Konten dari Pengguna

Malam Natal Sendirian

27 Desember 2019 23:41 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Emong tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Natal Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Natal Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
"Selamat Natal, semoga damai dan sejahtera menyertai kita semua," ujar pendeta menutup ibadah malam Natal, Rabu (25/12/2019).
ADVERTISEMENT
Aku melirik jam tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 9 lewat 34 menit. Teringat kalau harus piket malam, aku pun langsung mengambil ponselku, membuka aplikasi Grab, lalu memesan layanan Grabbike.
Sembari menunggu datangnya driver, aku pun memilih untuk duduk sebentar di dalam gereja.
Aku melihat sekelilingku. Dekorasi Natal yang sederhana, anak-anak yang berlarian, jemaat yang saling bersalaman dan mengucapkan selamat Natal. Ada juga yang saling melepas rindu, mungkin mereka sudah lama tak berjumpa.
Sedangkan aku, hanya duduk diam dan mengamati setiap aktivitas mereka tanpa memberikan respons atau mencoba berbaur.
Ini pertama kalinya aku kebaktian di gereja yang terletak di kawasan Setiabudi, Jaksel, ini. Semuanya tentu saja terlihat sangat asing. Yang membuat aku makin canggung adalah karena aku datang sendirian, sehingga enggak ada yang dapat ku ajak bicara. Ya, Natal tahun ini aku sendirian.
Suasana Misa malam Natal. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Lamunanku terhenti saat ponsel di dalam tasku bergetar. Sesaat aku mengira itu telepon dari keluargaku di kampung. Namun nyatanya itu adalah driver Grabbike yang telah sampai dan menungguku di luar gereja.
ADVERTISEMENT
"Non, saya sudah sampai ya. Di depan pager gereja," ujar sang driver.
"Oh iya pak, ini saya mau keluar," jawabku kemudian mematikan teleponnya.
Di malam Natal ini cuaca sedikit gerimis, tapi untung enggak hujan deras seperti malam sebelumnya. Buru-buru karena harus pulang cepat, aku pun enggak masalah menerjang gerimis.
Selama perjalanan pulang, aku enggak mengerti mengapa sang driver terus mengajakku bicara. Padahal saat itu ia tengah mengemudikan motor. Dengan kondisi menggunakan helm, suara gerimis, dan bisingnya klakson kendaraan, siapa yang akan bisa dengan jelas mendengar ucapannya.
Bila ucapannya terdengar seperti pertanyaan, aku hanya menjawab dengan kata 'iya'. Jika terdengar seperti seruan, aku menjawab 'hmm'. Dua kata klasik yang selalu aku ucapkan saat mood-ku malas ngobrol dengan orang lain.
ADVERTISEMENT
Namun, sejujurnya saat itu aku tak tahu apa yang sedang dibicarakannya.
Ilustrasi transportasi online Grab. Foto: Beawiharta/Reuters
"Bayarnya pake Ovo ya pak," ujarku pada driver saat tiba, yang dibalas dengan anggukan dan senyuman.
Kata terakhir yang diucapkan sang driver tak lagi begitu jelas terdengar, karena aku langsung masuk ke dalam lobi apartemen.
Oh iya, sudah beberapa hari ini aku tinggal sendirian di apartemen temanku, namanya Catrine, yang letaknya tak jauh dari gereja tempatku ibadah Natal tadi. Alasannya, karena aku perlu wifi untuk piket malam. Selain itu, di sini aku bisa tidur dengan puas usai piket malam, tanpa terganggu suara berisik dari para tetangga, kayak di kosan-ku. Lumayanlah.
Semuanya terasa gelap, ketika aku membuka pintu apartemen. Akh, aku lupa menghidupkan sebagian lampu ruangan sebelum pergi gereja tadi.
ADVERTISEMENT
Tapi tak masalah, karena aku sudah hafal di mana letak sakelar listrik.
Usai membuka sepatu, aku pun langsung menghidupkan laptop kantor yang aku bawa ke tempat Catrine. Aku meng-connect-kannya dengan wifi. Setelah tersambung, aku pun membuka Slack dan mengecek pesan yang ditinggalkan rekanku.
