Konten dari Pengguna

Tata Negara dan Tata Bahasa

Zulprianto
Dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
26 Agustus 2024 7:57 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zulprianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Unjuk rasa menolak RUU Pilkada di Jakarta. Sumber Foto: https://kumparan.com/kumparannews/serba-serbi-demo-tolak-ruu-pilkada-di-berbagai-daerah-23NewYEr5zB
zoom-in-whitePerbesar
Unjuk rasa menolak RUU Pilkada di Jakarta. Sumber Foto: https://kumparan.com/kumparannews/serba-serbi-demo-tolak-ruu-pilkada-di-berbagai-daerah-23NewYEr5zB
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Belakangan ini rakyat ‘terpaksa’ menonton beberapa drama politik di pentas nasional. Peristiwa ini termasuk pengunduran diri Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai Golongan Karya. Sampai saat ini, motif pengunduran dirinya masih menjadi misteri. Kursinya pun segera diambil oleh Bahlil Lahadalia. Peristiwa yang lain terkait dengan reshuffle kabinet oleh presiden di ujung rezimnya.
ADVERTISEMENT
Menteri PDIP, Yasonna Laoly, pun digantikan oleh politikus Gerindra, Supratman Andi Agtas. Seperti pengunduran diri Airlangga, alasan pencopotan Yasonna Laoly pun masih misterius kecuali reshuffle adalah hak prerogatif presiden. Yasonna Laoly sudah memimpin Kemenkumhan hampir sepuluh tahun, kurang dua bulan.
Tontonan lain terkait dengan demo mahasiswa di gedung DPR/MPR di Jakarta dan berbagai kota di Indonesia. Unjuk rasa ini dipicu oleh ulah DPR yang hendak menganulir keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan syarat kursi yang harus dikantongi partai politik agar dapat mengajukan calon kepala daerah.
MK memutuskan bahwa partai politik boleh mengajukan calon meskipun kursinya tidak mencapai 20%. Keputusan ini sejatinya menguntungkan bagi semua partai politik, baik yang besar maupun yang kecil, karena menjanjikan pilkada yang lebih demokratis karena diharapkan akan lebih banyak pasangan calon ikut berkontestasi. Demokrasi lebih sehat. Kenyataannya, partai-partai besar tidak melihat keuntungan demokratis dalam keputusan MK tersebut; buktinya, mereka menolaknya.
ADVERTISEMENT
Pemicu aksi demonstrasi lain berhubungan dengan penolakan DPR terkait dengan usia calon kepala daerah. MK memutuskan bahwa usia calon kepala daerah minimal 30 tahun. Keputusan ini pun hendak dianulir oleh DPR karena, konon kabarnya, dapat menjegal salah satu calon peserta pilkada keturunan penguasa. Sebagai informasi, partai-partai ini berada di pihak yang sama dengan sang penguasa.
Sebagian pengamat mengatakan tindakan DPR demikian tidak konstitusional. Dan drama-drama ini terjadi di bulan peringatan kemerdekaan bangsa ini. Ini pantas membuat kita miris.
Dua peristiwa terakhir tampaknya dapat disederhanakan sebagai konflik antara konstitusi dan penguasa, individu atau kolektif, atau, lebih sederhana lagi, antara hukum dan raja.

