlah program Pemerintah yang mendukung pelayanan kesehatan jiwa adalah (1) Penjaminan biaya pelayanan kesehatan jiwa oleh BPJS Kesehatan (menurut data 2018, klaim layanan kesehatan jiwa mencapai Rp 1,2 triliun, dengan kasus yang didominasi penyakit skizofrenia), (2) Pembuatan Panduan Sekolah Ramah Anak (SRA), dan (3) Penguatan layanan kesehatan jiwa selama pandemi Covid-19 melalui pedoman dan protokol terkait serta layanan Psikologi Gratis melalui SEJIWA (Sehat Jiwa) hotline 119 ext. 8.
ADVERTISEMENT
Terkait layanan SEJIWA yang merupakan inisiasi Kantor Staf Presiden bersama dengan Kemenkes, Kemenkominfo, KemenPPA, HIMPSI, BNPB, dan PT Telkom, Moeldoko menyampaikan bahwa success call ratio layanan ini adalah sebesar 95,95% dari panggilan masuk (received call) sebanyak 11.385 panggilan. Alasan utama penelepon layanan psikologi SEJIWA adalah masalah terkait keluarga atau dukungan sosial primer. Dalam pidato kuncinya, Moeldoko mengapresiasi dan mengakui peran besar HIMPSI serta para relawan SEJIWA atas kesuksesan layanan ini sejak 29 April 2020.
Moeldoko menekankan bahwa beberapa tantangan perlindungan kesehatan jiwa di Indonesia adalah (1) penguatan implementasi UU 18 Tahun 2014, termasuk RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) tentang Upaya Kesehatan Jiwa, (2) keperluan untuk dibentuknya pusat penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan teknologi kesehatan jiwa, dan (3) ketersediaan sumber daya kesehatan jiwa yang persebarannya masih terpusat di Pulau Jawa. Diperlukan kerja sama lintas sektor dan bersama dengan organisasi profesi dan mitra non-Pemerintah untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut serta melakukan upaya-upaya percepatan serta pemantauan dan evaluasi pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menteri PPPA, I Gusti Ayu Bintang Darmawati, menyampaikan bahwa mengakarnya budaya patriarki dan tajamnya ketimpangan sosial membawa risiko yang lebih besar dan tekanan khusus bagi kesehatan mental perempuan dan anak di masa pandemi Covid-19. Di samping itu, Ibu Bintang menyampaikan bahwa pembangunan SDM yang berkualitas dan berdaya saing adalah salah satu fokus utama Pemerintah pada saat ini, dengan cara mengatasi krisis kesehatan mental (salah satunya melalui layanan SEJIWA). HIMPSI diajak untuk terus terlibat dalam perumusan strategi pengembangan SEJIWA, melakukan riset sebagai landasan kebijakan, dan mentransformasikan ranah ilmiah ke dalam layanan kesehatan jiwa.
Sejumlah pejabat negara turut hadir dalam Peluncuran Buku Kesehatan Jiwa dan Resolusi Pascapandemi yang diterbitkan oleh HIMPSI
Dari Digital Health ke Sistem Terpadu Kesehatan Jiwa
Perwakilan WHO Indonesia, Dr. Tara Mona Kessaram mengapresiasi tanggapan yang tepat waktu dari komunitas psikologi, yang tercermin dari fokus buku ini pada pemulihan pascapandemi Covid-19. Menurutnya, pandemi telah memicu penemuan layanan kesehatan dalam bentuk digital health, yang menghadirkan lebih banyak layanan secara lebih cepat dan aksesibel bagi masyarakat. Pemberi layanan kesehatan juga dapat dilatih secara masif melalui internet.
