Buzzer Undercover

Jusman Dalle
Direktur Eksekutif Tali Foundation - Praktisi Ekonomi Digital - Konsultan Digital Crisis Management - Menulis di 38 media : Kompas, Republika, Tempo, dll
Konten dari Pengguna
24 Agustus 2020 9:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jusman Dalle tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
***
Ilustrasi : Dokumentasi pribadi
Buzzer. Termasuk rekan 'se-profesinya' : influencer dan key opinion leader (KOL) menuai sorotan tajam. Bahkan dibully. Dianggap hina dina. Distigma sebagai pekerjaan kotor. Begitu kesan yang terbangun. Terutama di platform digital.
ADVERTISEMENT
Apakah betul tiga aktor komunikasi digital pihak ketiga tersebut : buzzer, influencer dan KOL memang pekerjaan yang pantas dinistakan? Mari kita ulas!
Buzzer. Pekerjaan dan istilah itu pertama kali muncul dari praktik dan taktik pemasaran. Bagian dari guerilla marketing. Diperkenalkan oleh Jay Conard Levinson pada tahun 1984.
Singkat cerita, buzzer diadopsi ke dunia digital. Termasuk dimanfaatkan oleh para petualang politik. Di Indonesia buzzer mulai populer sejak Pilkada DKI tahun 2012.
Sejak masuk ke dunia politik dan mem-buzz isu-isu sensitif seperti sawit, RUU Omnibus Law, dll. Buzzer menuai stigma negatif. Bersama dua aktor utama komunikasi digital lainnya : influencer dan key opinion leader (KOL).
Ketiganya aktor komunikasi ini punya klasifikasi, peran dan kualifikasi berbeda. Saya uraikan panjang lebar di dalam video di kanal Youtube saya.
ADVERTISEMENT
Lantaran stigma negatif kadung melekat pada buzzer, terjadi over generalisasi terhadap tiga aktor ini. Termasuk mengaburkan esensi mereka sebagai komunikator.
Pokoknya siapapun yang mencuit/mengadvokasi tentang tema tertentu, langsung ditempeli label buzzer. Berkonotasi negatif.
Saya melihat, citra buzzer negatif karena terpapar antipati dan sinisme terhadap politik atau pemerintah. Aktor politik sukses memplot satu peran penting mereka kepada buzzer. Peran untuk BICARA.
Bicara serampangan. Manipulatif, agitatif bahkan provokatif. Buzzer di kancah politik, mereplikasi gaya bicara politisi kebanyakan. Politisi yang diwakili pada buzzer ini.
Buzzer cuma wayang. Dalangnya? Yang kasih brief (agensi) dan yang bayar (klien). Ini bicara buzzer politik ya.
Saya bisa bicara banyak tentang buzzer. Karena punya pengalaman bekerja dengan teman-teman buzzer. Tapi bukan untuk kepentingan politik. Tapi buzzing produk komersil.
ADVERTISEMENT
Secara umum, memang harus diakui teman-teman buzzer ini punya kelemahan mendasar. Termasuk yang biasa saya gandeng untuk buzzing produk komersil.
Kemampuan komunikasi masih sangat minim. Karena mereka memang datang dari berbagai latar belakang. Mereka bukan pakar komunikasi, bukan juga ahli marketing.
Untuk menikmati buzzing yang menggugah, para buzzer memang idealnya mengerti dasar-dasar ilmu komunikasi. Termasuk jago copywriting atau storytelling dan menguasai ilmu pemasaran.
🔐 Bila buzzer menguasai 4 kompetensi kunci itu :
☑️ DASAR-DASAR KOMUNIKASI
🔘 COPYWIRITING
🔴 STORYTELLING
👁‍🗨 ILMU PEMASARAN
Kita akan menikmati buzzing yang berseliweran di medsos. Mungkin kita akan terpingkal-pingkal, tergugah dan bahkan menitikan air mata karena buzzer.
Saya sering kasihan melihat kualitas konten influencer yang hambar. Kaku! Sekadar angkat tagar. Modal banyak followers. Tapi engagement sangat rendah. Itu indikator jika kualitas pesan dan konten mereka useless.
ADVERTISEMENT
Akhirul kalam, stigma negatif kepada buzzer adalah hal yang keliru. Buzzer, hanya satu pekerjaan. Tidak ada bedanya dengan talent TVC, sales, atau pemasar. Masalahnya, buzzer, influencer atau KOL cuma butuh literasi. Mungkin perlu menjaga jarak dari buzzing isu-isu sensitif.