Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kutukan Digital Naga China
10 Maret 2021 10:10 WIB
Tulisan dari Jusman Dalle tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh : Jusman Dalle
Direktur Eksekutif Tali Foundation dan Praktisi Ekonomi Digital
ADVERTISEMENT
***
Kumandang benci produk asing yang dilantunkan Presiden Joko Widodo salah alamat. Kampanye seolah heroik itu, terkesan cuci tangan. Juga sarat inkonsistensi. Seperti yang sudah-sudah, pemerintah selalu ingin tampil seolah membela. Namun memble. Tak berdaya.
Seruan membenci produk asing, refleksi pepatah “menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri”. Mempermalukan pemerintah.
Semakin menyedihkan, sebab konstruksi pidato Jokowi disuplai data dan informasi oleh pihak yang harusnya paling otoritatif memproteksi pelaku UMKM lokal. Yaitu Kementerian Perdagangan. Mendag, M. Lutfi sendiri mengakui dalam klarifikasinya.
Latar belakang kampanye “benci produk asing” yang di-launching Jokowi, adalah karena membanjirnya produk impor di pasar e-commerce. Banjir impor ini lagu lama. Sudah sejak beberapa tahun lalu diulang-ulang pemerintah. Tapi minim langkah nyata.
ADVERTISEMENT
Kemenko Perekonomian pernah merilis angka produk lokal di e-commerce yang cuma sekitar 7%. Kemenperin bilang 90% produk di e-commerce adalah impor.
Kominfo tak mau kalah menyuguhkan data. Katanya, 60% produk yang listing di e-commerce adalah barang impor.
Dendang benci produk asing malah terkesan simplistis. Seolah persoalan di e-commerce semata. Padahal, pangkalnya di pemerintah. Berbagai persoalan mengendap di lintas kementerian.
Antara lain Kemendag, Kemenperin, Kemenkop UKM, Kemenparekraf, BKPM hingga Kominfo yang juga terlibat pada proyek-proyek digitalisasi ekonomi. Namun sederet lembaga negara itu tak berdaya mengurus UMKM. Kebijakan masing-masing kementerian tidak terintegrasi dan terkesan kurang koordinasi.
Bagaimana misalnya BKPM menggenjot investasi. Termasuk di bidang teknologi. Tetapi kurang cermat mempertimbangkan implikasi di sektor UMKM. Demikan pula Kemenkop UKM yang gencar membuat program inkubasi, namun UMKM yang dibina keburu diterjang produk impor yang izinnya diteken oleh Kemendag.
ADVERTISEMENT
Tumpang tindih satu sama lain. Carut marut yang bila ditelusuri, maka semakin terekspos inkonsistensi kebijakan terhadap UMKM.
Peredaran barang dari luar secara bebas merupakan konsekuensi dari longgarnya izin impor. Lalu diperparah oleh lemahnya pengawasan dan penegakan aturan.
Di saat yang sama, produk impor bertabur keunggulan komparatif.
Harganya murah meriah. Bikin dompet gembira. Kualitas oke punya. Karena diproduksi dalam skala industri dengan dukungan pemerintah. Ongkos kirim gratis pula. Padahal dari China.
Bayangkan, dua lembar kemeja batik “Made in China”, bisa ditebus dengan harga Rp35 ribu. Piyama dan daster dibanderol Rp 90 ribu per pasang. Masker standar medis dijual Rp1.700 per pcs. Meski dikirim dari luar negeri. Harganya lebih murah beberapa ratus rupiah dibanding masker yang dikirim dari Jakarta Barat.
ADVERTISEMENT
Sederet keunggulan itu tak terkejar oleh produk lokal. Karena program-program pendampingan terhadap UMKM selama ini memang miskin value. Dilakukan sporadis dan tidak terpadu. Selesai sebatas seremoni.
Akibatnya, UMKM tersisih di platform digital. Tidak bisa bersaing. Metafora naga yang superior dalam mitologi legendaris China seolah terbukti. Menjelma jadi kutukan di jagat digital Indonesia. Deru digitalisasi yang diguyur investasi berakhir jadi nestapa.
Ekonomi digital yang tadinya diharapkan membawa untung, justru berakhir buntung. Berbagai platform digital, dari yang hiburan hingga layanan metode pembayaran, memperkokoh budaya konsumsi.
Belanja jumbo masyarakat Indonesia tersedot keluar, alih-alih dinikmati pelaku UMKM anak negeri. China sebagai satu mitra dagang penting, berselancar melalui grand strategi Jalur Sutra masa kini. Belt and Road Initiative. Ditopang oleh investasi dan ekspansi global dan digital company asal Tirai Bambu.
ADVERTISEMENT
Sialnya, dominasi China bukan cuma terjadi di jagad digital. Produk dari China mengalir ke pertokoan di Glodok, Blok M Square, hingga di Pasar Butung Makassar. Bahkan isi gerobak pedagang anggur, jeruk, lemon, dan pir di pinggir jalan, didominasi oleh produk impor.
Menteri Perdagangan, semestinya mengevaluasi diri. Melakukan koreksi internal. Meninjau kembali aturan-aturan serta kemitraan perdagangan yang menjadi sumber petaka tumbangnya UMKM lokal di kancah persaingan.
Contoh paling dekat betapa koreksi ini penting dilakukan, terlihat dalam soal pedagang asing yang menambang cuan di e-commerce. Menteri Perdagangan sendiri yang meneken aturan. Tertuang di Permendag Nomor 50 Tahun 2020, seller asing dibatasi menjual dan mengirim paket ke Indonesia maksimal 1.000 transaksi.
Faktanya, di berbagai platform digital dengan mudah dilacak bila banyak pedagang dari China yang mengirim puluhan ribu produk perbulan ke Indonesia. Angka-angka itu ditampilkan telanjang mata di aplikasi. Namun seolah tidak diketahui oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Sungguh naif. Aturan tidak ditegakkan. Padahal otoritas ada di tangan.
Masih banyak fakta-fakta lain betapa pemerintah tampak cuma bersilat lidah soal pembelaan terhadap UMKM. Tidak cukup diulas dalam satu artikel. Ringkasnya, pembelaan dan dukungan terhadap UMKM tidak bakal cukup dengan seruan normatif ala “benci produk asing”.
Kampanye semacam itu, seolah mengamini kutukan digital naga China. Kutukan yang menjelma jadi petaka ekonomi. Sialnya, pelaku ekonomi di bawah, rakyat kecil jadi korban.