ADVERTISEMENT
Pandemi sesungguhnya merupakan turning point (titik balik) bagi sistem kesehatan yang mempercepat kerja sama antar sektor, baik sektor sosial maupun kesehatan. Perwakilan WHO Indonesia mengucapkan selamat atas satu tahun layanan telekonseling SEJIWA di Indonesia yang memiliki dampak positif serta atas keputusan Pemerintah Indonesia untuk memperpanjang layanan SEJIWA selama satu tahun. SEJIWA dipandang memiliki potensi yang sangat besar di masa depan untuk memperluas layanan kesehatan kepada populasi yang lebih beragam dengan berbagai tingkat sosial ekonomi, usia, maupun posisi geografis (kota dan desa).
Dr. Tara mengharapkan terjadinya integrasi ekosistem digital layanan kesehatan yang mencakup seluruh dimensi layanan kesehatan, bukan hanya layanan telekonseling, namun juga kelompok-kelompok dukungan (support groups), asesmen diri (self-assessment), bantuan perawatan diri (self-care) untuk perorangan maupun keluarga. Prinsip-prinsip ekosistem kesehatan ini adalah Keadilan (Equity), Akses (Access), dan Cakupan Universal (Universal Health Coverage/UHC) atau No One Left Behind (Tidak Seorangpun yang Ditinggalkan).
ADVERTISEMENT
Layanan kesehatan digital, menurut Dr. Tara, perlu untuk menjadi berbasis komunitas (community based) yang melibatkan bukan hanya engagement masyarakat, keterampilan adopsi teknologi, dan partisipasi oleh pengguna layanan, akan tetapi juga pendidikan dan pelatihan dari pihak penyedia layanan (providers). Redesain platform digital health sesuai dengan kebutuhan dan perspektif dari berbagai kelompok masyarakat (seperti perempuan, anak, dan kelompok disabilitas) adalah perlu, atau disebut juga "Inclusivity by Design".
Sentuhan manusiawi (human touch) dan penekanan pada kepedulian (care) dalam digital healthcare adalah hal yang kita tuju sebagai outcome layanan, bukan semata-mata digitalisasinya. Dr. Tara menekankan bahwa dalam rangka mengadvokasi hak-hak asasi manusia penyandang masalah kejiwaan, maka baik layanan dasar (basic services) maupun layanan khusus (specialized services) sama-sama perlu diupayakan oleh komunitas psikologi Indonesia untuk menjangkau kelompok-kelompok masyarakat yang beragam.
Perwakilan WHO (Badan Kesehatan Sedunia) di Indonesia menyampaikan pesan khusus.
ADVERTISEMENT
Perubahan Konsep Rumah Sakit Jiwa dan Advokasi Psikoterapi
Dr. Siti Khalimah, Sp.K.J., Direktur P2 Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kemenkes menekankan bahwa komunitas psikologi, dengan bersinergi dengan berbagai unsur masyarakat lainnya sesuai kewenangannya, dapat berperan mengupayakan kesehatan jiwa masyarakat melalui deteksi dini masalah kesehatan jiwa, intervensi dini, pemerataan akses layanan primer, kemitraan dan pemberdayaan, serta upaya kesehatan jiwa berbasis masyarakat, termasuk inklusi sosial.
Rumah-rumah sakit jiwa diharapkan sebagai center of excellence dalam kesehatan jiwa di wilayahnya. Hal tersebut perlu diikuti dengan perubahan konsep pelayanan kesehatan jiwa di rumah sakit jiwa, yakni dari konsep lama (yang bersifat institusional, mengutamakan kontrol, dan berorientasi pada pengurangan gejala gangguan jiwa) menjadi konsep modern (yang bersifat non-institusional, home like, mengutamakan kenyamanan dan hak-hak pasien, serta berorientasi pada pemulihan dan kualitas hidup). Kendati demikian, screening, asesmen, dan penatalaksanaan awal terhadap masalah-masalah kesehatan jiwa penting melibatkan peran serta HIMPSI dan komunitas pendidikan baik sekolah maupun perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Dr. Siti menyampaikan bahwa SEJIWA telah berkiprah aktif dan luas dalam menangani 95% masalah kejiwaan yang bersifat non-patologis dan membutuhkan pertolongan awal (first aid). Lebih lanjut, layanan rujukan profesional bagi 5% masyarakat yang menderita psikopatologi juga tetap harus diupayakan. Sehubungan itu, Dr. Siti mengajukan tantangan kepada masyarakat psikologi untuk meyakinkan Pemerintah bahwa psikoterapi merupakan suatu tindakan yang berbasis bukti (evidence based) sehingga dapat ditanggung pembiayaannya oleh asuransi kesehatan.