Raja dan tata bahasa

Saya ingin memberikan analogi lain untuk relasi antara hukum dan raja dari sudut pandang ilmu bahasa (linguistik). Relasinya: jika penutur adalah raja, tata bahasa (grammar) adalah hukum. Dalam hal ini, tata bahasa adalah hukum atau peraturan bahasa. Bertutur tanpa tata bahasa akan menjurus pada kegagalan komunikasi.
ADVERTISEMENT
Ada banyak ungkapan terkait dengan superioritas aspek tata bahasa dalam deskripsi dan penggunaan bahasa. Salah satunya berbunyi If words are flesh and grammar is bones (Jika kosakata adalah otot, tata bahasa adalah tulang). Otot bersifat elastis yang dapat menyimbolkan kefanaan atau kebimbangan sementara tulang bersifat padat, keras, dan kaku yang dapat melambangkan kepastian, keteguhan atau kestabilan walaupun ini tidak berarti bahwa tata bahasa sebuah bahasa tidak bisa berubah.
Idealnya, otot dan tulang bekerja bersama atau membutuhkan satu sama lain untuk dapat berfungsi secara baik. Namun, harapan dan kenyataan tidak selalu berbanding lurus. Langkah DPR menganulir keputusan MK dapat dilihat sebagai upaya membengkokkan tulang hukum.
Dalam konteks ini, raja dapat dimajaskan sebagai otot dan hukum sebagai tulang. Otot dibentuk oleh tulang. Manusia dan hukum yang diciptakannya sama-sama fana, tetapi, paling tidak, hukum sejatinya bertahan lebih lama atau lebih langgeng daripada manusia, apalagi segelintir manusia semata. Itu juga sebabnya kenapa hukum tidak diproduksi seperti layaknya memproduksi kebutuhan sehari-hari, seperti halnya tata bahasa.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, pesan yang terpenting dari metafora demikian adalah ide-ide tentang kelanggengan dan keadilan. Manusia mengandung sifat subjektifnya; hukum mesti bersifat objektif karena produksinya melibatkan kumpulan manusia-manusia dengan subjektivitasnya masing-masing; banyak subjektivitas menuju satu objektivitas.
Lebih lanjut tentang ungkapan di atas, kita biasanya memaklumi jika sebuah kata asing dipinjam ke dalam bahasa Indonesia. Namun, ketika tata bahasanya yang dipinjam, efeknya menjadikan bahasa terdengar tidak alami. Hal ini karena tata bahasa bekerja dengan melibatkan dua atau lebih kata yang membangun sebuah frasa atau proposisi yang lebih panjang.
Berbeda dengan tata bahasa, kata serapan yang berada pada tingkatan leksikal hanya mengakibatkan efek parsial sehingga tidak mengkhawatirkan. Dalam konteks ini, unjuk rasa mahasiswa sebagai respons terhadap ketidakalamian realitas (hukum) sangatlah dapat dipahami.
ADVERTISEMENT
Superioritas tata bahasa atas penutur juga tercermin dalam ungkapan Even a king bow to grammar (Bahkan raja pun tunduk pada tata bahasa). Jika tata bahasa adalah hukum, penguasa sejatinya tunduk-hormat pada hukum.
Kutipan superioritas tata bahasa dari Moliere. Sumber Foto: Shutterstock.
Lantas, apakah bahasa tidak bisa digunakan jika tata bahasanya rusak (jika harus dirusak juga)? Jawabannya bisa. Khususnya dalam komunikasi lisan. Namun, komunikasi dengan tata bahasa yang rusak sangatlah sulit bagi penutur (penguasa) dan lawan tutur (rakyat). Kita bisa mencoba berbahasa Inggris dengan turis Amerika di pantai dengan kosakata terbatas dan tata bahasa yang salah di sana-sini. Kita bisa mengeklaim kita saling mengerti.
Namun, tak dapat disangkal, komunikasi demikian sangat sulit dilakukan dan rawan misinformasi dan bahkan disinformasi; kita harus mengulangi ujaran, mengoreksi apa maksud kita, dan sebagainya. Dalam komunikasi tulis, kesulitannya menjadi lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Seperti halnya hukum, tata bahasa adalah konsensus yang memungkinkan penutur suatu bahasa bisa saling memahami. Seorang penutur baru (anak yang belajar berbicara) harus mengikuti tata bahasa ibunya. Dalam konteks ini, keberadaan tata bahasa sebenarnya memudahkan dan menguntungkan bagi semua orang atau bagi kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika tata bahasa berubah terus, penuturnya tidak akan bisa saling memahami yang pada gilirannya mengakibatkan ketidakstabilan dan akhirnya menghambat kemajuan.
Ilustrasi kegagalan berbegara. SUmber Foto: Shutterstock.
Keempat peristiwa politik di atas dikaitkan dengan kepentingan presiden oleh media sosial dan media asing (lihat misalnya berita dari BBC (22 Agustus 2024) dan New York Post (22 Agustus 2024). Peristiwa-peristiwa tersebut dihubungkan dengan upaya presiden untuk mempertahankan pengaruh kekuasaan politiknya dari belakang layar setelah pensiun. Jika demikian, kejadian ini kembali mengingatkan kita akan nafsu kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Secara khusus, saya teringat dengan novel berjudul 1984 karya George Orwell (1903-1950), seorang penulis Inggris dan sudah diterjemahkan oleh Landung Simatupang ke dalam Bahasa Indonesia (Cetakan 2003 dan 2014). Orwell mengatakan bahwa manusia terbagi ke dalam tiga golongan: Tinggi, Menengah, dan Rendah. Ketiga golongan ini memiliki kepentingan yang berbeda. Penguasa, dengan berbagai bentuk dan turunannya, termasuk ke dalam golongan Tinggi. Kata Orwell, tujuan hidupnya hanya satu: tetap menjadi penguasa.