Konten dari Pengguna

Tersesat di Museum

Zulprianto
Dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
15 Agustus 2024 11:05 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zulprianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang pengunjung yang mengenakan masker melihat patung marmer dari koleksi permanen di Museum Capitoline (Musei Capitolini) di Roma saat dibuka kembali pada 19 Mei 2020. Foto: Filippo Monteforte/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pengunjung yang mengenakan masker melihat patung marmer dari koleksi permanen di Museum Capitoline (Musei Capitolini) di Roma saat dibuka kembali pada 19 Mei 2020. Foto: Filippo Monteforte/AFP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di sekitar akhir bulan Juli 2024 lalu, sebuah informasi beredar yang berasal dari sebuah akun TikTok terkait dengan kasus salah terjemahan. Beritanya cukup membuat kaget netizen dan, tidak heran, segera menjadi viral berkat teknologi informasi yang mudah diperoleh dengan sekedar sentuhan ujung jari saja.
ADVERTISEMENT
Berita viral itu terkait dengan kesalahan penerjemahan teks di papan edukasi di Museum Adityawarman di Sumatera Barat. Secara khusus, gagal-terjemahan yang dimaksud adalah penerjemahan satu kata dalam bahasa sumber (Bahasa Indonesia) ke dalam bahasa sasaran (Bahasa Inggris). Penerjemahan kata-kata yang lain dalam teks sumber tersebut tampaknya dapat berterima. Gara-gara noda setitik rusak susu sebelanga. Namun, demikianlah perilaku makna. Kata punya makna independen, tetapi ketika kata tersebut bergabung dengan kata lainnya untuk membentuk frasa atau kalimat, maknanya dipengaruhi oleh konteks. Penerjemah sejatinya tahu betul dengan fenomena linguistik ini. Akibat dari gagal-terjemah tersebut sangat jelas: alih-alih menyampaikan informasi, papan edukasi tersebut malah memberikan disinformasi.
Otoritas museum dimaksud mengakui bahwa kasus ini murni akibat kesalahan penerjemahan dan papan edukasi tersebut sudah dipajang di sana sejak lama meskipun tidak disebutkan secara tegas durasinya.
Papan informasi tentang homo sapiens yang disalah artikan dalam bahasa Inggris di Museum Adityawarman, Padang, Selasa (23/7/2024). Foto: Dok. kumparan
Kalimat lengkap sumber dan sasaran di mana kata tersebut termuat disalin berikut ini dari kumparanNEWS (23 Juli 2024): “Jenis kaum homo yang ini telah memiliki tubuh yang sama dengan manusia sekarang dan juga memiliki sifat seperti manusia sekarang tetapi masih memiliki kehidupan yang sangat sederhana, dan tentunya hidup mengembara (nomaden)” (teks sumber) dan “This type of gay men who already have a shape similar to the human body now and also has the nature of man now but still has a very simple life, and of course life wandering (nomadic)” (teks sasaran).
ADVERTISEMENT
Persoalannya terletak pada penerjemahan kata ‘homo’ menjadi ‘gay’. Aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memasukkan lema ‘homo’ dalam salah satu entrinya dan memberinya dua penjelasan: pertama, keluarga manusia, termasuk famili Hominidae …. dan, kedua, kependekan dari homoseksual di mana ‘homo’ merupakan morfem yang berarti ‘sama’ seperti dalam istilah homofon atau homograf. Bentuk kependekan tersebut barangkali dianggap lebih sopan, apalagi dalam komunitas di mana seksualitas tabu untuk diperbincangkan.
Sampai di sini, akar persoalan tampaknya mulai terlihat. Dalam papan edukasi di museum tersebut, ‘homo’ dalam teks sumber dimaksudkan sebagai morfem bebas seperti dalam istilah ‘homo sapiens’ atau makna pertama yang terdapat dalam KKBI. Namun, padanan yang diberikan dalam teks sasaran merupakan hasil penerjemahan dari bentuk kependekan homoseksual atau ‘homo’; dalam konteks ini, ‘homo’ memang berpadanan dengan ‘gay’.
ADVERTISEMENT
Secara leksikal, terjemahan demikian mungkin tidaklah sepenuhnya salah karena memang dalam penggunaannya ‘gay’ merupakan salah satu makna referensial dari ‘homo’, paling tidak dalam konteks Indonesia. Namun, makna kata tidak hanya sebagaimana ditentukan di dalam kamus, tetapi juga ditentukan oleh ko-teks (hubungannya dengan kata-kata lain di dalam teks tersebut) dan konteks (hubungannya di luar teks tersebut). Menurut kedua faktor ini terjemahan museum tersebut memang harus disalahkan.