Perwakilan Kementerian Kesehatan meminta agar komunitas psikologi untuk memberikan pendasaran bagi psikoterapi sebagai sebuah tindakan berbasis bukti ilmiah, sehingga dapat di-cover oleh asuransi kesehatan seperti BPJS Kesehatan.
Pengarusutamaan Isu Kesehatan Jiwa
Dr. Ninok Leksono, Rektor Universitas Multimedia Nusantara dan Redaktor Senior Kompas, selaku penanggap, meminta agar isu kesehatan jiwa digaungkan atau diarusutamakan melalui media massa. Menurutnya, isu ini semakin mendesak di era pandemi, khususnya karena adanya peningkatan jumlah orang miskin, yang ditandai dengan ketegangan-ketegangan di dalam rumah tangga maupun komunitas.
ADVERTISEMENT
Ia berharap bahwa kita dapat keluar dari pandemi sebagai penyintas (survivor) yang sehat, waras, dan bermartabat. Ia menambahkan bahwa masyarakat pada dasarnya memiliki dua macam kebutuhan sehubungan penggunaan media, yaitu (1) memuaskan rasa ingin tahu mengenai berbagai hal tentang perkembangan masyarakat, dan (2) berbagi dengan lingkungan, agar tidak tertekan sendiri. Walau demikian, kebutuhan ini memiliki risiko habisnya waktu seseorang untuk mengkonsumsi media sosial, serta risiko berjumpa dengan hoaks di media sosial. Untuk itu, Dr. Ninok Leksono mengajak untuk membatasi diri dengan merenungkan, "Apa yang perlu kita ketahui?", agar tidak terjadi kelebihan beban kognitif (cognitive overload) dan kelelahan (cabin fatigue).
Terkait dengan peran HIMPSI, Dr. Ninok menekankan bahwa Psikologi merupakan sebuah ilmu yang memerlukan duta (ambassador), sehingga masalah-masalah yang diurus oleh HIMPSI dapat dikenali oleh masyarakat. Literasi dan edukasi tentang masalah-masalah psikologi merupakan metode untuk memasyarakatkan psikologi dan layanannya kepada media massa maupun masyarakat umum. HIMPSI terus diharapkan berkiprah untuk menunjukkan empati dan memberikan pertolongan serta penggalangan bantuan bagi orang-orang yang didera oleh pemasalahan kejiwaan. Dalam hal ini, psikologi tidak lagi cukup menggunakan pendekatan uni-disipliner. Psikologi perlu memahami latar belakang sosial-ekonomi masyarakat dan menggunakan pendekatan multi-disipliner.
ADVERTISEMENT
Data bibliografik buku Kesehatan Jiwa dan Resolusi Pascapandemi di Indonesia, kini sudah dapat dinikmati melalui http://publikasi.himpsi.or.id
Kesehatan Jiwa di Indonesia: Dari Sejarah hingga Kiprah
Mengenai isi buku, Dr. Tjipto Susana mewakili Tim Editor Buku HIMPSI, yang terdiri atas Prof. A. Supratiknya, Dr. Tjipto Susana, Dr. Rahkman Ardi, dan Dr. Juneman Abraham, menyampaikan bahwa Buku “Kesehatan Jiwa dan Resolusi Pascapandemi di Indonesia” menghimpun 33 tulisan dari 45 penulis dan terdiri dari 780 halaman serta dapat diakses melalui http://publikasi.himpsi.or.id. Buku ini pada hakikatnya merupakan tanggapan atas perkembangan kondisi kesehatan jiwa di Indonesia, yang semakin memberikan tantangan dengan adanya pandemi COVID-19.