Masih menggunakan dress yang aku pakai ibadah sejak sore tadi, aku menyisir bagian kolaborasi timeline dan komentar di Slack. Kemudian aku membuka WhatsApp web di laptop dan membaca setiap percakapan rekanku dengan grup 1001 media hari ini. Lalu, mengedit beberapa artikel menarik yang masuk.
Sesaat pikiranku terfokuskan pada rutinitas itu.
Ilustrasi melihat laptop
"Ah, sudah jam sebelas," pikirku saat tersadar dari kesibukan sesaat.
Aku memastikan kerjaanku 'aman', sebelum meninggalkannya sejenak untuk membersihkan diri. Aku menghidupkan TV dan memutar sembarangan channel. Hanya agar ada terdengar suara di ruangan yang sepi ini.
ADVERTISEMENT
Butuh waktu sekitar 30 menit untukku ganti baju, mandi, sekaligus menggunakan skincare. Aku merasa ini singkat, tapi ntah kenapa Catrine selalu bilang aku lama kalau mandi.
Teringat komentar Catrine, tiba-tiba saja aku merindukan gadis itu. Aku pun langsung meneleponnya via video call.
"Napa mong? Ganggu orang pacaran aja," balasnya via chat. Ya, dia menolak teleponku.
"Woii, ini udah jam berapa. Haram oi, ini malam Natal," balasku cemburu. Bukan karena dia punya pacar, tapi aku dicuekin karena pacarnya.
Catrine dan aku awalnya berencana menghabiskan Natal bersama dengan staycation. Semua yang ingin dilakukan saat Natal sudah kami rencanakan sejak November. Karena berbagai alasan, Natal kali ini kami berdua memang sama-sama tidak pulang ke Kabanjahe--sebuah kota kecil yang nyaman dan tenteram di Sumut--kota asal kami.
ADVERTISEMENT
Kantor Bupati Kabanjahe
Tapi Catrine mengkhianatiku dan pergi ke Bandung.
Kalau dipikir-pikir lagi, itu bukan pengkhianatan, karena ia juga dipaksa oleh cici-nya (sebutan kakak bagi orang China) untuk Natalan di sana.
Sebagai gantinya dia ngasih izin aku untuk tinggal di tempatnya. Aku yang homebodies, awalnya senang dengan saran ini. Kulkas yang penuh dengan makanan, jaringan wifi kencang, bisa tidur sepuasnya, TV yang tersambung ke Netflix, kolam renang di bawah. Saat itu aku berpikir banyak alasan yang membuat betah sendirian di sini. Meski ini bukan kali pertama aku nginap di tempat Catrine.
Namun, tiba-tiba malam ini aku merasa kesepian. Suasana di sekitarku terasa sangat hening. Hanya ada suara ocehan orang-orang di TV.
ADVERTISEMENT
Meski ini malam Natal, namun enggak ada acara seru di TV yang bisa menarik perhatianku. Berkali-kali aku mengganti saluran, dari channel lokal, luar, Netflix, sampai-sampai YouTube. Tapi semua sama saja, membosankan.
Aku mematikan TV dan memutar playlist Natal di Spotify laptop. Di buka dengan lagu 'Santa Claus is Comin to Town' dari Mariah Carey, Bobby Helms 'Jingle Bell Rock', 'O Holy Night', 'The First Noel', dan masih banyak lagi.
Sial, semuanya justru mengingatkanku pada saat momen Natal di rumahku.
Tiba-tiba saja pikiranku flashback, kala lagu 'Feliz Navidad' terputar otomatis. Lagu jadul berbahasa Spanyol ini memiliki tempo yang upbeat dan ceria, dan itu adalah lagu Natal yang paling berkesan untukku.
ADVERTISEMENT
Aku ingat, biasanya lagu ini dipakai untuk mengiringi tarian anak-anak kecil saat Natal di gerejaku. Dulu waktu kecil, aku juga sering tampil di acara Natal dengan lagu ini.