Saya menduga terjemahan yang dipajang di papan edukasi tersebut merupakan hasil terjemahan kecerdasan buatan (AI) seperti Google Translate (GT). Jika diterjemahkan oleh manusia, distorsi maknanya tidak akan sefatal itu.
Menariknya, saya mencoba menerjemahkan teks berbahasa Indonesia yang sama ke dalam bahasa Inggris dengan menggunakan GT. Hasil terjemahannya tidak lagi sama. Terjemahannya sekarang terbaca: “This type of homo has the same body as humans today and also has characteristics like humans today but still lives a very simple life, and of course lives as a wanderer (nomad).” Terjemahan ini tampak lebih akurat. Dan yang paling penting kata ‘homo’ tidak lagi dipadankan dengan ‘gay’; kata ‘homo’ dipertahankan (borrowing). Aspek sintaksisnya pun lebih mahir.
Suntingan Gambar oleh Zulprianto: Tampilan Google Translate
Perbedaan terjemahan dengan GT demikian menjadi indikator bahwa GT sudah dan terus memperbaharui pangkalan data terkait pasangan bahasa Indonesia dan Inggris. Ini tidak mengherankan karena sistem crowd sourcing yang digunakan oleh GT untuk mengumpulkan data di dalam pangkalannya.
ADVERTISEMENT
Salah satu ciri khas dari terjemahan AI terkait dengan teknik penerjemahan yang digunakan; AI biasanya melakukan penerjemahan harfiah baik pada tataran leksikal maupun sintaksis. Kita bisa menunjukkan ini dengan membandingkan teks sumber dan teks sasaran di atas. Secara sintaksis, misalnya, tipologi (urutan kata dalam kalimat) diikuti secara patuh. Selain itu, jika padanannya tidak ditemukan dalam teks sumber, kata itu biasanya akan dipinjam (borrowing).
Konteks dalam Penerjemahan
Ilustrasi kamus. Foto: SN040288/Shutterstock
Penerjemahan, menurut Juliane House (1942-)-seorang pakar penerjemahan dari Jerman, melibatkan prosedur kognitif (otak) dan praktik kontekstual (sosial dan sebagainya). Mesin penerjemah tidak memiliki kedua syarat ini, paling tidak untuk saat ini. Saya ingin bicara lebih jauh tentang aspek konteks ini.
Mesin penerjemah bekerja dengan cara ‘bebas konteks’, layaknya mesin. Mesin tidak dapat memasukkan informasi kontekstual dalam tugas penerjemahannya. Penerjemah manusia akan tahu pasti bahwa dalam konteks teks sumber di atas kata ‘homo’ tidak dimaksudkan untuk merujuk kepada homoseksual atau ‘gay’. Penerjemah memiliki banyak informasi kontekstual untuk membantunya menerjemahkan. Misalnya, dalam papan edukasi tersebut, hal yang sedang dibicarakan adalah jenis-jenis manusia purba di mana homo sapiens adalah salah satunya. Teks-teks tersebut masih pada tahap menyampaikan informasi terkait dengan asal-usul manusia dan belum sampai pada kecenderungan seksnya.
ADVERTISEMENT
Pengetahuan konteks dalam kegiatan penerjemahan sangat penting. Hal ini karena teks tidak terjadi dengan sendirinya; teks terjadi dalam konteks. Dalam konteks ini jugalah Juliane House mengatakan bahwa penerjemahan merupakan upaya re-kontekstualisasi. Meskipun sebuah teks tampaknya dapat direproduksi, konteks tidaklah mungkin diulang. Pada hakikatnya teks dan konteks hanya terjadi sekali. Mesin penerjemahan tentu tidak memiliki kesadaran kontekstual demikian.
Memetik hikmah
Jika dugaan saya benar bahwa teks sasaran dalam papan edukasi museum tersebut adalah hasil terjemahan GT, kita dapat memetik pelajaran. GT dan mesin penerjemah lainnya adalah pelayan yang baik, tetapi jangan dijadikan sebagai tuan. GT mesti digunakan dengan bijaksana. Hasil terjemahan GT harus tetap diperiksa oleh editor atau penerjemah untuk memastikan ekuivalensi antara teks sumber dan teks sasaran sehingga tersesat dalam penerjemahan dapat dicegah.
ADVERTISEMENT
Meskipun menimbulkan insiden, pihak museum juga pantas diapresiasi karena upayanya menyediakan terjemahan berbahasa Inggris bagi pengunjungnya. Upaya ini membuka pintu museum untuk pengunjung yang bukan penutur bahasa Indonesia untuk mencari informasi akurat di museum itu. Di masa depan, jika informasi perlu diterjemahkan ke dalam bahasa asing, pihak museum dapat bekerja sama dengan lembaga profesi penerjemah atau pihak kampus.