Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Cafe Bule Margonda Depok: 17 Tahun Mengolah Rasa dan Menyambung Cerita
15 Juli 2019 1:36 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Justian Edwin Food Blogger tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun lalu, seorang teman mengenalkan saya dengan warung tenda bernama ‘Cafe Bule’ di seberang Hotel Bumi Wiyata di Jalan Margonda, Depok. Warung tenda tersebut tak ubahnya warung tenda kebanyakan yang buka malam hari. Terpal sederhana menjadi instalasi utama, dengan susunan kayu sederhana untuk menopang segala isinya.
ADVERTISEMENT
Cafe Bule menjual kopi, roti bakar, mi instan, dan bubur kacang hijau. Menariknya, saking ramainya, kami sering tidak mendapatkan tempat di dalam tenda, sehingga kami harus duduk di trotoar Jalan Margonda yang berdebu. Sejak saat itu, kami menjadikan kunjungan ke Cafe Bule sebagai ritual mingguan yang melegakan.
Pada 2014, kami mendapati Cafe Bule tidak lagi beroperasi. Halaman parkir sebuah ruko itu kosong. Mereka tergusur. Namun ternyata, Cafe Bule tidak lenyap begitu saja, melainkan pindah ke sudut lain Margonda, tepatnya di sebelah Bank BNI ITC Depok.
Modelnya tidak berubah, masih tetap warung tenda yang padat dijejali manusia lapar tengah malam. Bedanya adalah pengunjung yang silih berganti, karena kedai yang dimiliki oleh Pak Bule ini berdekatan dengan biro perjalanan Jakarta-Bandung.
ADVERTISEMENT
Setahun kemudian, lokasi tersebut dipugar menjadi sebuah sentra kuliner. Kios di sekitar Cafe Bule menjual berbagai makanan, mulai dari sate padang hingga ayam penyet. Tapi tetap, sumber lalu lintas pengunjung adalah pelanggan setia Cafe Bule. Sisanya, pengunjung yang sengaja datang ke Cafe Bule atau orang yang baru tiba dari Bandung.
Sembari menyeruput internet alias mi instan dengan telur dan kornet, saya berbicara dengan pekerja Pak Bule.
“Kami pindah ke sini sejak 2014, pindahnya karena yang punya ruko enggak mau ada orang berjualan di halamannya,” ujar pekerja tersebut yang ternyata juga kerabat Pak Bule.
Pak Bule dan pekerjanya bukan pemain lama dalam bisnis warung kopi di Depok. Jika ditotal, waktu 17 tahun sudah dilaluinya. Waktu yang lebih dari cukup bagi sebuah bisnis kuliner untuk bertahan.
ADVERTISEMENT
Di tengah-tengah bisnis kuliner yang sengit, tiga tahun pertama adalah masa uji coba, apakah bisnis tersebut secara konsisten memikat pelanggan. Jika tidak, tutup jadi solusi dibanding rugi.
Kendati memperpanjang jam buka menjadi 24 jam, omzet Cafe Bule turun secara signifikan sejak kepindahannya. Hal yang masuk akal, pelanggan lama yang terbiasa dengan lokasi favoritnya harus berkendara lebih jauh.
Lokasinya kini pun tidak terlalu strategis, tertutup dengan gedung-gedung tinggi. Pangsa pasar Cafe Bule berganti menjadi pekerja kantoran di sekitarnya atau pegawai negeri di Kantor Wali Kota Depok.
Obrolan kami berlanjut. Kudapan diganti dengan seporsi pisang bakar keju susu ditemani kopi instan yang manis. Keju yang melimpah dan tidak pelit jadi kekuatannya, tercermin dari ulasan para pelanggan di situs pencari.
Saya adalah salah satu dari sekian banyak pelanggan yang tetap berkunjung ke Cafe Bule. Ada hal lain yang membuat keberadaan Cafe Bule menjadi bermakna, yakni berbagi rezeki dengan pedagang lain di sekitar.
ADVERTISEMENT
Namun, pedagang di sekitarnya silih berganti. Harga sewa yang mahal membuat para pedagang harus berpindah lapak ke lokasi lain yang konon lebih murah. Cuma beberapa saja yang bisa bertahan.
Tetes kopi terakhir sudah diseruput. Kami mengakhiri perbincangan yang menyadarkan saya bahwa ide sederhana bisa bertahan selama 17 tahun karena menyatukan banyak cerita di tengah perjalanannya. Saya beranjak pulang, kembali melewati Depok yang padat lebih dari merayap.