Ketika Rakyat Diminta Jadi Pahlawan Berkocek

Jusman Dalle
Direktur Eksekutif Tali Foundation - Praktisi Ekonomi Digital - Konsultan Digital Crisis Management - Menulis di 38 media : Kompas, Republika, Tempo, dll
Konten dari Pengguna
10 Agustus 2020 8:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jusman Dalle tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar, dokumen pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar, dokumen pribadi.
ADVERTISEMENT
Rakyat menjerit. Perut melilit. Cari makan sulit.
Pemerintah berusaha menolong. Bikin program bagi-bagi duit. Menyelamatkan rakyat yang ekonominya terhimpit.
ADVERTISEMENT
Sebanyak 13,8 juta orang pekerja swasta, akan mendapat cash transfer Rp 600 ribu perbulan. Selama empat bulan.
Tapi, program bagi-bagi duit itu bikin utang membelit. Hingga Juni, pemerintah sudah menarik utang Rp 421,5 triliun.
Utang jumbo yang juga dibelanjakan untuk menangani dampak COVID-19. Termasuk yang dibagi-bagikan ke rakyat.
Biasanya, orang bagi-bagi duit kalau memang lagi banyak duit. Kalau surplus.
Lah ini, APBN malah tengah defisit. Kas negara bolong. Harus ditambal dengan utang.
Ilustrasi Uang Rupiah. Foto: Getty Images
Lantas, kenapa negara repot-repot merogoh kocek, Numpuk utang. Demi menggaji pekerja swasta?
Mari kita lihat dari dan telaah dari aspek makro ekonomi. Yang harus dipahami, ekonomi Indonesia digerakkan oleh konsumsi. Bahkan berkontribusi 57,85% terhadap kue ekonomi nasional.
Inilah repotnya bergantung pada konsumsi dalam situasi tidak kondusif begini. Begitu konsumsi mandek, wassalam. Ekonomi anjlok. Itulah yang terjadi saat ini. Perekonomian minus (-5,32%) karena aktivitas konsumsi membeku. Kalau dalam tiga bulan ini (Q3) minus lagi, ya berarti RESESI!
ADVERTISEMENT
Sejak Corona menerjang, jutaan yang kehilangan pekerjaan. Kena PHK atau dirumahkan tanpa gaji. Daya beli merosot tajam.
Bantuan Rp 600 ribu perbulan, diharapkan membantu masyarakat tetap “konsumtif”. Belanja, jajan, atau beli hiburan secara daring. Royalitas masyarakat menjadi asupan vitamin untuk memompa denyut ekonomi.
Makin royal masyarakat belanja, makin sehat ekonomi. Masalahnya, berapa lama bantuan itu dapat menolong masyarakat. Sementara napas keuangan negara sudah tersengal-sengal.
Di saat yang sama, penangan Corona makin tidak jelas. Spektrum penyebaran bertambah luas karena pembatasan sosial dilonggarkan. Muncul klaster perkantoran. Kasus harian stabil di atas angka 1.000 perhari. Artinya, ada kemungkinan Episode dramatis ini berlangsung lama
Yang patut dicatat juga, bantuan pemerintah bukan cuma gaji 600 ribu perbulan. Tapi ada juga skema Conditional Cash Transfers lain. Tujuannya sama. Menjaga daya beli dan mengatrol konsumsi masyarakat. Seperti bantuan langsung tunai (BLT) desa, program keluarga harapan dan bansos tunai.
ADVERTISEMENT
Kita mengapresiasi berbagai skema jaringan pengaman sosial itu. Tahun ini dianggarkan 203,9 triliun. Sebagian dibiayai dari utang.
Problemnya, kalau penanganan Corona makin tidak jelas seperti ini, maka aktivitas ekonomi akan terus melambat. Kebutuhan penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi bertambah besar.
Di tengah penerimaan pajak yang seret, maka utang pemerintah dipastikan terus membengkak. IMF dan Bank Dunia sudah menggoda. Siap mengucurkan utang saat diminta.
Berharap roda ekonomi dipacu investasi atau perdagangan luar negeri? Tidak mungkin. Semua pihak tengah sibuk Menyelamatkan diri dari badai resesi.
Investasi saat krisis dan resesi, bak perjudian yang berisiko tinggi. Para investor memilih wait and see. Melihat negara mana yang pemerintahnya paling cekatan mengendalikan pandemi. Karena ketidakpastian (uncertainty) adalah musuh investasi.
ADVERTISEMENT
Maka satu-satunya yang bisa diandalkan saat ini agar Indonesia selamat dari resesi, adalah konsumsi rumah tangga. Rakyat diharapkan jadi pahlawan berkocek.