Teringat dulu aku selalu sibuk saat Desember. Bagaimana tidak, sejak kecil aku sudah aktif terlibat dalam berbagai kegiatan Natal di gerejaku.
Setelah aku dewasa, gantian aku yang melatih anak-anak kecil (biasanya disebut Sunday School) di gereja untuk pertunjukan Natal.
Setelah kuliah pun aku selalu terlibat banyak kepanitiaan, termasuk kepanitian Natal. Aku masih ingat dulu, meski termasuk anggota kepanitian Natal di kampus, tapi aku masih menyempatkan diri untuk terlibat Sunday School dan membantu persiapan Natal remaja di gerejaku. Aku juga ikut campur dalam natal pemuda-pemudi di daerahku.
ADVERTISEMENT
Dan malam ini menyadarkanku, ternyata dulu aku sesibuk itu kala Natal.
Menghadiri undangan Natal dari berbagai jurusan di kampus dan gereja lain. Merayakan malam Natal dengan keluarga serta makan hidangan 'mewah' yang telah disiapkan mamakku. Bakar jagung, salah satu agenda penuntup yang selalu kami adakan setiap malam Natal. Celotehan, tawa, kebersamaan, dan cengkerama.
Aku merindukan semuanya itu.
Ilustrasi makan malam saat Natal Foto: dok.shutterstock
Kenanganku saat menghias pohon natal pun muncul, kala melihat kerlap-kerlip lampu pohon Natal mini milik Catrine yang ada di dekat TV. Aku ingat dulu, keluargaku bisa sibuk seharian hanya untuk menentukan tema serta dekorasi pohon Natal di rumah kami.
Akh, sebagian besar kenangan Natal dalam hidupku ternyata indah. Mungkin inilah alasan kenapa dari dulu aku selalu menyukai Desember.
ADVERTISEMENT
Dulu aku tak menyadari momen tersebut akan sangat berkesan. Dulu aku berpikir itu hanya sebuah kewajiban dan kebiasaan yang sudah aku lakukan bertahun-tahun kala bulan Natal.
Pohon natal dari buah-buahan Foto: Shutter Stock
Tapi kini, untuk pertama kalinya aku harus melewati malam Natal sendirian. Kali ini aku hanya ditemani dengan sebotol Sprite dan camilan dari Wingstop. Ini membuat aku menjadi melankolis.
Sembari tiduran di sofa, aku pun menatap langit-langit. Merenungkan betapa membosankannya malam ini.
"Natal kali ini terasa sangat kosong," batinku.
Sebenarnya dari pagi hingga sore tadi, ponselku sudah disibukkan dengan berbagai pesan Natal dari keluarga dan kerabatku. Aku juga melakukan video call dengan mereka. Hanya saja, entah kenapa malam ini aku rindu merayakan Natal di Kabanjahe.
ADVERTISEMENT
Namun, aku menyadari kalau yang aku rindukan bukanlah orang-orangnya. Aku baru bertemu dengan mereka awal bulan ini. Kami merayakan Natal di Yogyakarta, sehingga aku tidak terlalu merindukan 'fisik' mereka.
Aku merindukan suasananya, kehangatannya, juga makanannya.
Ilustrasi sebuah keluarga sedang merayakan Natal dengan penuh kebahagiaan. Foto: Spesial / Thinkstock by Getty Images
Tapi, ini bukanlah saat yang tepat untuk menghubungi keluargaku. Pasalnya, jam sudah menunjukkan pukul satu lebih. Mereka mungkin sudah tidur dan akan terganggu jika aku menelepon.
Aku pun mengalihkan pikiranku dan kembali menyisir Slack komentar, mengganti playlist di Spotify dengan lagu K-Pop.
Aku benar-benar melupakan kesedihan dan kesepianku di malam Natal, berkat drama Korea yang aku tonton. Aku 'hanyut' dalam plotnya dan melupakan kesendirian malam ini.
Dan begitulah akhirnya, aku lagi-lagi 'diselamatkan' oleh drama Korea.
ADVERTISEMENT