Bagian pertama merupakan prolog yang berisi tulisan Iwan W. Widayat, yang mempunyai latar belakang pendidikan di bidang psikologi, tetapi juga mempunyai passion yang kuat dalam kajian sejarah. Tulisan beliau yang berjudul “Kesehatan Jiwa di Indonesia dalam Perspektif Sejarah”, membawa pembaca pada perjalanan transformatif layanan kesehatan jiwa di Indonesia dari pendekatan pengurungan hingga pengembangan pendekatan komunitas yang lebih mengarah pada optimalisasi kesehatan jiwa berbasis masyarakat. Perspektif sejarah dalam tulisan ini sangat membantu memberikan pemahaman kontekstual pada isu-isu kesehatan jiwa di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Bagian kedua ini diawali dengan tulisan Ibu Dr. Siti Khalimah, SpKJ, MARS, Direktur Pencegahan dan Pengendalian (P2) Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Kementerian Kesehatan RI yang memaparkan tentang Perkembangan Layanan Terkini Kesehatan Jiwa Di Indonesia. Tulisan beliau diperkuat oleh pemaparan Ibu Eunike Sri Tyas Suci yang berjudul “Layanan Kesehatan Jiwa di Indonesia”, terutama pada bagian bagaimana model layanan kesehatan jiwa yang optimal di Indonesia. Sebanyak 11 tulisan mengupas layanan kesehatan jiwa, layanan berbasis komunitas, dan penguatan keluarga
Bagian ketiga berisi kumpulan tulisan tentang isu-isu kesehatan jiwa selama pandemi COVID-19. Ada 9 tulisan di bagian ketiga. Dua tulisan awal pada bagian ini tentang upaya HIMPSI dalam intervensi kesehatan mental di masa pandemi COVID-19. Pertama adalah tulisan Anrilia E.M. Ningdyah (Ketua Kompartemen 7 Hubungan Nasional dan Internasional HIMPSI). Kedua adalah tulisan Andik Matulessy (Sekretaris Jendral HIMPSI).
ADVERTISEMENT
Bagian keempat diberi judul “Adaptasi Kebiasaan Baru dan Kesehatan Jiwa” yang berisi 10 tulisan. Buku ini ditutup dengan dua tulisan reflektif tentang pentingnya melihat konteks dalam memahami kesehatan jiwa. Bagian epilog ini diawali oleh tulisan M.A. Subandi yang berjudul “Aspek Budaya dalam Kesehatan Jiwa”, dan diakhiri oleh Teguh Wijaya Mulya dengan tulisan yang berjudul “Kontestasi diskursif di balik konsep dan praktik kesehatan mental: Kekuasaan, kolonialisme, dan kapitalisme”.
Pesan Inti
Seluruh hal di atas memperlihatkan bahwa komunitas psikologi turut memperjuangkan Peraturan Peemerintah tentang Upaya Kesehatan Jiwa. Di samping itu, RUU Praktik Psikologi yang tengah bergulir di DPR RI ikut menunjang keberadaan profesi psikologi sebagai salah satu tenaga yang menangani kesehatan jiwa.
ADVERTISEMENT
Sejak tahun 2007, dalam sebuah Kuliah Umum tentang Kesehatan Jiwa di Jakarta, Sri Palupi dari Institute for ECOSOC Rights menyatakan kepada kita semua bahwa gangguan jiwa telah terjadi secara struktural, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun regional. "Jadi, bukan masyarakat miskin yang mengalami gangguan jiwa, namun semuanya," tandasnya dalam http://bit.ly/kesehatanmentalmasyarakat (2007). Oleh karena itu, sangat masuk akal apabila langkah-langkah pengurusan kesehatan jiwa juga mendesak untuk dilakukan secara struktural, diantaranya melalui regulasi atau perundang-undangan yang suportif terhadap kesehatan mental masyarakat.