Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sudut Kota Jogja dan Falsafah Nerimo Ing Pandum
7 Juli 2023 13:49 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Justian Pilar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Siapa yang tak kenal Jogja ? Kota yang selalu meninggalkan kesan istimewa bagi setiap pengunjungnya. Namun, istimewa tak selalu membawa pertanda baik. KBBI juga mengartikan istimewa sebagai hal yang "lebih daripada yang lain". Cukup ambigu, lebih baik atau lebih buruk?
ADVERTISEMENT
Saat ini saya sedang menempuh perkuliahan di salah satu universitas swasta di Yogyakarta . Biasanya identik dengan matahari. Letaknya di barat daya Jogja, dekat ring road. Seharusnya melalui clue ini kalian dapat dengan mudah menebak di mana saya (lebih tepatnya orang tua) menghabiskan uang untuk menimba ilmu.
Dua bulan lagi secara resmi saya akan masuk semester tujuh. Mulai menyusun skripsi, semoga lancar. Tetapi ini bukan persoalan skripsi yang akan segera saya garap. Tapi, tentang Jogja sebagai sebuah ruang belajar yang nyaman.
Sebelum itu saya ingin bercerita bahwa dulunya saya juga ikut SBMTN untuk bisa masuk ke salah satu universitas negeri di Jogja. Namun apa daya dewi fortuna belum datang, masih memihak ke orang lain, bersyukurlah kalian yang telah menggapainya. Meski tak lolos, saya kekeh tetap memilih Jogja untuk kuliah, terserah apa universitasnya yang penting di Jogja.
ADVERTISEMENT
Alasan saya sederhana. Jogja yang saya tau (dulunya) adalah tempat multikultural di mana saya dapat bertemu orang-orang dari barat sampai timur Indonesia. Memang dasarnya saya suka menjalin relasi dengan orang baru.
Selain itu, alasan sederhana lainnya adalah ketika melihat kakak kelas yang berkuliah di Jogja. Ketika kembali ke daerah, kebetulan saya bukan berasal dari Jogja, membawa bobot diskusi yang berbeda.
Mereka memahami dan membicarakan sesuatu dengan lebih kompleks dan bernilai, tak hanya praktis begitu saja. Hal sederhana yang sangat menarik bagi saya.
Kembali pada topik Jogja sebagai sebuah ruang nyaman untuk belajar. Selama tiga tahun saya mencari jawaban dari pertanyaan mengapa Jogja disebut sebagai kota pelajar. Hingga beberapa minggu terakhir ini saya menemukan jawabannya.
ADVERTISEMENT
Bukan karena jumlah universitasnya yang banyak, bukan juga karena jumlah mahasiswanya. Jumlah universitas saja kalah dengan Provinsi Jawa Barat, pun jumlah mahasiswa masih kalah jauh dari Provinsi Banten. Namun, Jogja istimewa bagi para pelajarnya, sebab setiap ruang di dalamnya merupakan ruang nyaman untuk belajar dan berkarya.
Satu hal yang saya pelajari dan saya temukan jawabannya dari beberapa tempat yang berbeda adalah tentang falsafah nerimo ing pangdum. Secara singkat falsafah tersebut bermakna bahwa seseorang dapat menerima suatu dengan legowo atau ikhlas.
Dalam diskusi dengan beberapa kawan mahasiswa di sebuah kontrakan, kami sependapat bahwa falsafah nerimo ing pangdum menjebak masyarakat Jogja untuk berkembang. Apapun kebijakan dan keputusan, ya diterima saja.
ADVERTISEMENT
Namun, saya masih penasaran apakah nerimo ing pandum seburuk itu. Setelahnya tanpa sengaja saya berdiskusi dengan salah satu pedagang di lokasi wisata dan bertanya terkait sikap nerimo mereka. Ternyata nerimo ing pandum yang didiskusikan waktu itu tak seburuk yang dipikirkan.
Masyarakat Jogja ternyata tak se-nerimo itu. Mereka tetap sadar bahwa UMR Jogja rendah dan seharusnya bisa lebih tinggi untuk memakmurkan rakyat. Mereka juga paham banyak pendatang sak penake dewe mulai dari hal sederhana, misalnya kendaraan pelat B yang sedikit-sedikit klakson di jalan.
Berbanding terbalik dengan masyarakat pelat AB yang sangat jarang membunyikan klakson. Bukan menyudutkan kota tertentu, tapi faktanya saya sering menemui kejadian tersebut.
Pedagang tersebut menambahkan bahwa nerimo ing pangdum ini menjadi salah satu hal yang membuat Jogja ramai dengan wisatawan. Kehadiran wisatawan merupakan hal penting bagi masyarakat Jogja mengingat Jogja masih bergantung pada industri pariwisata.
ADVERTISEMENT
Di sini nerimo ing pangdum bukan berarti langsung menerima segala hal dengan ikhlas. Lebih daripada itu, nrimo ing pangdum adalah tentang kesopanan, kesantunan, bermurah hari, dan merasa cukup. Inilah yang kemudian mempertahankan nilai Jawa di Jogja sehingga keistimewaannya tetap terjaga.
Setelah dipahami betul-betul, memang cukup rumit ketika mendeskripsikan falsafah nerimo ing pandum. Namun, saya kemudian mengingat filososi lain, stoicism atau stoa, yang ramai dibahas karena buku Filosofi Teras.
Sampai sekarang saya memahami bahwa falsafah nerimo ing pandum ini kurang-lebihnya mirip dengan filosofi stoa. Falsafah nerimo ing pangdum membuat hati terasa tenang dan nyaman.
Dari proses pemahaman saya tentang falsafah nerimo ing pangdum tersebut saya ingin menunjukkan bahwa di manapun dan dengan siapapun kita bisa belajar. Setiap sudut Jogja adalah ruang belajar bagi siapapun yang mau! Bersyukurlah saya atas keputusan memilih Jogja untuk menjadi tempat berkuliah.
ADVERTISEMENT