Konten dari Pengguna

Turun Kasta

Zulprianto
Dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
14 September 2024 15:49 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zulprianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Belakangan ini media ramai melaporkan berita tentang turun kasta di Indonesia. Barangkali karena posisinya di tengah, penurunan kasta ini sangat mempengaruhi kelas menengah dan, akibatnya, berpotensi turun peringkat menjadi kelas lebih rendah. Pandemi Covid-19 disinyalir menjadi faktor utama terkait penurunan tingkat kesejahteraan rakyat ini (Kumparan BISNIS, 28 Agustus 2024).
Suasana perbelanjaan di salah satu pasar di Jakarta. Penurunan kelas menengah diperkirakan akan menurunkan daya beli masyarakat. Sumber Foto: Fariza Rizky Ananda (KumparanBISNIS)
Setelah membaca berita ini, saya teringat pernah membaca sebuah novel berjudul 1984 yang terbit pertama kali tahun 1949, karya George Orwell, penulis Inggris. Tulisan ini, sayangnya, tidak bermaksud untuk membahas masalah penurunan ekonomi rakyat kelas menengah di atas, apalagi menawarkan solusi baginya. Namun, barangkali ada hubungannya dalam satu dan lain hal. Teks dapat berkait berkelindan dengan teks lain (intertekstualitas).
ADVERTISEMENT
Dalam bukunya, Orwell membagi masyarakat ke dalam tiga kelompok: Atas, Menengah, dan Bawah. Orwell berargumen bahwa ketiga kelompok ini memiliki kepentingan yang selalu berseberangan. Kelompok Atas hendak selalu di atas, kelompok Menengah bertujuan untuk berganti tempat dengan kelompok Atas (berbanding terbalik dengan apa yang terjadi berita di atas); tujuan kelompok Bawah, jika ada, adalah untuk menghapuskan segala perbedaan. Ketiganya memiliki kepentingan hidup yang berbeda.
Menariknya, lanjut Orwell, ketiga kelompok ini senantiasa muncul kembali bahkan setelah peristiwa-peristiwa politik atau sosial besar mengguncang sebuah negeri mulai reformasi hingga revolusi. Kelompok-kelompok ini senantiasa eksis dalam satu negeri meskipun individu-individu yang menjadi anggotanya berbeda atau tampak berbeda.
Biasanya, setiap pergantian rezim menjanjikan perubahan positif bagi ketiga kelompok tersebut. Kurang lebih sama dengan isu perubahan yang kerap muncul dalam setiap pemilu yang kita ikuti. Jika penantang menjanjikan perubahan, petahana mengusung isu keberlanjutan.
ADVERTISEMENT
Sebelum buku 1984 terbit, George Orwell sudah menulis fiksi yang berjudul Animal Farm yang diterbitkan pada tahun 1945. Kedua novel ini tampak memiliki plot bersambung: Animal Farm seolah-olah merupakan prekuel dari novel 1984.
Di dalam Animal Farm, Orwell menunjukkan bahwa revolusi, bukan reformasi, atau pemilu, dapat gagal total dan membawa rakyat kembali ke keadaan pra-revolusi. Revolusi dalam Animal Farm di buku itu diawali dengan pemberontakan para binatang di sebuah peternakan manusia bernama Peternakan Manor (Manor Farm). Segera setelah pemberontakan berhasil, nama peternakan itu pun diganti menjadi Peternakan Binatang (Animal Farm) yang Orwell pilih sebagai judul novel ini.
Namun, Animal Farm penuh dengan metafora. Novel ini merupakan fabel di mana sebagian besar karakternya adalah binatang yang berperan layaknya karakter-manusia. Oleh karena itu, buku ini lebih tepat dipahami sebagai satir atau alegori politis (sindiran terhadap revolusi di Uni Soviet di bawah Lenin hingga Stalin) yang mempraktikkan ideologi Komunisme. Tokoh-tokohnya pun merupakan representasi dari figur-figur nyata. Misalnya, Stalin direpresentasikan karakter sang diktator bernama ‘Napoleon’, Karl Marx dimainkan oleh ‘Major’, dan sebagainya. Bahkan, peristiwa dalam novel itu diilhami oleh peristiwa-peristiwa nyata.
ADVERTISEMENT
Setelah peternakan berhasil direbut dari manusia penindas, para binatang, yang dikomandoi oleh dua babi bernama Snowball dan Napoleon, mencoba mengatur segalanya secara ideal. Muncullah Tujuh Perintah (Seven Commandments) yang mengatur garis-haris besar kehidupan para binatang dalam Peternakan Binatang tersebut. Salah satunya berbunyi ‘Semua binatang setara’ yang mengingatkan kita atas slogan Komunisme yang berbunyi ‘sama rata sama rasa’.
Dalam perjalanan pasca-revolusi tersebut, idealisme yang tercantum dalam Tujuh Perintah tersebut dilanggar satu per satu. Salah satu perintah yang lain berbunyi ‘Tak seekor binatang pun boleh minum alkohol’. Di akhir cerita, perintah ini berubah menjadi ‘Tak seekor binatang pun boleh minum alkohol berlebihan‘. Jelas sekali, perintah itu melunak dari tidak boleh minum alkohol sama sekali menjadi boleh minum. Penambahan keterangan ‘berlebihan’ menjadikan perintah tersebut menjadi abu-abu. Lagi pula, dalam sebuah kalimat, keterangan hanya berfungsi sebagai modifier (penerang) untuk verba, bukan sebagai komplemen (elemen wajib) bagi verba. Bahkan di akhir kisah, ketujuh perintah itu direduksi secara ekstrim menjadi perintah tunggal saja: Semua binatang setara tetapi beberapa binatang lebih setara daripada yang lainnya. Slogan ini membuka kembali pintu perbedaan kelas yang ditantang dan ditentang oleh Komunisme. Situasi pun berubah seratus delapan puluh derajat (kembali ke situasi pra-revolusi). Akibatnya, binatang yang tidak setara dengan golongan penguasa pun turun kasta politis maupun ekonomis.
ADVERTISEMENT
Terjemahan Animal Farm dalam konteks Indonesia
Animal Farm sendiri sudah diterjemahkan berkali-kali (retranslation) ke dalam Indonesia. Menurut hemat saya, paling tidak, tujuh versi terjemahan Indonesia sudah ada dan sebagian juga diterbitkan ulang. Terjemahan dalam bahasa Indonesia yang pertama kali muncul pada tahun 1946, setahun setelah buku aslinya terbit. Penerjemahan dan penerbitan ulang demikian barangkali menunjukkan urgensi dari karya tersebut bagi pembaca Indonesia.
Suntingan Gambar oleh Zulprianto: Tampilan Sampul Depan Terjemahan Mahbub Djunaidi (kiri) dan Bakdi Soemanto (kanan)
Saya ingin berbagi tentang dua terjemahan Animal Farm yang kebetulan pernah saya pelajari. Terjemahan pertama adalah karya Mahbub Djunaidi yang terbit pada tahun 1983 ketika bangsa ini masih di bawah kendali Orde Baru; terjemahan kedua adalah karya Bakdi Soemanto yang terbit pertama kali tahun 2015, hampir dua dekade pasca-Reformasi 1998. Kedua terjemahan ini menarik karena kedua penerjemah merupakan sastrawan terkenal. Tidak heran jika nama keduanya dituliskan dalam sampul depan karya terjemahan masing-masing sebagai bagian dari strategi marketing dari penerbit.
ADVERTISEMENT
Namun, yang lebih menarik sebenarnya adalah melakukan ‘analisis wacana’ terhadap kedua terjemahan Animal Farm tersebut. Di satu sisi, Orwell memaksudkannya sebagai kritik terhadap Otoritarianisme di Uni Soviet secara khusus dan Otoritarianisme di mana saja secara umum walaupun ia mengakui karyanya juga digunakan sebagai propaganda melawan ideologi Komunisme kala itu. Di sisi lain, terjemahan Mahbub Djunaidi tampaknya tidak dimaksudkan sebagai kritik terhadap Otoritarianisme. Hal ini mengingat buku terjemahan tersebut diterbitkan di masa Orde Baru yang menurut banyak orang terkenal otoriter. Jika ia, tentulah terjemahan tersebut dilarang terbit. Fakta bahwa terjemahan Mahbub Djunaidi terbit juga menggiring kita pada alasan lain. Pemerintah Orde Baru mungkin melihat terjemahan itu lebih sebagai propaganda melawan paham Komunisme di bumi Indonesia daripada sebagai kritik terhadap pemerintahan otoriter. Di dalam Animal Farm, Komunisme gagal bahkan setelah pemberontakan yang berdarah-darah. Jika situasi demikian terjadi dalam fiksi, ia juga dapat terjadi dalam konteks non-fiksi.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan terjemahan Bakdi Soemanto? Pasca-reformasi, Indonesia sudah membuat perubahan-perubahan ketatanegaraan yang lebih demokratis seperti pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, masa pemerintahan (wakil) presiden dibatasi menjadi dua periode, otonomi daerah, dan sebagainya. Dalam konteks ini, terjemahan Bakdi Soemanto tampaknya juga tidak dimaksudkan sebagai kritik terhadap Otoritarianisme. Namun, terjemahan novel ini dapat dianggap sebagai antisipasi terjadinya pemerintahan otoriter lain di nusantara. Selain itu, novel ini masih relevan dilihat sebagai propaganda melawan Komunisme mengingat paham ini masih dilarang di Indonesia.